Selasa, 09 Desember 2008

Mata Dunia

Sekilas meninjau Mata Dunia yang lain...(baru uji coba)
Enjoy...

Kamis, 11 September 2008

Blakanis: Agama Kejujuran Arswendo Atmowiloto


Judul: Blakanis
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Novel, fiksi
Tahun Terbit: 2008
Tebal: 288 halaman

Barangkali, kini sedang musimnya muncul agama-agama baru. Bersamaan dengan Ayu Utami yang mengusung Nabi Parang Jati, Arswendo Atmowiloto pun juga mengusung agamanya sendiri, dengan seorang nabi: Ki Blaka.

Tampak sekilas, selepas dari hotel “prodeo” dulu, Arswendo Atmowiloto memiliki arah yang khusus dalam menulis. Entah bagaimana saya dapat menyebut ciri-corak tulisan-tulisan dia sekeluarnya dia dari “hotel Cipinang”. Ini bukan berarti ada perubahan dalam gaya penulisannya. Tidak. Tidak begitu. Arswendo tetap muncul dengan gayanya yang khas – khas Wendo-an, begitu mungkin istilahnya. Namun, ia seperti memiliki sudut pandang – atau energi – baru dalam menyikapi dunia.

Coba lihat tulisan-tulisannya seperti Menghitung Hari, Abal-Abal, Kisah Para Ratib, Oskep, dan sebagainya. Entah bertema “kepenjaraan” maupun bertema “spiritualitas”, Wendo muncul menjadi figur yang agak berbeda dengan misalnya pada masa-masa Canting, Dua Ibu, atau apalagi Senopati Pamungkas.

Blakanis adalah semacam manifesto – begitu kalau saya boleh membaptis novel ini. Keluar bersama “Horeluya” (dengan penerbit yang sama, spiritualitas yang sama, gaya yang sama, tetapi dengan bungkus yang “lebih Katolik”), “Blakanis” menawarkan semacam kesegaran dari tema spiritualitas yang berumur sudah sangat tua: kejujuran. Ini sebuah manifesto mengenai kejujuran atau tepatnya: hidup jujur. Dalam bahasa Jawa, blaka (baca: “blo-ko”) memang berarti terbuka, jujur, apa adanya, blak-blakan.

Jika di atas disebut sepintas novelnya Ayu Utami, Blakanis-nya Arswendo tidak menawarkan seorang santo seperti Parang Jati-nya Ayu. Parang Jati-nya Ayu adalah seorang kudus yang tampan-rupawan yang harus menanggung dosa dunia, sementara Ki Blaka-nya Arswendo jauh dari kesan “cakep” dan ia tidak merasa harus menanggung dosa siapa-siapa. Ki Blaka adalah semacam nabi yang rumahnya berada persis di sebelah rumah kita masing-masing (dalam novelnya, ia tinggal di semacam bedeng yang berada di daerah Karawang-Bekasi, atau Jawa Barat dan sekitarnya). Memang, ia digambarkan seperti Yohanes Pembaptis – menggunakan tongkat dan berpakaian sederhana (persisnya: selimut bekas dari rumah sakit – namun, toh, bukan itu kesaktian dari nabi barunya Arswendo ini.

Ki Blaka memulai sesuatu yang baru, walaupun tidak terlalu orisinal: hidup dengan jujur. Ia mempraktikkan apa yang dikatakannya. Ia berbicara jujur, blak-blakan, blaka. Jangan kaget, saking jujurnya, ia bahkan berterus terang ingin memegang payudara seorang “pengikut”-nya yang cantik, putih, dan molek, Ai. Dan sebagai pengikut yang baik, Ai pun tidak ragu untuk berkata jujur bahwa ia juga bukan hanya tidak keberatan, tetapi bahkan bersedia “meneteki Ki Blaka.”

Apakah ini semacam agama postmodern atau cuma semacam trend sesaat? Tampaknya iya. Tapi, tampaknya juga tidak. Ki Blaka tidak berniat membentuk agama, tetapi ia menetapkan aturan main: semua orang yang mau mengobrol dengan dia di “padepokan”-nya harus mau berkata jujur.

Bersabdalah Ki Blaka: “Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, melainkan kepura-puraan. Baik pura-pura jujur atau pura-pura bohong.” Ia tidak memaksa orang untuk jujur. Kejujuran yang dipaksakan bukan merupakan kejujuran lagi, tetapi sudah jatuh ke dalam kepura-puraan.

Kejujuran bukan sesuatu yang hebat dan bagus dalam dirinya sendiri. Orang tidak dapat jujur karena mau memperoleh sesuatu: kesehatan, pelepasan jiwa, atau bahkan kebenaran. Kejujuran yang sejati adalah tanpa pamrih.

Jamil Akamid contohnya. Ia mengira, Ki Blakanis akan mendukungnya karena ia akan berkata jujur – sejujur-jujurnya – mengungkapkan nama, peristiwa, besarnya jumlah uang yang “terlibat” dalam kasusnya. Ia merasa akan menjadi semacam whistle blower yang akan menyingkapkan kebusukan birokrasi di negeri ini, karena ia akan berkata jujur; ia akan membuka semuanya. Ia juga berharap, jika ia membuka mulut, ia bisa lepas dari beban yang dideritanya, baik jasmani maupun rohani.

Tidak. Ki Blaka tidak mengharapkan kejujuran seperti itu. Kejujuran adalah kepolosan, tidak perlu dibuat strateginya, bahkan untuk yang paling bagus sekalipun. Kejujuran harus tanpa pamrih. Satu-satunya niat untuk jujur adalah kejujuran itu sendiri, bukan yang lain. Seperti kata Akamid: “Ki Blaka mengembalikan semua persoalan ke diri saya. Bukan karena dia, karena harus blaka, karena memang niat saya.”

Kepada orang-orang yang sering mengira kejujuran dapat menjadi obat mujarab bagi banyak hal (entah korupsi, sakit-penyakit, rumah tangga yang tak akur, maupun ketidakberesan lainnya), Ki Blaka berseru – dengan jujur tentunya:

“Bersikap jujur adalah pilihan pribadi. Kejujuran tak berarti menjadi sakti, menjadi kebenaran ketika dilakukan banyak orang, apalagi menjadi gerakan. Kalau ini membesar dan dianggap tanda, kita mengulangi lagi kesalahan.”

Masih belum puas? Jika kejujuran dilakukan tanpa pamrih, tentunya tidak ada yang perlu dilakukan secara terpaksa. Dengan begitu, tampaknya menjadi jujur pun dapat melahirkan ketidakberesan lainnya – jika kejujuran dilakukan dengan pamrih:
“Masalah utama yang dihadapi dengan kejujuran ketika menjadi nilai bersama dalam kelompok adalah ketika dilakukan dengan terlalu berlebihan, terlalu bersemangat.”

Sampai sejauh mana agama yang “terlalu jujur” ini bertahan? Seharusnya tidak bertahan lama (siapa sih yang tahan hidup jujur?) Ya. Ki Blaka dan para pengikutnya pun digerebek. Jelas, nabi yang mempraktikkan hidup jujur tentu sangat membahayakan penguasa – tentu saja penguasa yang tidak jujur (penguasa tentunya tidak pernah takut dengan seseorang yang cuma mengajarkan kejujuran, tanpa mempraktikkannya). Para petinggi mulai menginterogasi Ki Blaka, karena banyak sesi “tanya-jawab” di padepokan Ki Blaka berakhir rusuh.

Itu belum seberapa. Kejujuran ternyata sempat mewabah ke luar lingkungan kampung “Blakanis”. Murid-murid di suatu sekolah tidak lagi mencontek, beberapa orang mulai tidak mau mempergunakan mata uang dolar dan tidak menggunakan barang-barang impor. Para murid di suatu sekolah di Jambi – yang tidak mau mencontek lagi itu – seperti sedang kerasukan “roh blaka” ketika mereka menyanyikan koor: “blaka, blaka, blaka...” pada saat mereka akan mengerjakan soal ulangan. Adegan ini dapat dibayangkan seperti suatu adegan dari potongan dalam film “The Wall” garapan Pink Floyd, ketika tembang "Another Brick in the Wall (Part 2)” mengalun mengiringi bocah-bocah sekolah yang memberontak mulai menjungkirbalikkan kursi dan meja-meja sekolah (bedanya, anak-anak sekolah di “Blakanis” lebih “memberontak” melawan diri mereka sendiri, sementara anak-anak sekolah dalam “The Wall” memberontak melawan tirani sekolah).

Itu jelas tidak wajar dan menakutkan (tentunya bagi mereka yang tidak biasa jujur). Bagi beberapa orang, novel ini juga mungkin memang terlalu ”jujur” dan malah “kering” (“jujur”, “polos”, dan “kering” memang saudara yang berdekatan). Tokoh-tokohnya sering terasa “dingin”. Jika dibandingkan dengan “Horeluya”, “Blakanis” memang tidak berupaya mengaduk-aduk perasaan pembaca (Arswendo sebenarnya ahli dalam hal “pengadukan” ini – sebagaimana tampak dari serial Keluarga Cemara). Ki Blaka sedang mengajar dan, sayangnya, ajarannya sangat tidak populer. Jadilah, pembaca, halaman demi halaman, bersusah payah mengikuti logika Ki Blaka dan para pengikutnya – yang disebut “blakanis” – yang “meniduri” kejujuran semampu mereka (barangkali karena bukan penganut “agama kejujuran”, saya kadang-kadang merasa agak sedikit bosan dengan khotbah sang nabi?)

Jikalau Ki Blaka tampaknya kesulitan dalam mengajarkan agama “kejujuran”-nya, Arswendo tidak terlalu sulit – justru terbilang sangat berhasil – dalam hal ini: mencoba strategi bercerita yang – konon – dipakai oleh Umar Kayam dalam “Para Priyayi” (saya sebut “konon” karena saya masih belum membacanya), yaitu strategi bercerita bukan dari sudut pandang tunggal. Semua pengikut Ki Blaka punya cerita yang sah untuk diceritakan, dari si Mareto, Suster Emak, Ali, Eyang Brondol, Lola, Windi, dan sebagainya. (Siapa tahu, Anda, begitu mencoba untuk hidup jujur, juga punya hal lain yang dapat diceritakan?)

Strategi Arswendo memang berhasil. Cerita mengalir lancar pada bagian “kesaksian”, yaitu ketika para Blakanis menuturkan kesaksian dan pengalaman mereka. Pada bagian “khotbah” Ki Blaka, narasi lincah Arswendo berubah menjadi semacam verbalisme kejujuran yang memang sangat memikat dan menawan hati (karena revolusioner walaupun tidak serbabaru) namun terasa agak sulit diikuti – mungkin terutama oleh mereka yang jarang jujur dalam hidupnya (semoga kita tidak termasuk di dalamnya).

Jika agak sulit menghubungkan Parang Jati dengan Ayu Utami, saya agak lebih mudah membayangkan Ki Blaka yang santai dan blak-blakan dengan figur Arswendo sendiri. Celotehan jujur para tokoh yang ada dalam novel ini boleh dibilang berhasil dan mengalir lancar karena memang begitulah gaya Arswendo. Ki Blaka berhasil mengajarkan “agama kejujuran” justru karena Arswendo yang berhasil menceritakan kisahnya…

Jadi, walaupun berlaku jujur itu memang agak berat dilakukan akhir-akhir ini, toh Arswendo sudah cukup jujur berbagi cerita tentang kejujuran di dalam bukunya yang satu ini. Semoga kita bisa ketularan untuk jujur...

Selasa, 09 September 2008

Super Toy = Mainan Super = Blunder Politik atau Spiritualitas tak Sehat?

Konon, ada suatu analisis yang mengatakan bahwa jika di tengah-tengah suatu masyarakat sering muncul orang-orang yang mengaku Ratu Adil, mengaku orang yang dulu pernah hilang (dan kini muncul kembali), mengaku menemukan harta karun yang bisa menutupi utang negara, mengaku menemukan teknologi canggih dengan jalan yang “luar biasa” – dan berbagai pengakuan-pengakuan lainnya – biasanya masyarakat tersebut sedang “sakit”.

Dalam jangka waktu satu tahun ini, Indonesia rupanya sering “kedatangan” orang-orang seperti itu, misalnya orang yang mengaku berhasil menemukan teknologi pengubah air menjadi bahan bakar (Blue Energy); orang yang mengaku dapat menghentikan aliran lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur; orang yang mengaku sebagai Supriyadi (pahlawan perintis kemerdekaan, Menteri Keamanan RI yang tak pernah muncul setelah ditunjuk Bung Karno) dan sebagainya.

Terakhir adalah kasus padi “varietas unggul” yang dikenal sebagai Super Toy HL2. Walaupun tidak ada tokoh atau orang yang “sakti” atau “misterius” terkait dengan kasus ini, namun kehebohan dan hiruk-pikuk yang menyertainya dapat disejajarkan dengan kasus Blue Energy atau kasus “kembalinya Supriyadi”.

Awal-mulanya adalah berita kegagalan panen padi jenis tersebut yang dilaporkan oleh para petani di berbagai daerah di Pulau Jawa. Mereka mengaku merasa tertipu karena membeli dan menggunakan padi jenis tersebut, yang menurut pesan sponsor merupakan padi “super” karena padi tersebut dapat dipanen 3 kali dalam setahun – tanpa menanam kembali itu (silakan cari sendiri beritanya di internet).

Berita tersebut mungkin biasa saja, seandainya tidak melibatkan nama Susilo Bambang Yudoyono, kebetulan orang yang sedang menjabat sebagai presiden di negeri ini. SBY – begitu nama presiden ini biasa diakronimkan – rupanya agak jengah dengan berita yang terkait dengan kegagalan panen padi jenis “super”, yaitu Super Toy HL. Mengapa harus jengah? Wajar bila ia jengah, karena pasalnya komisaris PT Sinar Harapan Indopangan (SHI), Heru Lelono, adalah salah seorang anggota tim penasihat presiden – Tim Cikeas, begitu sebutannya (PT SHI adalah perusahaan yang memproduksi dan memasarkan padi “super” tersebut, yang darinyalah para petani mendapatkan/membeli bibit padi tersebut). Dan kedua, ini yang membuat semakin jengah: SBY “tampak” melakukan promosi atas padi jenis tersebut – setidaknya memang begitulah yang dibaca oleh para lawan politiknya.

Entah “kejengahan” tesebut pantas atau tidak (juga tidak jelas siapakah yang sebenarnya jengah: SBY atau para pembantunya). Namun, yang pasti, pada acara berbuka puasa hari Sabtu lalu (6/9/2008), pejabat humas kepresidenan merilis transkrip pidato SBY pada acara “launching” padi jenis tersebut tahun lalu (Kompas, 7/9/2008). Transkrip yang dibagikan itu memperlihatkan “posisi netral” presiden dalam urusan “padi super” tadi. Jadi, tidak benar – begitu hal yang ingin diluruskan oleh tim kepresidenan – bahwa Presiden SBY mempromosikan padi “super” tadi. Lagipula, SBY sudah memanggil Heru Lelono untuk meminta penjelasan (baca di Detik).

Terlepas entah bagaimana posisi SBY dengan urusan ini, ada hal yang menarik yang perlu dicermati: mengapa padi “ajaib” yang dapat dipanen 3 kali dalam setahun – tanpa menanam kembali itu – lebih disukai ketimbang padi konvensional. Mungkin kalau ini ditanyakan, orang akan mencibir dan menjawab: “Tentu saja, padi seperti itu lebih disukai, karena lebih produktif dan lebih murah.” Iya, ya. Itu pertanyaan bodoh. Yang lebih produktif dan lebih murah pasti lebih disukai.

Namun, mengapa begitu? Lebih tepat lagi: mengapa Presiden SBY dan Tim Cikeasnya kok dengan mudah terbuai oleh tawaran atau bujukan yang ternyata belum terbukti valid – baik secara ilmiah maupun secara birokratis (ternyata, dari pengakuan Menteri Pertanian, padi tersebut belum melewati prosedur resmi dan normal untuk dapat disebut sebagai varietas unggul). Jadi, apa yang ditawarkan oleh SHI dan Heru Lelono tidak lebih daripada “kucing dalam karung” – tentu kucing dalam karung masih lebih berharga ketimbang padi “super” yang ternyata tidak “super”.

Orang dapat menduga mengapa SBY dan Timnya terkecoh: entah politis atau psikologis-spiritual. Politis, tentu saja SBY butuh sesuatu yang dapat dipakai untuk bahan kampanye menghadapi pemilu tahun depan. Jelas, padi “super” adalah bahan yang bagus untuk kampanye dan menarik massa – terutama dari kalangan petani. Jika Super Toy HL2 benar-benar padi super, SBY akan muncul sebagai figur juruselamat di tengah produksi padi yang tengah menurun. Siapa sih yang tidak ingin dikenal massa petani – di atas kertas mayoritas orang Indonesia masih tergolong dalam kelompok ini – sebagai orang yang dengan sukses “meningkatkan taraf kehidupan” mereka? Soeharto sudah pernah melakukannya, dan cukup berhasil.

Namun, jika alasannya psikologis-spiritual, bagaimana? Mungkin ini yang agak sulit. SBY dan Timnya tentu bukan figur bodoh yang percaya dengan orang-orang yang mengaku dapat melakukan “mukjizat”, yang entah bagaimana caranya dapat “membuat hidup yang sulit menjadi mudah” (atau mereka memang percaya?) Apa boleh buat. Ini menambah daftar panjang catatan para pejabat – tentu lebih banyak yang di luar kalangan ini – yang lebih suka duduk menanti datangnya Ratu Adil atau orang-orang yang dapat menciptakan jalan pintas menuju “Indonesia yang Adil dan Makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi”. Orang-orang yang dapat menciptakan jalan pintas ini dipercaya dapat membuat semacam “loncatan kemajuan” – entah dalam bidang teknologi, finansial, atau bahkan politik. Intinya, “loncatan” ini akan mengurangi – bahkan menghilangkan – penderitaan atau kondisi “tidak enak” yang kini dialami oleh banyak orang di negeri ini.

Masalahnya, kalau pejabat – yang pendidikannya lebih tinggi dan lebih kaya – percaya dengan “orang-orang ajaib” ini, apalagi yang bukan pejabat (seperti yang menulis tulisan ini). Kalau besok ada orang yang datang ke rumah Anda, dan menawarkan bahwa ia mempunyai panci ajaib yang dapat memasak nasi “tak berkesudahan” – artinya Anda tidak perlu beli beras lagi seumur hidup – apakah Anda percaya? Anjuran saya: sebaiknya percaya saja, toh yang lebih pintar dan lebih kaya ketimbang Anda (dan saya) juga percaya…

Jumat, 05 September 2008

Kartu Palin di Saku McCain (dan Kartu di Indonesia)


Mungkin dapat disebut sebagai kejutan jika John McCain – calon presiden dari Partai Republik – memilih Sarah Palin (29/8/2008) menjadi calon wakilnya dalam menghadapi pemilu presiden Amerika Serikat November 2008 mendatang.

Setelah “babak belur” dalam hal image dan isu – tentunya pasca-konvensi Partai Demokrat beberapa hari sebelumnya sebelumnya – John McCain mencoba untuk meraih kembali popularitas yang tampaknya agak meredup. Upaya itu menunjukkan sedikit tanda keberhasilan ketika ia memilih Sarah Palin – gubernur negara bagian Alaska – sebagai calon wakilnya.

Itu adalah langkah yang cukup berani, namun di lain pihak memang agak strategis. Rasa sakit hati yang barangkali tersisa di dalam hati para pendukung Hillary Clinton dicoba untuk dijadikan “kartu truf” oleh McCain. McCain tampaknya tahu benar bahwa sebenarnya masih banyak pendukung Hillary yang tidak begitu rela ketika kandidat mereka – mantan First Lady era Bill Clinton – itu menyerahkan kursi calon presiden Partai Demokrat ke tangan Barack Obama.

Ada beberapa isu yang membuat rasa sakit itu menjadi tambah terasa “sakit” bagi para pendukung Hilary. Pertama, status gender Hillary. Bagaimanapun juga, seorang calon presiden perempuan adalah sesuatu yang sangat menarik, terutama di dalam tradisi kepresidenan di Amerika Serikat. Ada semacam sentimen gender ketika Hillary naik menjadi salah satu calon presiden dari Partai Demokrat. Bagi beberapa perempuan – atau bahkan mungkin banyak -- di Amerika Serikat, hal ini adalah semacam puncak pengharapan dari janji-janji dari “freedom, liberty, and equality” yang merupakan slogan dari pendirian negara tersebut. Ada masanya ketika perempuan tidak boleh mengikuti pemilu, dan ada masanya pula ketika perempuan boleh mengikutinya. Ada masanya ketika perempuan tidak atau belum mencapai kursi nomor satu di negeri itu, dan mereka berpikir, mengapa tidak ada pula masanya bagi kaum perempuan untuk meraih kursi tersebut.

Kedua, status “kulit putih” Hillary. Diakui atau tidak, walaupun dengan tradisi demokrasi dan penegakan hak asasi manusia yang sangat tua, Amerika Serikat selalu punya tendensi untuk menjadi seperti “negara-negara yang sering diperangi olehnya”, yaitu rasis dan intoleran. Tentu, kita tidak berbicara tentang hukum formal, yang di dalamnya tidak akan mungkin kita menemukan teks-teks atau pasal-pasal yang bersifat rasis dan intoleran. Kita berbicara tentang praktik dan sentimen orang per orang, kelompok per kelompok (yang tentunya sama saja di seluruh muka bumi ini). Bagi banyak orang – terutama dari kubu Demokrat – yang mereka hadapi pada bulan-bulan sebelum konvensi adalah pilihan antara: seorang calon presiden kulit putih atau seorang calon presiden kulit hitam. Itu saja. Tentu sentimen dan subjektivitas akan sangat menentukan di sini, dan bukan rahasia lagi jika banyak di antara pendukung Partai Demokrat yang lebih peka dengan isu ras dan warna kulit ini. Bagi mereka, Hillary Clinton jelas lebih “preferable” ketimbang Barack Obama.

Hasil konvensi Partai Demokrat sudah diketahui bersama: Barack Obama menjadi calon presiden resmi dan Joe Biden menjadi calon wakilnya. Ini kombinasi yang cukup baik dan memang cukup menjanjikan, sebagaimana hal ini tampak dari pemberitaan yang sangat antusias dari berbagai media, baik di Amerika Serikat maupun di dunia internasional.

Lalu apa strategi Republik dan McCain untuk mengimbangi suasana hangat yang seolah-olah menempatkan kubu Demokrat di atas angin itu? Kedua isu itu rupanya dipahami betul oleh kubu McCain, ditambah satu isu klasik dalam “pertempuran” antara Republik dan Demokrat: bumbu-bumbu moralitas.

Sebagai partai liberal, Partai Demokrat terkenal dengan dukungannya pada gerakan pro-choice, yaitu semacam gerakan yang pandangannya memberikan toleransi bagi upaya aborsi yang dilakukan oleh kaum perempuan hamil jika mereka menghendaki. Oleh kubu Republik, pro-choice ini tidak lebih dipandang sebagai pro-abortion atau pro-abortionist. Isu ini sangat klasik, sehingga hampir selalu mewarnai debat di antara kedua kubu (walaupun tidak semua Demokrat memilih posisi pro-choice, sebagaimana tidak semua Republik memilih posisi pro-life, istilah yang hampir selalu setara dengan istilah “anti-aborsi”).

Di samping kedua isu terkait “Hillary” tadi, kubu McCain juga memanfaatkan isu pro-life versus pro-choice ini. Mengapa? Calon wakil presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden adalah seorang Katolik yang ternyata sangat pro-choice (sama seperti beberapa Demokrat lain yang terkenal, seperti Nancy Pelosi dan John F. Kerry). Sebagai Katolik, tentunya posisi politik Biden tampak bermasalah, karena Gereja Katolik sangat menentang pandangan pro-choice. Alhasil, Joe Biden tampak sebagai seorang Katolik yang munafik di mata banyak kalangan Kristen – bukan hanya Katolik. Image Biden yang semacam ini benar-benar dimainkan oleh McCain (jumlah orang Katolik di Amerika memangt cukup banyak walaupun bukan yang paling banyak. Ini dapat “dimanfaatkan” jika situasi menjadi “too close to call”).

Dua isu terkait Hilary dan Joe Biden yang “bercacat” benar-benar dijadikan kartu truf oleh McCain ketika ia memilih Sarah Palin. Palin langsung menjadi antitesis bagi ketiga hal itu: Dia perempuan, kulit putih, dan anti-aborsi (alias pro-life) – di luar faktor usia yang masih muda dan latar belakang lintas-denominasi yang biasanya sangat disukai di sana. Pilihan ini membuktikan bahwa McCain tampaknya tidak lagi memedulikan kritiknya pada Obama yang mengaitkan usia muda Obama dengan ketidaklayakannya menduduki Gedung Putih. Palin sendiri adalah pemegang rekor dalam urusan perempuan pertama yang menjabat gubernur negara bagian dan juga yang termuda dalam sejarah di Amerika Serikat.

McCain kini punya kartu truf di sakunya: Sarah Palin. Apakah ini akan bermanfaat bagi kubu Republik dalam permainan kartu riil pada bulan November yang akan datang, hal itu masih akan dibuktikan nanti.

Apa manfaatnya bagi kita di Indonesia jika kita mencermati hal-hal di atas? Mungkin tidak banyak. Jika ada yang dapat dipelajari secara banyak adalah “teknik-teknik bermain kartu truf” sebagaimana halnya yang sudah biasa dilakukan oleh banyak politisi di sini (bahkan, boleh jadi jika politisi lokal lebih lihai dalam bermain kartu, entah itu truf, poker, bridge, remi atau domino…)

Selamat bermain kartu…

Selasa, 26 Agustus 2008

The U.S. vs John Lennon


Director: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Written: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Producer: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Time: 99 minutes
Published Year: 2006


Perang Dingin. Superpower. Amerika. Komunisme. Vietnam. Korban. Mati. Kematian. Rock and Roll. Beatles. Yeah, yeah, yeah. Woodstock. Mariyuana. Ganja. Hashish. LSD. Opium. Seks. $#@!!&%....

Perang, seks, obat, dan rock n’ roll. Mungkin itu beberapa kata kunci yang dapat menjelaskan hiruk-pikuk di sekitar dasawarsa 1960-an dan 1970-an. Zaman berubah, orang-orang berubah. Para baby boomer – mereka yang lahir di sekitar masa Perang Dunia Kedua (PD II) dan juga terutama yang tak lama setelah itu – kini mencapai umur yang matang. Mereka menjadi warga yang cukup sadar akan dinamika sosial serta juga paling aktif dalam menanggapi dinamika tersebut. Pendeknya, para baby boomer tidak lagi dibebani oleh agenda-agenda yang pada masa pra-PD II sangat memenuhi kosakata dan wacana orang-orang tua yang masih hidup dalam romantika perang dan masa-masa keemasan pra-perang, baik di Eropa maupun di Amerika.

Jika ini sebuah opera musik besutan Andrew Lloyd Webber, mungkin ia akan mengawalinya dengan suatu parade pasukan bersenjata yang dihadang oleh sekelompok pemuda(i) berpakaian ala flower generation. Sembari menyelipkan setangkai mawar di ujung bedil sang komandan pasukan, wakil dari pemuda tadi berkata: “Make Love, Not War…” (atau yang lebih klasik: “Say it with flower…not with your weapon…”).

Adegan tadi adalah semacam pralambang mengenai apa yang terjadi pada masa-masa itu dan yang ingin didokumentasikan oleh film ini. Film berdurasi hampir 100 menit ini berpusat pada seorang figur yang sebenarnya lebih dikenal dalam kalangan musik: John Lennon.

Tumbuh sebagai seorang anak yang pemberontak – ditinggal pergi oleh ayahnya ketika masih bayi dan ditinggal mati oleh ibunya dalam usia belia – John kecil ternyata punya bakat anti-kemapanan. Episode dalam masa-masa Beatles mungkin hanya merupakan episode “numpang lewat”. John berkembang dengan bandnya itu, baik secara musik maupun ide. Ini seolah-olah hanya menyiapkan suatu episode lain dalam hidupnya yang menjadi inti dari film ini.

Ketika isi kepala John Lennon mulai berkembang ke arah yang lebih luas, isi kepala Presiden Lyndon B. Johnson (LBJ) di Amerika juga berkembang ke arah yang sedikit berbeda; sesuatu yang agak berbeda dengan isi kepala John F. Kennedy – presiden yang digantikannya karena orang yang belakangan ini mati ditembak di Dallas pada tahun 1963.

LBJ rupanya senang memainkan kartu klasik dalam dunia diplomasi: perang adalah bentuk lain dari diplomasi. Komunisme sudah jelas jahat, dan Tuhan tentu saja tidak menginginkannya. Sebagai bangsa pilihan Tuhan, sudah sepantasnya Amerika Serikat mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengusir setan komunisme dari setiap jengkal tanah di bumi ciptaan Tuhan ini.

Setan itu kini hadir di Vietnam – setelah berhasil menancapkan cakar-cakarnya di Korea. Agenda LBJ sudah jelas: memperhebat sarana-sarana yang diperlukan untuk mengusir setan tersebut dari bumi Asia Tenggara.

Pada saat yang sama, John Lennon – yang tengah “angin-anginan” bersama bandnya, Beatles – sedang mencoba suatu yang baru. Tepatnya: ia tidak mencoba, tetapi memang secara alami masuk ke dalam suatu kawasan yang sama sekali asing bagi dirinya: politik. Proses yang memang alami ini sebenarnya dapat diamati dalam beberapa lirik lagu John dalam Beatles – walaupun banyak sekali lirik lagu Beatles sangat ambigu, misalnya lirik lagu Happiness is a Warm Gun dan Revolution.

Di Amerika, LBJ kalah dalam pemilihan umum presiden pada tahun 1968. Seorang presiden baru dari Partai Republik yang ternyata justru lebih jelek ketimbang LBJ akhirnya terpilih: Richard Nixon (ini membuat kita seolah-olah percaya dengan adagium lama: “Lebih baik kita memilih setan yang sudah dikenal, ketimbang setan yang belum dikenal sama sekali!”). Jika LBJ memilih perang, Nixon memang lebih suka perang. LBJ mengirim banyak tentara Amerika ke Vietnam, sementara Nixon mengirim lebih banyak lagi – bahkan mengampanyekannya.

Sementara itu, John Lennon – di belahan dunia yang lain – ternyata lebih suka “mengirimkan” hal yang lain: ia mencoba mengirimkan apa yang disebutnya sebagai total communication. Apa itu? Ia membungkus dirinya di dalam apa yang disebutnya sebagai "bagisme"(bag = tas), bersama istrinya yang baru: Yoko. Ia melakukannya agar orang mendengarkan pesan perdamaian yang ia sampaikan, tanpa menghakimi penampilan fisiknya (rupanya, orang sering kali memperhatikan penampilan si penyampai pesan ketimbang isi pesannya. Penampilan itu bisa mencakup gender, warna kulit, dan panjangnya rambut).

Sesederhana itu? Iya. Sekonyol itu? Tergantung – tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Masing belum puas? Pada tahun 1969 itu, John juga punya ulah serupa: "Bed Peace" (Bed-in for Peace). Sadar bahwa perkawinannya sedang menjadi komoditas pers, ia dan istrinya melakukan kampanye perdamaian di atas tempat tidur. Tentu, para wartawan mengharapkan pasangan yang baru menikah ini melakukan semacam “atraksi seksual”, sesuatu yang sama sekali tidak mereka dapatkan. Sama dengan bagism, bed peace juga dilakukan demi perdamaian.

“Tidak ada yang memberikan kesempatan damai secara penuh,” begitu ujar John. Dan ia pun mengajak orang-orang menyanyikan Give Peace a Chance. Ya, beri perdamaian kesempatan.

Ada wartawan yang bertanya apakah semua itu efektif? John menjawab: “Ini adalah kemungkinan yang terbaik, fungsional dan efektif.” Si wartawan mendesak: bukankah ini tidak akan mengubah apa-apa. “Memang, kami tidak mengharapkannya dengan mudah. Mereka berpikir bahwa ini dapat dilakukan dalam semalam.”

Toh, itu belum cukup. Jika kedua model kampanye tadi John lakukan di luar Amerika, kini ia mulai secara aktif memasang iklan – benar-benar iklan dalam bentuk papan reklame raksasa – di 11 kota di dunia, termasuk di Amerika (New York dan Los Angeles). Kampanye ini lebih verbal: “War is Over. If You Want It. Happy Christmas from John & Yoko”.

Jadi, ketika John Lennon mulai aktif di Amerika pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, ia muncul sebagai figur yang “sulit”, bahkan “berbahaya”. Nixon dan para pembantunya tahu hal ini.

Ketika John mulai mendarat di Amerika dan mencoba menjadi warga negara negeri ini, ia melakukan sesuatu yang tidak “terlalu manis” di mata pemerintah Amerika. Ia akrab dan aktif dalam kegiatan kelompok perdamaian, kelompok anti-perang, seperti kelompok-kelompok yang dipimpin oleh Abbie Hoffman, Jerry Rubin, Bobbie Seale (Black Panthers), John Sinclair dan Ron Kovic (penulis buku “Born on Fourth July” yang sudah difilmkan). Padahal, Nixon, di lain pihak, sedang secara ketat mengawasi kelompok-kelompok tersebut, kelompok-kelompok yang sedang mempertanyakan kebijakan perangnya di Vietnam.

John Lennon tampak seperti orang bodoh: berteman dengan orang-orang yang akan mempersulit posisinya, terutama posisinya sebagai pemohon kewarganegaraan Amerika Serikat. G. Gordon Liddy, seorang penasihat Nixon, melihatnya secara jelas: John Lennon justru menjadi alat yang sangat berbahaya di tangan kelompok tersebut. “Mereka kini punya amunisi baru,” begitu ujarnya. “Ketika kau memasukkan Bobby Seale dalam timmu, semua polisi akan membencimu. Semua petugas hukum di bumi akan menentangmu.”

Orang yang berpikir positif mungkin berpikir: “John Lennon memilih teman yang salah.” Kemudian dengan sedikit nasihat: “Dia bisa saja tetap bermain musik, menjauh dari obat-obatan, dan tetap mulut tentang apa yang dia suka dan tidak suka tentang Amerika Serikat.” Atau juga: “Nyanyikan saja lagumu dengan tenang.”

Namun, Lennon adalah orang yang polos. Ia senang bergaul dengan para aktivis tersebut karena menganggap mereka mempunyai ide-ide yang sama dengannya. Ia memuji ide-ide mereka, dan mereka pun memuji mantan anggota the Beatles yang sangat populer ini yang ternyata seia-sekata dengan mereka. Klop.

Satu peristiwa telak membuat Nixon dan para penasihatnya berpikir ulang tentang John adalah terkait konser untuk John Sinclair – seorang aktivis yang ditahan oleh kepolisian Michigan – pada 10 Desember 1971. Nixon harus memperhitungkan dengan serius John Lennon setelah peristiwa itu. Peristiwa apa itu? Bagaimana akhir “kucing-kucingan” antara John Lennon dan pemerintahan Amerika Serikat di bawah Nixon? Apakah John Lennon akhirnya memperoleh kewarganegaraan AS? Lalu apa yang menyebabkan John Lennon ditembak mati? Nonton saja sendiri film dokumenter ini.

Ini film dokumenter yang menarik. Selain diisi dengan berbagai dokumentasi wawancara dengan John Lennon dan aktivitasnya pada tahun-tahun itu serta wawancara dengan para aktivis perdamaian di Amerika, film ini juga diisi dengan beberapa cuplikan lagu John Lennon yang terkenal. Oh, ya, beberapa wawancara dilakukan dengan beberapa pengamat sosial-politik dan tokoh humanis seperti Carl Bernstein, Gore Vidal, dan Noam Chomsky, juga wawancara dengan penasihat Nixon, pengacara John Lennon, dan sebagainya.

John Lennon bukan manusia sempurna – ia justru tampak manusiawi dengan ketidaksempurnaannya itu. Namun, toh, kita bisa belajar beberapa hal dari dia, setidaknya untuk urusan perdamaian ini. Peace!

Mengapa Saya Bukan Ateis? (Tamat)

Tampaknya tidak perlu dilanjutkan lagi. Ini tidak adil buat BADU. Kasihan BADU. Sebagai tokoh fiktif, dia kelihatannya cuma jadi bulan2an tokoh fiktif lain: AGUS. Jelas, posisi saya mendukung AGUS (kan saya percaya Tuhan…)

Posisi “AGUS” sebenarnya cukup lemah, dalam arti dia pun tidak dapat secara memuaskan membuktikan keberadaan Tuhan. Tapi posisi dia lebih baik dan secara filosofis dapat dipertahankan, karena jenis “filsafat yang dianutnya” – yaitu teisme – tidak menuntut dia membuktikannya secara rasional dalam arti ketat. Ini berbeda dengan “filsafat ateisme” si BADU. Ateisme berdiri di atas suatu tesis yang jelas, suatu tesis yang secara epistemologis hanya bergantung pada pembuktian berdasarkan kemampuan kodrati manusiawi. Teisme – atau kalau mau spesifik: Katolisisme (yaitu sistem kepercayaan seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik) – tidak mendasarkan tesis keberadaan Tuhan pada kemampuan kodrati manusiawi semata. Kemampuan kodrati manusiawi hanya berguna sampai taraf tertentu, selebihnya ada wahyu (yang kalau di dalam Katolisisme “menjelma” di dalam: kitab suci, tradisi, dan magisterium gereja).

Kesimpulan saya pribadi: BADU hanya dapat konsisten jika ia hanya – sekali lagi hanya jika – berpegang pada Deisme (Tuhan ada, tetapi entah mengapa, Dia tidak ikut campur atas alam semesta) atau Agnostisme (Tuhan ada atau tidak ada, keduanya tidak dapat dibuktikan. Jadi, sebaiknya tidak usah dibicarakan). IMHO, ateisme yang konsisten/konsekuen tidak pernah ada. Ateisme Sartre kelihatan konsisten, karena… dibangun di atas bangunan metafisika yang dia bikin sendiri. Konyol…(***)

Rabu, 20 Agustus 2008

Mengapa Ayu Utami Mengganggu Mimpi-Mimpi Tidur Kita?



Judul Buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Genre: Novel, fiksi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Juni 2008
Tebal: x + 537 halaman
Ukuran: 13,5 x 20 cm

Ayu Utami = Sastra Lendir?
Agak sulit mereview buku Ayu Utami yang terbaru. Maksudnya, saya sulit untuk menetapkan sudut pandang yang mau dipakai: sastranya, isi/tema/topiknya, atau Ayu Utaminya (dan segala predikat yang menempel pada dia)?


Ayu Utami sebenarnya penulis yang kalau dibilang baru, tidak terlalu tepat, tetapi kalau dibilang lama, tidak 100% benar juga. Novelnya yang pertama, Saman, terbit pada tahun 1998 – itu sekitar 10 tahun yang lalu. Jadi, dari segi itu, ia jauh cukup “tua” ketimbang Dee (Dewi Lestari) atau Djenar Maesa Ayu serta para penulis yang muncul pada akhir 1990-an dan 2000-an. Bahkan, banyak orang berujar, Ayulah yang menciptakan “aliran baru” di mana nama-nama tadi dapat dimasukkan dalam genre yang kurang lebih sama.

Namun, Ayu juga dapat dibilang baru, justru dikaitkan dengan “aliran baru” tadi. Ayu, dengan “Saman”-nya, mengawali suatu era baru dalam dunia novel Indonesia. Agak sulit memang untuk memerikan “aliran baru” yang digeluti Ayu dan beberapa perempuan lain tadi. Oleh mereka yang sinis, Ayu dianggap memelopori apa yang disebut dengan berbagai istilah: “sastra lendir”, “sastra selangkangan”, “sastra kelamin”, dan sebagainya.

Mengapa begitu? Aliran tadi – dan juga Ayu Utami sendiri – barangkali memang baru, jika apa yang disebut sebagai – kita pilih satu istilah saja – “sastra lendir” memang merupakan fenomena baru dan belum ada antesedennya dalam dunia sastra atau dunia novel di Indonesia.

Namun, pertama-tama, harus dijawab dulu apa itu “sastra lendir”? Menurut beberapa tulisan yang terbaca, tulisan Ayu Utami – dan genre yang “diciptakannya” – disebut demikian karena mereka mencoba menyajikan unsur-unsur seksual di dalam novelnya secara lebih “terbuka”.

Apakah memang belum pernah ada tulisan semacam itu sebelum Ayu? Mari kita sorot N.H. Dini. Pada ”Pada Sebuah Kapal”, misalnya, Dini juga memasukkan unsur-unsur ”serupa” ke dalamnya. Memang, Dini tidak melakukannya dengan cara yang sama dengan Ayu. Toh, pada waktu itu, orang juga bisa mengatakan bahwa hal-hal semacam itu – yang dilakukan Dini – merupakan hal yang baru dan bahkan ”revolusioner”. Apakah dengan demikian N.H. Dini bisa diklaim sebagai pelopor aliran ”sastra lendir”? Lalu, kebetulan, saya juga sedang membaca novel-novel Arswendo ”Blakanis” (dan mereview ulang ”Kisah Para Ratib”). Di dalamnya, ada juga unsur-unsur seperti itu. Apakah Arswendo juga penganut ”sastra lendir”?

Tampaknya, unsur-unsur seperti itu bukanlah sesuatu yang haram – apalagi baru – di dalam khazanah pernovelan di Indonesia. Memang, ”lendir”-nya memang tidak harus keluar atau tampak jelas – Ayu memang membuatnya semakin jelas (mungkin karena dia adalah anak zamannnya barangkali? Atau lebih tepat: ini lebih merupakan selera, gaya, dan tuntutan cerita), karena toh N.H. Dini dapat melakukannya pada dasawarsa-dasawarsa yang telah lampau, dengan cara yang berbeda.

Barangkali, ”sastra lendir” adalah istilah yang insinuatif . Mengapa, siapa, dan apa dari maksud insinuasi ini, itu di luar tulisan ini untuk membahasnya. Namun, kalau tulisan ini boleh berkata, Ayu Utami justru seorang trend setter, bukan terkait ”sastra lendir”, tetapi terkait kekuatan bernarasi dan berdeskripsinya.

Ayu dan Deskripsi vs Narasi
Ketika saya mencoba membaca ”Bilangan Fu”, saya kebetulan membaca tulisan Goenawan Mohammad (GM) di Bentara Budaya, Kompas (11 Juli 2008). Dalam suatu kesempatan di depan para sastrawan/budayawan yang dulu pernah berseberangan dengannya, GM mencoba melihat perbedaan, kekuatan, dan kelemahan antara sastra yang menitikberatkan antara narasi dan sastra yang bertitik berat pada deskripsi.

Tanpa memasuki diskusi GM di situ (dan tidak 100% menggunakan analisis dia di situ), tulisan ini mencoba melihat bagaimana tulisan Ayu bermetamorfosis dari hanya sekadar bernarasi di dalam ”Saman” menjadi semakin berseimbang antara narasi dan deskripsi di dalam ”Bilangan Fu”.

Coba lihat, bagaimana ia bermewah-mewah dengan kutipan dari berbagai artikel (fiktif maupun bukan), kumpulan kliping (fiktif maupun bukan), analisis mendalam bahkan nyaris lengkap atas berbagai mitologi (Nyi Rara Kidul, Watugunung, dan sebagainya) serta paparan nyaris panjang (atau memang panjang?) dari Babad Tanah Jawi. [Ada satu hal yang menarik bagi saya, sampai sejauh mana Ayu meminta izin media-media massa yang namanya disebut dalam artikel atau kliping tadi. Mengingat banyak berita yang tampaknya imajiner, tentu koran seperti Kompas seharusnya dimintai izin secara resmi oleh Ayu sebelum dicantumkan di dalam novel ini].

Barangkali cara bercerita seperti ini memang cukup membosankan – apalagi bagi mereka yang terbiasa dengan ”Saman” yang kata-katanya sangat, sangat naratif dan pendek-lincah. Dalam ”Bilangan Fu”, kata-kata dan kalimat-kalimat naratif, pendek-lincah pun tetap hadir, namun diimbangi oleh kalimat-kalimat yang sangat deskriptif.

Trend-setterkah Ayu untuk bagian ini? Ya dan tidak. Tidak, karena tentunya sudah banyak novelis atau prosais yang melakukan metode serupa. Mungkin, kita ingat dengan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam Grotta Azzurra (GA). Walaupun Ignas Kleden menilai bahwa novel STA tersebut sebagai ”gagal” (Ignas Kleden, ”STA dan Novel-novelnya”, Kompas, 11 Juli 2008) – karena STA hanya memenuhi novelnya dengan makna-makna referensial dan hampir tidak memberikan pembaca makna tekstual yang lahir dari teks-teks novel tesebut – mengingatkan kita lagi bahwa novel STA tersebut merupakan upaya pertama di negeri ini untuk memunculkan apa yang disebut sebagai ”novel ide”.

Mengapa STA gagal? Novel GA berisi banyak ide-ide besar tentang berbagai hal tetapi tidak dilibatkan dalam event-meaning dialectic dari cerita. Jadi, tokoh, peristiwa dan sebagainya hanya latar yang sebenarnya dapat dihilangkan dari cerita tanpa menghilangkan substansi gagasan yang ingin dituangkan STA. Apakah Ayu begitu juga dengan ”Bilangan Fu”? Jika menggunakan kriteria Kleden di atas, tentunya tidak. Ayu dalam novel terbarunya ini tetap menjalin berbagai ide besarnya dengan tokoh-tokoh ”konkret” dan ”berdarah daging”, sehingga berbagai ide besarnya tersebut tidak dapat dipahami tanpa memahami makna tekstual yang muncul dari teks novel. Memakai istilah Kleden, bolehlah kita berkata bahwa ide-ide besar dalam ”Bilangan Fu” lahir dari peristiwa di dalam novel, terjalin erat dengannya.

Mungkin, kita akan melihat kemiripan dan perbedaan yang juga tak kalah mengejutkannya apabila Bilangan Fu-nya Ayu dibandingkan dengan 3 novel pertama Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering). Apakah Ayu berhasil melampaui Iwan? Ini pertanyaan yang menarik tetapi mungkin belum bisa dijawab sekarang.

Ayu dan Agama Barunya
Keterjalinan antara ide-ide besar yang diusungnya dengan berbagai tokoh dan peristiwa di dalam ”Bilangan Fu” cukup memikat. Ayu secara terampil menggunakan kemampuan bermetaforanya untuk menuangkan ide-ide besar itu (untuk bagian ini, GA-nya STA berhasil dilewati Ayu).

Dengan ide-ide besar tersebut, Ayu bak nabi yang memproklamirkan agama baru: agama yang non-modernis, non-militeristis, dan non-monoteistis. Suatu agama yang mengemohi kemodernan dan ciri-ciri militer tampaknya bukan hal yang baru – setidaknya dalam dunia imaji Parang Jati, tokoh ”agama baru” dalam novel ini. Namun, hal yang lebih baru dan cukup revolusioner adalah sifat non-monoteistisnya.

Agama ini seolah-olah membuat pengakuan atas sifat absolut-intoleran dalam keberagamaan yang monoteistis. Jika Tuhan adalah satu, tentu yang bukan Tuhan dapat dipaksa untuk tunduk menyembah yang satu tersebut (kebetulan, banyak sekali yang berada di luar ”yang satu” itu). Penyembahan atas yang satu rupanya sering diiringi dengan penyangkalan dan pemusnahan yang lain – realitas yang berada di luar yang satu itu.

Tuhan itu satu, kebenaran itu satu, dan para pengemban Tuhan serta kebenaran yang satu itu pun juga satu: suatu umat yang kudus, yang satu, benar dan bahkan ilahi. Semua yang ada di luarnya harus disangkal, dibasmi serta ditumpas. Modernisme dan militerisme hanya alat – yang tidak selalu harus bersifat benar, tetapi rupanya selalu efektif dalam penumpasan segala hal yang berada di luar ”yang satu” tadi.

Karakter Parang Jati – nabi Bilangan Fu – memang cukup ambivalen. Ia sepintas mirip dengan Yesus – tidak diketahui orang tuanya (bahkan ia memang muncul sendiri begitu saja), berbeda dengan orang kebanyakan (punya jari tangan 12 – sehingga ia tergolong di antara orang-orang cacat), serta sedikit melakukan Khotbah di Bukit. Agama Parang Jati adalah antitesis agama Farisi (ini bukan hanya sepintas, tetapi memang tampaknya disengaja Ayu untuk mirip dengan para antagonis Yesus dalam Perjanjian Baru). Jika agama Farisi tidak segan-segan menggunakan militerisme dan modernisme dalam mengokohkan agama monoteismenya, agama Parang Jati bahkan tidak menganjurkan ”pemanjatan yang kotor”, yaitu cara yang lazim dalam pemanjatan gunung: menggunakan paku dan bor.

Namun, Parang Jati – walaupun hampir dikorbankan di meja persembahan oleh ayah angkatnya (mirip dengan Ishak yang hampir dikorbankan oleh ayah kandungnya – juga mengalami kejatuhan: bercinta dengan ibu tirinya. Tampaknya, Parang Jati lebih manusiawi ketimbang Yesus: bukan hanya pernah digoda dosa, tetapi juga ikut-ikutan berdosa.

Toh, itu semua tidak menyurutkan Ayu untuk mengedepankan Parang Jati – tepatnya agama Parang Jati – sebagai filosofi dan praktek hidup yang ditawarkan di tengah-tengah kejahiliahan kaum beragama pada masa senjakala modernisme ini.

Dengan menggunakan banyak simbol dari mitologi Jawa (seperti Nyi Rara Kidul dan Watugunung) serta alur kisah dan figur dalam Alkitab, Ayu mencoba bertutur mengenai kesederhanaan spiritualitas, yaitu spiritualitas yang menghormati alam dan kelemahan manusia.

Kesimpulan
Ayu tetap terdepan dibanding para novelis perempuan – baik yang ”berlendir” maupun tidak. Ia mencoba untuk keluar dari ”metode kuna” yang dipakainya dalam dua novelnya yang terdahulu. Ia bukan hanya keluar, tetapi juga mencoba membuat tren baru dalam bercerita. Tetap layak dianugerahi gelar “ratu metafor”, Ayu kini mulai merambah tradisi yang cukup baru (atau tidak?)

Menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, Ayu menganggu mimpi-mimpi tidur kita karena: ternyata ia tidak begitu “berlendir”, berpotensi melampaui STA, dan mengajak kita merayakan kematian monoteisme. Bagaimana?

Lalu, apakah novel ini bagus untuk dibaca? Saya mengembalikannya kepada selera dan agenda pencarian jati diri Anda. Tapi, sama seperti semua resensi adalah menipu, maka resensi yang satu pun juga menipu. Mengapa tertipu? Karena tidak ada orang yang dapat menikmati buah manggis setelah dikunyah orang lain. Jika Anda ingin menikmati buah manggis, pergilah ke toko buah, beli, dan nikmati sendiri.***

Senin, 14 Juli 2008

The Gospel according to the Simpsons




Judul : The Gospel according to the Simpsons
Subjudul : The Spiritual Life of the World’s Most Animated Family
Penulis : Mark I. Pinsky
Pengantar : Tony Campolo
Penerbit : Westminster John Knox, Louisville, Kentucky, USA
Tebal : xiv + 193
Tahun Terbit : 2001

Perut gendut, rambut botak, dan suka minum bir-makan donat. Jika ada orang yang paling tidak mungkin menjadi presiden Amerika Serikat, pastilah dia orangnya. Namun, bagaimana dia menjadi seorang penulis Injil kita yang terbaru – The Gospel according to the Simpsons (Injil menurut Keluarga Simpson). Si penulis tidak hanya menulis sendirian; ia mengikutsertakan istrinya – yang rambutnya bersanggul aneh; anak laki-lakinya – Anda barangkali akan bersyukur bahwa anak ini tidak tinggal di lingkungan rumah Anda; anak perempuannya – anak yang menyenangkan, walaupun tidak berdasarkan kriteria yang umum; dan entah bisa menulis atau tidak: bayi perempuan yang jarang tampil tanpa empeng-nya.

Homer Simpson, si kepala keluarga, memang tipikal kepala keluarga dari golongan menengah-bawah masyarakat Amerika. Jika suatu keluarga diminta menulis suatu Injil, mungkin memang dialah orang yang tepat – atau tidak tepat? – untuk itu. Sebelum Anda terburu-buru menilai atau memberi keputusan tepat atau tidaknya hal ini, coba baca buku ini dulu – atau review dari saya ini.

Injil ini bukan sembarang Injil. Selain berisi “kebenaran yang akan membebaskan Anda”, ada juga semacam “kebenaran yang akan memerangkap Anda”. Ini semacam kebenaran yang tidak dibuat-buat: polos, nyentrik, dan menyentil jiwa – kalau tidak bisa dibilang: “menyindir jiwa”.

Injil ini ditulis oleh orang-orang yang tidak sempurna. Itu sudah jelas. Lalu, apa yang diharapkan dari Injil semacam ini? Setelah menonton sekitar 150 episode The Simpsons (film kartun karya Matt Groening), Mark Pinsky memberikan jawaban berikut:


“The Simpsons is a situation comedy about modern life that includes a
significant spiritual dimension; because of that, it more accurately reflects
the faith lives of Americans than any other show in the medium.”


Tidak meyakinkan, memang, jawaban seperti itu. Apalagi kalau kita melihat tingkah laku Homer yang tampaknya saleh dengan berdoa memohon kepada Tuhan – tetapi dengan gaya mencobai-Nya. Ia berdoa: jika Tuhan sepakat untuk membiarkan segala sesuatu berjalan apa adanya, Homer juga sepakat untuk tidak meminta yang lain. Konfirmasi atas kesepakatan ini, ia berdoa, adalah dalam bentuk “absolutely no sign”. Tentu saja, tidak ada tanda apa pun dari Tuhan – sebagaimana biasanya dalam kebanyak doa-doa kita.

Lalu, sebagai ungkapan rasa syukur, Homer mempersembahkan kepada Tuhan semacam “kurban persembahan”, yaitu sejumlah kue dan sekotak susu. Ia bertanya kepada Tuhan: apakah Tuhan ingin agar Homer sendiri yang memakan “kurban persembahan” itu. Jika iya, ia juga meminta “no sign”. Setelah menunggu beberapa saat, Homer mengucapkan ucapan syukur yang cukup saleh: “Thy will be done”.

Homer tampaknya berusaha semampunya untuk menjadi Kristen yang baik. Ia mengajak keluarganya hari Minggu ke Gereja. Walaupun tampak penuh trik, Homer tidak pernah malu untuk membawa persoalan kehidupan sehari-harinya langsung kepada Sumber dan meminta-Nya untuk menolongnya dalam persoalan tersebut. Dan jangan dikira Tuhan tidak pernah menjawab doa-doa Homer – atau sebaliknya: Tuhan seolah-olah mau saja dibodohi oleh Homer. Ketika ia kebingungan dalam mengatasi persoalan putrinya yang bertalenta, Lisa, Homer juga meminta tanda dari Tuhan. Tiba-tiba, ia melihat seorang storekeeper menaruh suatu tanda di atas jendela rumahnya, bertuliskan: “Musical Instruments: The Way to Encourage a Gifted Child”. Dan Homer pun langsung tahu jawaban Tuhan atas masalah yang dihadapinya: ia membelikan saksofon untuk Lisa, yang menjadi instrumen musik kesayangan Lisa, bahkan semacam “awal karier” baginya.

Kesinisan Homer terhadap agama – dan juga Tuhan – sebenarnya merupakan sindiran halus atas cara orang kebanyakan di Amerika – dan mungkin di bagian lain di dunia – dalam hal beragama dan ber-Tuhan. Gerutuan, celetukan, dan apa saja yang keluar dari mulut Homer mewakili hal-hal tersebut. Coba perhatikan, betapa mudahnya kita menebak bahwa isi kepala Homer sebagai “isi kepala” orang-orang sekuler – tetapi tetap mencoba hidup religius sebagai tradisi nenek moyang – di Amerika (dan juga di tempat lain):

“He’s always happy. No wait, He’s always mad.” (Definisi Homer tentang sifat Tuhan)

“Perfect teeth. Nice smell. A class act, all the way.” (Deskripsi Homer tentang bagaimana Tuhan menampakkan diri kepadanya di dalam mimpi)

“You know, the one with all the well meaning rules that don’t work in real life. Uh, Christianity.” (Jawaban Homer ketika ditanya Bart: apakah agamanya)

“Kids, let me tell you about another so-called wicked guy. He had long hair and some wild ideas. He didn’t always do what other people thought was right. And that man’s name was…I forget. But the point is…I forget that too.” (Komparasi Homer antara dirinya dengan Yesus yang memiliki ide orisinil dan anti-kemapanan, sehingga dibenci masyarakat).

Dibanding Homer, Lisa, putrinya yang pertama – anaknya yang kedua, jauh lebih “bermoral”. Pinsky bahkan bertanya: Tidakkah Lisa sebenarnya merupakan figur yang merepresentasikan Yesus? Pinksky menulis satu bab khusus tentang Lisa (salah satu bab favorit saya di dalam buku ini) – Does Lisa Speak for Jesus? “There’s Something Wrong with That Kid. She’s So Moral.”

Dibanding kakaknya Bart atau bahkan ayahnya, Lisa seolah-olah di “dunia yang lain”. Ia memiliki standar hidup yang tinggi – bahkan paling tinggi (termasuk dibandingkan dengan ibunya). Penilaian sang ayah: “There’s something wrong with that kid. She’s so moral,” benar-benar mewakili siapa sebenarnya Lisa. Lisa adalah antitesis Homer, ayahnya.

Matt Groening pun berujar:


“I like her idealism, her stubbornness…[her] politics, convictions, and ability
to learn from mistakes. If I had to be suddenly transmorphed into the Simpsons cartoon universe, I’d like to be Lisa Simpson.”

Pinsky membantah pendapat yang menyamakan Lisa dengan Karl Marx. Ia justru menyamakan Lisa dengan Yesus sendiri. Ada beberapa alasan yang membuatnya membuat penilaian ini:


1. Lisa mendukung orang-orang miskin, tak berkuasa, tertindas, dan kritis
atas orang-orang kaya (Ketika Bart memberi kabar bahwa Richie Rich meninggal,
Lisa menjawab: “Perhaps he realized how shallow the pursuit of money was and
took his own life.” Atau ketika kakeknya mendapat uang 100 ribu dolar, ia
meminta kakeknya memberikan kepada orang miskin, sambil berkata: “The people who deserve it are on the street and they’re in the slums. They’re little children
who need more library books, and they’re families who can’t make ends
meet.”)
2. Lisa mempermasalahkan kebijaksanaan konvensional, tanpa memandang betapa
tidak populernya tindakan seperti itu (Ketika diminta menyanyi lagu kebangsaan
Amerika sebagai Little Miss Springfield, Lisa berkata: “Before I sing the national anthem, I’d like to say that college football drains funds that are badly needed for education and the arts.” Lisa berulang-ulang memakai kesempatan “menjadi populer”, tetapi justru menggunakannya untuk mengkritik yang lain.)
3. Lisa percaya pada konsep penatalayanan terhadap bumi dan sumber-sumber dayanya, serta mempertahankan hak-hak Tuhan atas makhluk-makhluk yang lemah.
4. Lisa merasa kasihan dengan orang-orang yang dicemooh atau direndahkan, memberikan penghiburan dan rasa belas kasih kepada orang-orang yang tak dicintai


Di luar keluarga Simpsons, film kartun tersebut banyak mengkarikaturkan berbagai macam penganut denominasi, Evangelikal (Ned Flanders), Katolik (Major Quimby), bahkan agama-agama lain seperti Yahudi dan Hindu. Semua pemeluk tersebut dikarikaturkan, ditarik sampai ke titik ekstrem, hanya untuk dipertontonkan segi-segi inkonsistensinya. Intinya, bukannya tidak ada denominasi atau agama yang sempurna; tetapi seperti Homer, masalahnya adalah tidak ada manusia yang sempurna.

Buku yang terdiri dari 13 bab ini – dengan satu kata pengantar, satu pendahuluan, dan sebuah penjelasan tentang metodologi yang dipakai – memang benar-benar memikat. Kita disadarkan akan realitas keberagamaan kita sendiri, yang memang sering tidak bisa melebihi tingkat “kesalehan” Homer Simpson dan keluarganya.

Bersama Homer Simpson dan anggota keluarganya, kita mungkin dapat memulai jadi orang beragama yang baik.

Doa Seorang Ayah Pada Hari Pertama Anaknya Masuk Sekolah

Hari masih gelap
Surya pagi pun belum genap
Toh begitu, kaki kecilmu harus siap
Tinggalkan adikmu yang masih sunyi lelap

Hari ini hari istimewa
Hari pertama kau masuk sekolah
Hari libur telah lalu di mata
Kini saatnya jelang masa yang indah

Mari
Buku kau masukkan ke dalam tas
Kaus kaki putih bersih bersanding dengan sepatu hitam yang baru
Seragam putih-putih tampak cocok di tubuh mungilmu itu

Mari
Kuantar engkau sampai ke gerbang pintu
Bersama teman kau berangkat lekas
Buka mata, buka hati, kosongkan beban, biar lepas

Ah, wahai, pagi yang cerah
Biarkanlah kami anak-anak negri berangkat pergi
Tuntut ilmu yang paling tinggi
Kan tiba saatnya nanti, mereka beri kau senyum-tawa nan renyah

Belajarlah yang pandai, Nak, belajarlah yang pandai
sama pandainya dengan orang-orang yang bijak bestari

Belajarlah yang pandai, Nak, belajarlah yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai menipu orang lain dan diri

Belajarlah yang pandai, Nak, belajar yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai mengumbar janji

Belajarlah yang pandai, Nak, belajar yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai membuat duka di hati

Belajarlah yang pandai, Nak, belajar yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai untuk diri sendiri

Berangkatlah engkau ke sekolah, Nak
Mumpung hari masih pagi…
...dan papamu tidak lupa mandi

(Dan jika engkau pulang nanti, jangan lupa cuci kaki, makan, dan tidur lagi…)

Amin

Jakarta, 14 Juli 2008
md

Happy Schooling, Katie…
Enjoy

Jumat, 04 Juli 2008

Musa, Ajarilah Kami Mengatasi Rasa Kecewa…

Sudahkah Anda kecewa hari ini? Berapa kali? Tidak pernah kecewa?
Bagi yang belum pernah merasa kecewa atau dikecewakan, mungkin tulisan ini tidak layak untuk dibaca.

Kalau saya, jujur saja, sering merasa kecewa: kecewa pada orang tua, pada istri, pada suami, pada pacar, pada keluarga, pada teman, pada pemerintah…dan pada Tuhan. Orang punya kekecewaannya masing-masing – dengan tingkat kedalamannya masing-masing.

Harold S. Kushner, seorang rabi terkenal yang pernah menulis buku populer – When Bad Things Happen to Good People – menulis buku bagus yang berjudul: Overcoming Life’s Disappointments – Learning from Moses How to Cope with Frustation. Apa yang dapat dipelajari dari Kushner ini? Musa. Ya, tokoh Musa dalam Alkitab.

Kepada orang yang sedang mengalami kekecewaan, Kushner mengajak mereka untuk berpaling pada Musa, belajar dari kehidupannya, baik keberhasilan maupun kegagalannya. Apa keberhasilan Musa? Kita mungkin dengan mudah menemukan keberhasilan Musa ketimbang kegagalannya. Keberhasilannya mencakup: memimpin Israel keluar dari perbudakan di Mesir, membelah Laut Merah, mendaki Gunung Sinai untuk menerima perintah-perintah Tuhan. Intinya, Musa adalah pahlawan Israel.

Apakah seorang pahlawan tidak pernah gagal? Pernah saja. Apakah Musa mengalami kegagalan sebanyak keberhasilannya? Sama banyak, bahkan mungkin dia lebih banyak gagal ketimbang berhasil. Apa kegagalan Musa yang membuatnya kecewa?

Kekecewaan pertama yang Musa alami ternyata tidak lama setelah pengalamannya sebagai seorang pahlawan. Musa membela seorang Ibrani – teman sebangsanya – yang dipukul oleh seorang mandor Mesir. Ia bukan hanya membela, tetapi bahkan membunuh si Mesir itu. Ia memang seperti pahlawan di sini: membela seorang tertindas. Namun, apa yang terjadi? Keesokan harinya, ia melihat 2 orang Ibrani yang bertengkar. Ia melerai kedua orang itu. Namun, apa jawaban salah seorang di antara mereka? “Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti engkau telah membunuh orang Mesir itu?”

Beberapa penafsir mengatakan bahwa ayat dalam Kitab Keluaran tersebut adalah bukti bahwa kemungkinan besar orang yang berkata seperti itu adalah justru orang yang kemarin dibela Musa ketika orang tersebut dipukul oleh si mandor Mesir. Musa tentu kaget. Ternyata, tidak selamanya keinginan baiknya membawa kebaikan. Ia kini justru dipersalahkan oleh orang yang kemarin dibelanya. Ia mendapat pelajaran pertamanya – yang akan sering diulang selama tahun-tahun berikutnya. Kecewakah Musa? Sudah pasti.

Setelah itu, kegagalan demi kegagalan, kekecewaan demi kekecewaan, menjadi pemandangan biasa dalam hidup Musa. Mungkin kekecewaan terbesar dalam hidupnya adalah ketika ia selalu gagal – hampir dikatakan ia hampir selalu gagal di sini – mendidik banga Israel untuk patuh, taat, setia pada Tuhan. Orang yang bersungut-sungut, orang-orang yang keras kepala dan tidak berterima kasih adalah tipe-tipe orang yang menjadi “santapan harian” Musa.

Puncak kekecewaan Musa terhadap orang sebangsanya adalah ketika ia turun dari Gunung Sinai – setelah ia menerima Sepuluh Perintah Allah yang tertulis pada 2 loh batu. Apa yang ia temui? Orang-orang yang suka bersungut-sungut dan tak tahu berterima kasih itu kini malah sedang menyembah sebuah patung lembu emas – lambang berhala. Padahal, Musa justru baru saja turun dari gunung, dari tempat ia menerima semacam sertifikat Memorandum of Understanding antara orang-orang tersebut (melalui Musa) dan Tuhan. Ternyata, bukan kesetiaan dan kesabaran dalam iman yang ia temui, tetapi pengkhianatan.

Musa tampaknya marah (itu mungkin puncak dari rasa kecewa). Kedua loh batu yang dibawanya – entah disengaja atau tidak – jatuh dan pecah berkeping-keping. Namun, ia jelas marah, kecewa dan frustasi. Ia barangkali membanting kedua loh batu itu karena merasa gagal: apa gunanya mencoba mengajarkan kehendak Tuhan kepada orang-orang Israel kalau mereka tidak mau mendengarkan? Setelah kejadian itu, Tuhan memanggil Musa kembali ke puncak gunung dan bersama-sama mereka membuat kembali loh batu pengganti yang baru.

Akhirnya, Musa dikecewakan Tuhan. Setelah hampir 40 tahun lamanya memimpin orang yang tak tahu berterima kasih ini, Musa menerima ganjaran yang sudah barang tentu tidak pantas untuk diterimanya hanya karena “masalah sepele”. Ketika Musa diperintah Tuhan untuk menyuruh bukit batu agar menyemburkan banyak air – ketika orang Israel kehausan – Musa justru memukul bukit batu itu dengan tongkatnya. Tuhan memberi tahu Musa bahwa karena ia tidak mengikuti perintah-Nya, Musa tidak akan pernah memasuki Tanah Perjanjian (Bil. 20:2-12).

Jelas, ini tidak adil bagi Musa. Apakah Musa tidak bisa dimaafkan karena kesalahan sepele itu? Mungkin Tuhan memaafkannya. Tetapi hukumannya tetap: Musa tetap tidak boleh masuk ke Tanah Perjanjian. Barangkali ini semacam pukulan telak kedua bagi Musa dalam hal rentetan frustasi dan rasa kecewa.

Musa ternyata manusia biasa – sama seperti Anda dan saya. Hatinya terbuat dari kaca yang mudah pecah berkeping-keping. Ia sering dikecewakan – bahkan ia sendiri merasa kecewa pada Tuhan.

Tapi, coba lihat: apakah Musa pernah mundur dari apa yang ia rasakan sebagai panggilannya? Musa memiliki mimpi – mimpi membawa bangsanya memasuki Tanah Perjanjian, memasuki suatu hubungan yang baru dan kudus dengan Tuhan sendiri. Ketika mimpi ini hancur seperti 2 loh batu yang hancur, Musa ternyata tidak pernah berhenti bermimpi. Apa yang terjadi adalah ia kini membangun mimpi yang baru – mimpi yang sudah memperhitungkan pengalaman kekecewaannya pada masa lalu. Ia tidak pernah mundur dari visi-misi yang dimimpikannya. Ia kini hanya membuatnya cukup realistis.

Ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, rasanya mudah bagi kita untuk melakukan hal yang benar dan berat. Namun, kita tahu, ukuran sesungguhnya terhadap karakter seseorang adalah sikapnya ketika semua berjalan dengan buruk. Dalam kehidupan Musa, adegan kunci yang menjadi kisah utama dari kehidupannya adalah ketika Musa digambarkan mengumpulkan loh batu yang berserakan itu dengan penuh kasih dan meletakkannya di dalam Tabut Perjanjian, berdampingan dengan loh batu yang baru dan utuh.

Musa tidak membuang mimpi lamanya yang hancur berkeping-keping itu; tetapi ia mengumpulkan dan menyimpannya, bersama dengan mimpi-mimpi barunya. Mengapa? Agar ia selalu mengingat mimpi yang pernah dimilikinya dan pelajaran yang pernah didapatnya. Musa tetap ingin mengingat bahwa ia pernah punya impian yang lebih berpengharapan, impian yang mengisi sebagian besar jiwanya, sehingga ia tiak bisa dan tidak mau melupakannya. Ia mau mengingat bahwa ia pernah memimpinkan sesuatu yang hebat, yang ternyata berubah menjadi sesuatu yang berada di luar genggamannya. Namun, ia tidak mau kenangan itu tercetak dalam benaknya sebagai sebuah kegagalan.

Kepingan harapan yang pecah tidak akan menjadi batu berat yang menghalangi langkahnya. Kepingan tersebut justru akan menjadi batu pijakan, menjadi landasan dari keberhasilan pada masa depan.

Kisah loh batu yang pecah mengajarkan bahwa saat meninggalkan jalan kita yang lama, penting bagi kita untuk tetap berpegang pada keindahan dan inti dari mimpi yang pernah kita pegang teguh. Kita menjadi lebih bijak dan lebih dewasa, sedangkan mimpi masa muda kita diganti dengan yang lebih nyata dan bertahan. Toh, akhirnya, baik yang utuh dan yang hancur akan berdampingan dalam diri kita – sesuatu yang tetap menjadi bagian dari kita, yang membuat kita justru lebih kuat pada bagian di mana kita pernah merasakan sakit.

Amin.

Senin, 30 Juni 2008

Di Atas Langit Masih Ada Langit, Di Atas “P” Masih Ada “M”, Di Atas “M”…

Entah ditangkap atau menyerahkan diri, itu fakta yang tidak begitu menarik untuk orang yang berstatus “kolong jembatan” seperti saya. Namun, penangkapan mantan petinggi Badan Intelijen Negara Muchdi Pr pada hari Kamis (19/6) lalu, membuka babak baru dalam kasus pembunuhan Munir.

Apa yang banyak dicurigai oleh banyak orang ternyata mendekati kenyataan (atau tidak?): Di atas Polly, masih ada orang lain…

Seperti sudah kita ketahui bersama-sama, kasus pembunuhan Munir tidak kunjung menunjukkan titik terang, bahkan ketika tersangka Pollycarpus akhirnya divonis hukuman penjara oleh pengadilan. Masalahnya, orang selalu bertanya dan bertanya: “Apa urusannya seorang pilot dengan seorang aktivis hak asasi manusia sehingga yang pertama berniat membunuh yang kedua?”

Kecurigaan orang bahwa Polly tidak bekerja sendirian – atau tepatnya cuma sebagai pion/pelaku lapangan – mulai sedikit terkuak. Boleh jadi Polly memang benar-benar hanya pelaku lapangan, sementara di belakangnya adalah orang yang kini sudah resmi menjadi tersangka Polri, yaitu Mr. M.

Namun, setelah mendengar komentar beberapa orang, termasuk pengacara Mr. M, ada kemungkinan Mr. M ini juga bukan “author intelectualis” – setidaknya “author intelectualis” tunggal – dari kasus Munir. Lalu, pertanyaan yang menarik adalah: apakah di atas “M” masih ada yang lain? Auk ah gelap

Pertanyaan dari kaum awam sebenarnya masuk akal. Bukannya kita hendak mengaitkan hal ini dengan teori konspirasi yang cukup laku keras di kalangan masyarakat – walaupun pendekatan “teori konspirasi” bukanlah sesatu yang 100% haram dalam berbagai kasus hukum dan politik. Namun, pertanyaan itu lebih muncul dari akal sehat dan “kegemaran” masyarakat atas tuntasnya dan kejelasan suatu kasus.

Bukan suatu yang tabu dan dilarang jika masyarakat lebih suka menduga-duga suatu kasus – entah dalangnya, entah motifnya atau yang lain dari kasus tersebut. Ketika penjelasan rasional yang adekuat atas suatu kasus hukum atau politik dirasakan vakum oleh masyarakat, tentunya masyarakat merasa berhak untuk membuat semacam teori. Teori-teori ini tidak harus lebih masuk akal atau rasional ketimbang “teori” yang dibuat oleh juru bicara pemerintah – entah kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung atau dari kalangan istana. Teori ini juga tentunya tidak harus lebih benar atau sahih (baca: sesuai dengan kenyataan) ketimbang teori mana pun juga.

Namun, teori bikinan masyarakat menjadi suatu sarana “jalan keluar” dari tengah-tengah situasi kebingungan atau keterombang-ambingan yang mereka alami. Jelas “jalan keluar” itu bukanlah suatu “jalan keluar” yang ideal. Namun, “jalan keluar” dalam bentuk “teori tandingan” menjadi sah dan perlu – itu bukti bahwa masyarakat adalah masyarakat yang kritis, sadar, informed, bahkan cerdas.

Kita paham dan sadar bahwa pemerintah tidak begitu saja memberi informasi A atau B atau C atau yang lain mengenai kasus-kasus yang ditangani oleh aparatnya (kepolisian, kejaksaan, KPK atau yang lain). Namun, transparansi, konsistensi, koherensi dan kesinambungan di antara semua lembaga pemerintah – terkait suatu kasus – dalam memberikan jawaban dan informasi yang dibutuhkan masyarakat sangat membantu dalam mencegah beredarnya isu-isu (baca: “teori alternatif”) di tengah masyarakat.

Kasus Munir bukan hanya satu-satunya kasus di mana masyarakat membuat “teori tandingan” atau “teori alternatif” tersebut. Anda dapat menyebut yang lain. Kita berharap, semoga kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dapat diselesaikan dengan baik, satu per satu, secara transparan.

Bagi kita, barangkali tidak penting bahwa si A atau si B yang ternyata memang benar-benar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia; yang jauh lebih penting adalah ketegasan pemerintah mengambil tindakan dan menjelaskan secara transparan tindakan tersebut.

Semoga…

Senin, 09 Juni 2008

J.R.R. Tolkien: Simbolisasi Gandalf, Frodo, dan Aragorn

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa J.R.R. Tolkien – penulis novel trilogi terkenal: The Lord of the Rings – adalah seorang Katolik yang saleh. Anda yang mau membaca biografi Tolkien, dapat ke link ini: http://en.wikipedia.org/wiki/J._R._R._Tolkien

Namun, di sini, saya mau membahas sedikit, mengenai unsur-unsur Katolisisme dalam berbagai tulisannya. Memang, tidak semua tulisan Tolkien akan saya bahas – paling-paling cuma yang populer saja, yaitu trilogi the Lord of the Rings (kok, standar, yaah?).

Anda yang tertarik dengan topik ini bisa mendatangi link-link berikut ini:
http://www.catholicqanda.com/LOTR.html
http://tolkienandchristianity.blogspot.com/
http://treasuresofgrace.com/tolkien/
http://www.tolkiensociety.org/

Namun, saya ingin menguji tesis yang dibuat oleh salah satu link di atas (nggak tahu link yang mana – cari saja sendiri): tiga tokoh dalam trilogi The Lord of the Rings (Gandalf, Frodo, dan Aragorn) adalah simbolisasi dari Yesus Kristus sendiri, terutama terkait dengan fungsi-Nya: Imam, Nabi, dan Raja.

Mari kita lihat satu per satu apa yang sudah dilakukan oleh karakter-karakter di atas sehingga bisa disebut sebagai “simbolisasi Kristus”.

Gandalf. Jelas, dia adalah tokoh yang paling “rohani” ketimbang Frodo dan Aragorn: pakaian yang putih (awalnya abu-abu), membawa tongkat, jenggot putih panjang melambai-lambai, kata-katanya sangat bijak dan penuh dengan nasihat. Orang tidak akan terlalu sulit untuk melihat persamaan karakter Gandalf dan berbagai karakter dalam Alkitab. Tentu dengan Yesus, kita juga akan melihat beberapa kemiripan, seperti misalnya transformasi dari Gandalf the Grey menjadi Gandalf the White, yang terjadi ketika Gandalf seolah-olah – atau sebaiknya: “dikira” – mati (The Fellowship of the Ring). Tentu, Yesus bukanlah seolah-olah mati; Dia memang mati beneran. Namun, toh, pengalaman “tersingkirkan”, “mati” (atau “dikira mati”), “terbuang”, “kalah” yang dialami oleh mereka berdua memang cukup dekat dan agak mirip.

Lalu, pengalaman “bangkit dari kematian” yang dialami oleh Gandalf pun cukup mirip. Gandalf ternyata tidak kalah – dan juga tidak mati! Ia mengalami suatu proses yang barangkali memang harus dia lewati. Ia kembali sebagai pemenang, dengan berubah menjadi seseorang yang lebih bijak, dengan suatu status yang lebih tinggi: “the white”, dengan jubah putihnya. Kesamaannya dengan peristiwa Yesus memang ada, walaupun peristiwa Yesus jauh lebih transformatif dan lebih mendalam. Toh, kesan “mukjizat” dan unsur surprise tetap kelihatan dan – dalam kasus Gandalf terutama – sangat menghibur (dalam kebangkitan Yesus pun, peristiwa itu sangat menghibur dan membuat suka cita sebagaimana terdengar dari madah paskah).

Frodo. Ini agak sulit. Perjalanan susah payah Frodo ke Gunung Mordor jelas memiliki paralel dengan perjalanan Yesus ke Bukit Golgota. Namun, jika Frodo pernah sekali dua kali tampak putus asa (seperti kelihatan dalam Two Tower), Yesus jelas tidak pernah putus asa (walaupun dalam satu doa-Nya ia sempat berucap: “jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku (Mat. 26:39). Namun, Yesus segera menambahkan: “tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Salib yang dipanggul Yesus tidak identik dengan cincin yang dibawa Frodo walaupun keduanya merupakan beban yang menyakitkan. Salib pada Yesus sarat dengan lambang pengorbanan, bukan lambang kekuasaan sebagaimana cincin yang dibawa Frodo. Frodo sekali-dua kali tergoda menggunakan cincin (akhirnya ia secara sadar menggunakannya pada akhir trilogi) – ini wajar karena cincin tersebut merupakan lambang kekuasaan, sesuatu yang sangat nikmat dan menyilaukan mata. Salib Kristus tidak menyilaukan mata dan jauh dari kenikmatan duniawi. Ia justru disingkirkan – bahkan saya yakin, jika Kristus diberi kesempatan oleh Bapa-Nya untuk memilih antara memanggul salib dan tidak memanggul salib, secara manusiawi, Ia pasti memilih tidak memanggul salib.

Namun, kesamaannya jelas: Kristus dan Frodo sama-sama harus menanggung beban, penderitaan, sesuatu yang barangkali tidak mereka inginkan, namun sudah ada di depan mata dan di atas pundah mereka. Keduanya tetap setia sampai garis akhir perjuangan, dengan sedikit perbedaan: Kristus tidak tergoda untuk memanfaatkan salib (memangnya ada salib yang bisa dimanfaatkan. Hehehehe) sementara Frodo sempat tergoda menggunakan cincin. Jelas karakter pribadi kedua tokoh memang berbeda, sementara media yang diperjuangkan juga berbeda: cincin lambang kekuasaan dan salib tanda penderitaan dan penebusan. Cincin harus dimusnahkan, sementara salib harus dipikul, ditegakkan antara bumi dan langit.

Aragorn. Sepintas, wajah-wajah Yesus dalam berbagai lukisan populer sudah agak mirip dengan karakter yang dimainkan oleh Vigo Mortensen dalam film garapan Peter Jakcon atas trilogi Tolkien. Namun, Aragorn dalam novel-novel asli Tolkien, menurut hemat saya pribadi, jauh lebih agung dan berwibawa. Jelaslah, citra seorang raja mesianik dalam Alkitab lebih cocok dengan gambaran dalam novel ketimbang film. Namun, memang bukan itu yang penting. Apakah Aragorn memiliki kemiripan dengan Yesus sebagai Raja Mesianik?

Tentu, tidak, kalau dilihat bahwa Aragorn adalah seorang raja yang berpedang dan menunggang kuda – dua hal yang agak asing dengan Yesus. Namun, walaupun begitu, Yesus tetaplah seorang “raja”, karena tahkta Daud memang akan diberikan kepada-Nya: “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya.” (Luk. 1:32). Jelas takhta di situ adalah takhta raja, bukan yang lain. Namun, bagaimanakah Yesus menjadi raja?

Tipologi raja mesianik dalam Perjanjian Lama banyak yang cocok dan memang digenapi secara telak oleh Yesus, tetapi tentunya bukan yang “naik kuda” dan “mengayunkan pedang”. Namun, peristiwa Yesus yang di-raja-kan tidak muncul secara dramatis atau mentah dalam keempat Injil. Para penulis Injil memang menceritakan kepercayaan para pengikut-Nya bahwa guru yang diikuti adalah seorang raja, walaupun dengan sedikit perbedaan dan sedikit koreksi di sana-sana. Toh, figur raja yang sangat dinanti-nantikan – jika memang dalam arti seperti inilah Yesus “menjadi raja” – memiliki kemiripannya dengan karakter Aragorn. Aragorn pun mengisi takhta yang sudah lama kosong – dan ia memperolehnya dengan tidak mudah, penuh perjuangan. Jelas, ada kemiiripan sedikit di sini (tentunya tidak perlu dilebih-lebihkan atau dipaksakan).

Kembali kepada Tolkien. Seberapa Kristenkah Tolkien – atau seberapa Katolikkah Tolkien? Ini agak sulit dijawab. Link-link di atas menunjukkan banyak unsur yang dapat membantu kita mengidentifikasikan berbagai unsur Katolik – atau setidaknya Kristiani – dalam tulisan-tulisan Tolkien. Namun, sakramentalitas adalah hal yang cukup kelihatan dalam kisah-kisah Tolkien, yaitu simbol-simbol dari kejahatan atau kebaikan. Simbol-simbol tersebut sangat riil, nyata dan insani. Manusia-manusia yang terlibat di dalam – melalui dan bersama – simbol-simbol itu begitu dipengaruhi dan mempengaruhi manusia lain. Jelas, itu bukan simbol dalam arti “konseptualistis”, yang abstrak dan mengawang-awang. Simbol “konseptualistis” seperti itu pasti tidak berpengaruh apa-apa terhadap manusia, karena kita dapat mengabaikan dan melarikan diri darinya. Namun, simbol-simbol dalam tulisan Tolkien sangat menyentuh, menjadi “hidup” dan “mati” bagi orang-orang yang berinteraksi dan terkait dengannya: orang harus memilih atau menolak – tidak bisa apatis. Dengan simbol itu, manusia-manusia di dalam kisah Tolkien dapat menjadi hidup atau bahkan mati (jadi, jangan salah pilih…). Simbol itu – sekali lagi – riil. Itulah “sakramentalitas Katolik” ala Tolkien.

Sebagai penutup, mungkin saya harus mengutip salah satu tulisan favorit saya dari Tolkien:

The only cure for sagging or fainting faith is Communion. Though always itself
perfect and complete and inviolate, the Blessed Sacrament does not operate
completely and once for all in any of us. Like the act of faith it must be
continuous and grow by exercise. Frequency is of the highest effect. Seven times
a week is more nourishing than seven times at intervals. . . .[ Excerpted from a
letter to Tolkien's son Michael written on November 1, 1962 (Letters of J. R. R.
Tolkien, Humphrey Carpenter, ed., Houghton Mifflin Co. [1981], pp. 337-9)]

Kamis, 05 Juni 2008

The Gospel according to Peanuts


Bagaimana kalau seekor anjing dan sekelompok bocah kecil menulis Injil? Suatu Injil yang kira-kira berisi dialog seperti ini:

“You know what the trouble with you is, Charlie Brown?”
“No; And I don’t want to know! LEAVE ME ALONE!”
“The whole trouble with you is you won’t listen to what the whole trouble with you is!”

Tiba-tiba saja, saya mendapatkan sebuah buku yang agak lusuh di meja saya. Entah siapa yang mengirim atau tidak sengaja meletakkannya di meja saya yang “agak” berantakan. Buku tersebut lusuh, karena memang sudah tua (selidik punya selidik, ternyata seorang teman meminta saya membacanya karena ia kecewa karena buku tersebut tidak jadi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).

Buku ini merupakan edisi Inggris (diterbitkan oleh penerbit Fontana, Inggris, 1966) dari buku dengan judul yang sama yang diterbitkan oleh Westminster John Knox, Amerika Serikat (tahun 1965). Westminster John Knox menerbitkan seri “The Gospel according to…” (salah satunya – The Gospel according to Oprah, dalam versi Indonesianya: Injil menurut Oprah – sudah pernah saya resensi di sini di tempat lain.

Bagi Anda yang berminat mendalami Peanuts dan hal yang terkait, mungkin Anda dapat mejelajahi link-link di bawah ini:
http://www.snoopy.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Peanuts
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Gospel_According_to_Peanuts (link ini berisi versi WJK atas buku ini dengan cover yang berbeda).

But, mari kita bicara tentang buku ini. Peanuts menandai lahirnya sebuah era, yaitu kebangkitan komik strip setelah era Perang Dunia Ke-2. Selain Peanuts, Amerika juga kebanjiran komik-komik hero. Namun, Peanuts tetaplah sesuatu yang unik. Sekelompok bocah, dengan Charlie Brown sebagai pusatnya, dan seekor anjing – Snoopy, yang menjadi trade mark dan sering “dibajak” di seluruh dunia – merupakan daya pikat tersendiri. Pencipta dan penulis komik Peanuts, Charles M. Schulz. Schulz adalah seseorang yang berlatar Presbiterian. Dan hal ini kadang-kadang menjadi jelas dalam karyanya.

Buku ini, yang ditulis oleh Robert L. Short, barangkali menjadi pelopor bagi suatu genre – kalau ini mau dibilang sebagai genre: suatu perenungan yang mendalam atas segala sesuatu dengan media komik. Perenungan tersebut tidak selalu bersifat filosofis atau teologis, namun tetap memiliki kedalaman tertentu.

Penggunaan karakter anak-anak membuat perenungan tersebut kadang terdengar sinis, satiris, atau ironis. Namun, kalau ditelaah lebih jauh, anak-anak adalah wakil dari manusia juga – yaitu ketika manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan terakhir, tertinggi, dan terdalam mereka: waktu, hidup, mati, Tuhan, dan kemanusiaan itu sendiri. Tidak mengherankan bahwa semua persoalan-persoalan rumit tersebut justru menjadi nyata dan “kena” ketika diperbincangkan oleh anak-anak. Bukankah memang anak-anak yang suka heran mengapa orang bisa meninggal dan mengapa ada kehidupan ketimbang tidak ada – bukankah orang tua biasanya memang sok tahu (karena memang tidak tahu)?

Jadi, penggunaan karakter anak-anak adalah salah satu bentuk kejeniusan Schulz. Anak-anak itu innocent, politically correct. Komentar anak terhadap “kasus-kasus berat” sering tak terduga dan tetap memiliki kedalaman yang luar biasa. Coba simak yang satu ini, dialog antara Charlie Brown dan, Linus, adik Lucy, temannya:

Charlie Brown: “Life is just too much for me…I’ve been confused right from the
day I was born…I think the whole trouble is that we’re thrown into life to fast…
we’re not really prepared.”
Linus: “What did you want…a chance to warm up
first?”

Buku ini terdiri dari beberapa bab. Bab pertama membahas mengenai hubungan antara gereja (baca: agama) dan seni. Bab ini menurut saya menjadi “kaca mata” penulis dalam melihat karya Schulz, Peanuts. Tidak ada yang salah dengan “kaca mata” tersebut. Tapi, “kaca mata” hanyalah salah satu “kaca mata” di antara berbagai “kaca mata”. Saya lebih suka melihat Peanuts sebagaimana di atas, sesuatu yang lebih besar ketimbang gereja dan kekristenan – suatu pesan yang lebih filosofis, human, dan universal. Namun, penilaian kembali kepada para penikmat Peanuts di seluruh dunia.

Namun, “kaca mata” penulis tetap aktual dan “mengena” dengan kondisi sekarang: ketidakmampuan kalangan agama (baca: gereja) dalam menyapa manusia melalui karya seni. Jelas, penulis melihat Peanuts berhasil melakukannya secara baik – sesuatu yang saya setujui. Bab-bab lain dari buku ini, terutama Bab II (“The Whole Trouble”: Original Sin), Bab III (The Wages of Sin Is “Aaaugh”), dan Bab V (The Hound of Heaven) merupakan pembeberan penuh kutipan atas hasil penglihatan melalui “kaca mata” tadi. Apa itu dosa dan situasi paradoks dosa sangat kelihatan dalam dialog-dialog di Peanuts. Selain dua kutipan dialog di atas – yang diambil dari Bab II, dialog berikut juga memperlihatkan siatuasi paradoks keberdosaan manusia:

Lucy: “Discouraged again, eh, Charlie Brown? You know what your trouble is? The whole trouble with you is that you’re YOU!”
Charlie: “Well, what in the world can I do about that?”
Lucy: “I don’t pretend to be able to give advice… I merely point out the trouble!”

“Trouble” atau “whole trouble” sering digunakan oleh Schulz untuk mewakili dosa, situasi serbadosa dan serbasalah yang dialami manusia. Dialog-dialog para bocah Peanuts secara jitu menyoroti hal ini, sekaligus menyimpulkan – tanpa perlu menggurui siapa pun (tentu ada saja orang dewasa yang tersinggung membaca komentar bocah-bocah yang hobinya nyeletuk seperti Charlie Brown dan kawan-kawan. Tapi, kebanyakan di antara kita, tidak begitu, kan?)

Kedosaan atau keserbasalahan itu, menurut penulis, disimbolkan secara baik oleh Schulz pada “security-blanket” yang dimiliki oleh Linus, adik Lucy (hlm. 58). Karakter Linus sebenarnya jauh lebih filosofis dan “cerdas” ketimbang Charlie Brown. Namun, Schulz juga memperlihatkan “kelemahan” tertentu dari Linus: keterikatakan pada sesuatu. Dalam beberapa episoden Peanuts, karakter Linus digambarkan “depresi”, “gelisah”, atau “cemas”, karena tidak menemukan “security-blanket”-nya pada saat-saat ia mengalami semacam “bad day”. Jadi, “blanket” di sini bukan hanya sesuatu yang membuat manusia terikat, tetapi juga membuat manusia nyaman di tengah-tengah situasi tidak nyamannya.

Terkait dengan situasi paradoksal dosa itu, penulis juga mengangkat suatu istilah yang cukup sering diceletukkan baik oleh Charlie Brown maupun karakter lain dalam Peanuts, yaitu istilah: “Good Grief” (ini menjadi pokok dalam Bab IV buku ini). Istilah ini tampaknya memang bertolak belakang: apakah sesuatu yang bersifat “grief” bisa menjadi good”? Saya setuju dengan pendekatan yang dipakai penulis yang langsung memperlihatkan bahwa itulah sebenarnya inti kekristenan. Inilah inti dari Gospel (Injil), seperti kata penulis (hlm. 83): “This is why the gospel, or ‘good news’, is never good news except to those who are already ‘meek and lowly’ or ‘of a humble and contrite spirit’.”

Problem ini dihadapi oleh karakter Lucy yang bertanya-tanya mengapa Allah yang mahakuasa mengizinkan atau seolah-olah membiarkan terjadinya penderitaan di dunia ini. Seperti katanya kepada Charlia Brown suatu saat:

Lucy: “Sometimes I get discouraged”
Charlie: “Well, Lucy, life does have its ups and downs, you know…”
Lucy: “But why?” Why SHOULD it?! Why can’t my life be all “UPS”? If I want all “ups”, why can’t I have them? Why can’t I just move from one “up” to another “up”? Why can’t I just go from an “up” to and “UPPER-UP”? I DON’T WANT ANY “DOWNS”! I JUST WANT “UPS” AND “UPS” AND “UPS”!
Charlie: “I can’t stand it…”

Namun, inti “good grief” dari Injil (dan juga Peanuts) jelas jauh luas ketimbang menerima irama “up” dan “down” dalam hidup. Seperti kata penulis, dengan mengutip Paulus: “Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa. Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia. (Rm. 6:6-8). Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, memang. Suatu pengorbanan yang membawa ke kemenangan yang lebih mulia, yang tak selalu dapat dicerna oleh akal kita.

Mungkin ada yang bingung ketika membaca tulisan ini: mengapa saya tidak menyebut-nyebut karakter Snoopy – karakter yang jarang berbicara (tentu karena dia adalah seekor anjing, yang dalam beberapa episode sering digambarkan “berkata-kata dalam hati”)? Saya sengaja menyisakannya untuk bagian terakhir. Si penulis mempunyai gambaran yang sangat dahsyat tentang Snoopy: Snoopy adalah gambaran Yesus Kristus sendiri! Karakter Snoopy adalah semacam “Kristus kecil”, yang menjadi simbol “ambivalen” dari karya Kristus sendiri: “humbling the exalted and exalting the humble.” (Yoh. 9: 39: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta.”). Ambivalensi Kristus dengan tepat digambarkan Snoopy: bijak-mulia, tetapi sering diremehkan.

Barangkali, kalau penilaian penulis atas Snoopy terlalu tinggi, saya lebih baik melanjutkan pendekatan pertama di atas: jika anak-anak TIDAK DAPAT dikatakan menggurui jika mereka berceloteh tentang hidup, mati, waktu dan Tuhan….apalagi seekor anjing. Seekor anjing jelas jauh lebih innocent. Jelas, karakter “tanpa dosa” Snoopy bisa dengan bebas menjadi hakim atas siapa saja – bukan hanya pembaca – tetapi juga para karakter manusia di dalam Peanuts. Jadi, jika para bocah menjadi “guru bagi pembaca” tanpa perlu “menggurui pembaca”, maka karakter Snoopy dapat menjadi “manusia yang arif-bijak bagi semua orang (baik pembaca atau bukan)” tanpa perlu “menjadi manusia”.

Akhirnya, untuk menutup review ini, mungkin lebih bagus kalau saya mengutip suatu dialog antara Charlie Brown dan Linus, saudara Lucy – Charlie dan Linus sedang berdiri mengelilingi pohon yang masih kecil:

Charlie: “It’s a beatitul little tree, isn’t it?”
Linus: “Yes, it is…”
Charlie: “It’s a shame that we won’t be around to see it when it’s fully grown.”
Linus: “Why? Where are we going?”

Jumat, 30 Mei 2008

Coldplay Semakin Religius? Ah Masak…?

Saya baca di sini …

http://www.thesun.co.uk/sol/homepage/showbiz/bizarre/article1202492.ece

dan di sini: http://www.americanpapist.com/labels/music.html

….katanya band Coldplay (CP) semakin religius. Enggak tahu apa definisi religius di situ J

Di link pertama antara lain tertulis:

“This latest album — much of which was recorded in churches in Spain and Latin
America
— is full of religious references. It’s as heavy-going as
the Bible but as ultimately as rewarding if that’s your bag.”

Tentu, Anda dan saya, jangan terkecoh dengan ulasan di link tersebut. Kalau hanya merekam lagu – or klip – di “churches in Spain and Latin America”, kita tidak dapat menganggapnya sebagai album atau lagu yang religius. Namun, acuan untuk menjadi religius itu memang tampak cukup kelihatan di beberapa track dari album terbaru mereka (well, sebagaimana yang saya lihat dari link-link di atas).

Religiositas yang ditawarkan CP sudah mulai kelihatan sejak album mereka yang kedua, A Rush of Blood to the Head. Tentu, ini kalau religiositas diartikan secara luas (bukan urusan di sekitar agama dan Tuhan per se saja).

Coba kita lihat track God Put a Smile upon Your Face (album kedua).

“Where do we go, nobody knows

Don't ever say you're on your way down when

God gave you style and gave you grace,

And put a smile upon your face oh yeah”

Jelas, ada semacam optimisme di situ. Barangkali banyak lagu yang berupaya memberi semangat pendengarnya, namun tidak begitu banyak lagu yang berisi kalimat ini: “God gave you style and gave you grace, and put a smile upon your face…”

Memang, lagu tadi tidak langsung menjadi religius hanya gara-gara menyebut kata “God” di situ. Toh, fakta tersebut sedikit menyiratkan bahwa bagi Chris Martin – penulis lirik utama CP – optimisme juga tanpa malu-malu bisa diakui berasal dari sesuatu yang lebih tinggi ketimbang manusia sendiri – Tuhan.

Namun, ada juga lirik lagu yang agak subtil dari CP – sampai sekarang saya tidak dapat menangkap maknanya (mungkin ada yang mau share apa sih maksud lagu itu sebenarnya – murni cinta-cintaan sepasang anak manusia atau ada acuan ke tempat lain). Lagu tersebut, ‘Til Kingdom Come, merupakan hidden track dari album CP ketiga, X&Y.

Antara lain, liriknya berbunyi begini:

“For you I'd wait 'til kingdom come

Until my day, my day is done

And say you'll come and set me free

Just say you'll wait, you'll wait for me”

Entah memang religius atau tidak, kedua link di atas membuka lagi semacam perdebatan lama yang sudah lama terpendam – atau tidak? – di dalam para penggemar dan pengamat musik: hubungan antara agama dan musik. Tentu, ada lagu, album musik, atau pemusik yang secara tegas dapat disebut sebagai lagu, album atau pemusik rohani (religius). Ini bisa dilihat dari judul lagu, lirik lagu, cover album, atau bahkan penampilan si pemusik. Sebaliknya, ada juga lagu, album musik, atau pemusik yang secara tegas dapat disebut – kalau tidak: menyebut diri – sebagai anti-rohani. Di dalam sejarah musik, kita dapat dengan mudah menemuinya (paling gampang adalah yang kedua).

Namun, tidak sedikit pula – bahkan barangkali yang paling banyak – album, lagu, atau pemusik yang sebenarnya tidak ingin disebut religius dalam arti ketat. “Gua bermain musik tentang cinta, manusia, dan lingkungan,” begitu misalnya. Namun, tidak selalu mudah bagi para pengamat, penggemar atau “non-penggemar” untuk menilai klaim ini. Misalnya, ada orang berkata bahwa lagu “Stairway to Heaven”-nya Led Zeppelin memiliki acuan yang anti-religius atau bahkan salah satu lagu Stevie Wonder. Untuk kasus ini, memang tidak mudah untuk menarik kesimpulan. Sebagai musisi, Led Zeppelin atau Stevie Wonder tidak dapat dengan mudah digolongkan ke dalam band religius atau band anti-religius.

Barangkali, untuk sekadar mengambil kesimpulan atas tulisan yang tidak bermutu ini (hehehehehe), suatu lagu, album atau pemusik tidak dapat dinilai dari segi religiositasnya saja. Suatu lagu yang baik seharusnya juga menyentuh segi terdalam manusia – di mana religiositas memang salah satunya, membuatnya untuk berempati dan bersimpati, menggerakkan emosi terdalam yang positif, dan akhirnya melahirkan tindakan atau perbuatan nyata yang membawanya melangkah ke arah yang lebih baik bagi diri sendiri dan orang lain (begitu kali, ya?).

Menurut hemat saya, kedua link di atas (bahwa album CP ke-4 bersifat religius) dan juga jargon-jargon “bahwa pemusik, lagu atau album tertentu adalah musik setan” merupakan upaya-upaya dari orang-orang yang berusaha menarik “lagu-lagu yang temanya biasa saja” untuk menjadi “sangat religius” atau juga “anti-religius”. Padahal, biarkan konsumen memilih, pun biarkan lagu-lagu yang didengarkannya setiap hari menggerakkan emosi dan hati, suatu gerakan positif yang dapat mengubah diri dan orang lain.

Akhirnya, tidak ada lagu yang bisa 100% memuaskan para pendengarnya (*iklan mode: on*). Begitu juga barangkali lagu-lagu CP, termasuk album teranyarnya. Jadi, bagi para pembaca, ini semacam warning: hanya untuk yang berminat dan berani saja…!

Sebagai penutup, inilah kesimpulan saya: kerinduan para penggemar CP cukup terpenuhi dengan hadirnya album tersebut. Oh ya, menurut link-link di atas, album fisik CP yang keempat ini – yang katanya akan berjudul Viva la Vida (atau Death And All His Friends) – akan keluar bulan Juni 2008 ini. Siap-siap di toko CD/kaset (jangan beli yang bajakan).