Senin, 30 Juni 2008

Di Atas Langit Masih Ada Langit, Di Atas “P” Masih Ada “M”, Di Atas “M”…

Entah ditangkap atau menyerahkan diri, itu fakta yang tidak begitu menarik untuk orang yang berstatus “kolong jembatan” seperti saya. Namun, penangkapan mantan petinggi Badan Intelijen Negara Muchdi Pr pada hari Kamis (19/6) lalu, membuka babak baru dalam kasus pembunuhan Munir.

Apa yang banyak dicurigai oleh banyak orang ternyata mendekati kenyataan (atau tidak?): Di atas Polly, masih ada orang lain…

Seperti sudah kita ketahui bersama-sama, kasus pembunuhan Munir tidak kunjung menunjukkan titik terang, bahkan ketika tersangka Pollycarpus akhirnya divonis hukuman penjara oleh pengadilan. Masalahnya, orang selalu bertanya dan bertanya: “Apa urusannya seorang pilot dengan seorang aktivis hak asasi manusia sehingga yang pertama berniat membunuh yang kedua?”

Kecurigaan orang bahwa Polly tidak bekerja sendirian – atau tepatnya cuma sebagai pion/pelaku lapangan – mulai sedikit terkuak. Boleh jadi Polly memang benar-benar hanya pelaku lapangan, sementara di belakangnya adalah orang yang kini sudah resmi menjadi tersangka Polri, yaitu Mr. M.

Namun, setelah mendengar komentar beberapa orang, termasuk pengacara Mr. M, ada kemungkinan Mr. M ini juga bukan “author intelectualis” – setidaknya “author intelectualis” tunggal – dari kasus Munir. Lalu, pertanyaan yang menarik adalah: apakah di atas “M” masih ada yang lain? Auk ah gelap

Pertanyaan dari kaum awam sebenarnya masuk akal. Bukannya kita hendak mengaitkan hal ini dengan teori konspirasi yang cukup laku keras di kalangan masyarakat – walaupun pendekatan “teori konspirasi” bukanlah sesatu yang 100% haram dalam berbagai kasus hukum dan politik. Namun, pertanyaan itu lebih muncul dari akal sehat dan “kegemaran” masyarakat atas tuntasnya dan kejelasan suatu kasus.

Bukan suatu yang tabu dan dilarang jika masyarakat lebih suka menduga-duga suatu kasus – entah dalangnya, entah motifnya atau yang lain dari kasus tersebut. Ketika penjelasan rasional yang adekuat atas suatu kasus hukum atau politik dirasakan vakum oleh masyarakat, tentunya masyarakat merasa berhak untuk membuat semacam teori. Teori-teori ini tidak harus lebih masuk akal atau rasional ketimbang “teori” yang dibuat oleh juru bicara pemerintah – entah kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung atau dari kalangan istana. Teori ini juga tentunya tidak harus lebih benar atau sahih (baca: sesuai dengan kenyataan) ketimbang teori mana pun juga.

Namun, teori bikinan masyarakat menjadi suatu sarana “jalan keluar” dari tengah-tengah situasi kebingungan atau keterombang-ambingan yang mereka alami. Jelas “jalan keluar” itu bukanlah suatu “jalan keluar” yang ideal. Namun, “jalan keluar” dalam bentuk “teori tandingan” menjadi sah dan perlu – itu bukti bahwa masyarakat adalah masyarakat yang kritis, sadar, informed, bahkan cerdas.

Kita paham dan sadar bahwa pemerintah tidak begitu saja memberi informasi A atau B atau C atau yang lain mengenai kasus-kasus yang ditangani oleh aparatnya (kepolisian, kejaksaan, KPK atau yang lain). Namun, transparansi, konsistensi, koherensi dan kesinambungan di antara semua lembaga pemerintah – terkait suatu kasus – dalam memberikan jawaban dan informasi yang dibutuhkan masyarakat sangat membantu dalam mencegah beredarnya isu-isu (baca: “teori alternatif”) di tengah masyarakat.

Kasus Munir bukan hanya satu-satunya kasus di mana masyarakat membuat “teori tandingan” atau “teori alternatif” tersebut. Anda dapat menyebut yang lain. Kita berharap, semoga kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dapat diselesaikan dengan baik, satu per satu, secara transparan.

Bagi kita, barangkali tidak penting bahwa si A atau si B yang ternyata memang benar-benar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia; yang jauh lebih penting adalah ketegasan pemerintah mengambil tindakan dan menjelaskan secara transparan tindakan tersebut.

Semoga…

Senin, 09 Juni 2008

J.R.R. Tolkien: Simbolisasi Gandalf, Frodo, dan Aragorn

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa J.R.R. Tolkien – penulis novel trilogi terkenal: The Lord of the Rings – adalah seorang Katolik yang saleh. Anda yang mau membaca biografi Tolkien, dapat ke link ini: http://en.wikipedia.org/wiki/J._R._R._Tolkien

Namun, di sini, saya mau membahas sedikit, mengenai unsur-unsur Katolisisme dalam berbagai tulisannya. Memang, tidak semua tulisan Tolkien akan saya bahas – paling-paling cuma yang populer saja, yaitu trilogi the Lord of the Rings (kok, standar, yaah?).

Anda yang tertarik dengan topik ini bisa mendatangi link-link berikut ini:
http://www.catholicqanda.com/LOTR.html
http://tolkienandchristianity.blogspot.com/
http://treasuresofgrace.com/tolkien/
http://www.tolkiensociety.org/

Namun, saya ingin menguji tesis yang dibuat oleh salah satu link di atas (nggak tahu link yang mana – cari saja sendiri): tiga tokoh dalam trilogi The Lord of the Rings (Gandalf, Frodo, dan Aragorn) adalah simbolisasi dari Yesus Kristus sendiri, terutama terkait dengan fungsi-Nya: Imam, Nabi, dan Raja.

Mari kita lihat satu per satu apa yang sudah dilakukan oleh karakter-karakter di atas sehingga bisa disebut sebagai “simbolisasi Kristus”.

Gandalf. Jelas, dia adalah tokoh yang paling “rohani” ketimbang Frodo dan Aragorn: pakaian yang putih (awalnya abu-abu), membawa tongkat, jenggot putih panjang melambai-lambai, kata-katanya sangat bijak dan penuh dengan nasihat. Orang tidak akan terlalu sulit untuk melihat persamaan karakter Gandalf dan berbagai karakter dalam Alkitab. Tentu dengan Yesus, kita juga akan melihat beberapa kemiripan, seperti misalnya transformasi dari Gandalf the Grey menjadi Gandalf the White, yang terjadi ketika Gandalf seolah-olah – atau sebaiknya: “dikira” – mati (The Fellowship of the Ring). Tentu, Yesus bukanlah seolah-olah mati; Dia memang mati beneran. Namun, toh, pengalaman “tersingkirkan”, “mati” (atau “dikira mati”), “terbuang”, “kalah” yang dialami oleh mereka berdua memang cukup dekat dan agak mirip.

Lalu, pengalaman “bangkit dari kematian” yang dialami oleh Gandalf pun cukup mirip. Gandalf ternyata tidak kalah – dan juga tidak mati! Ia mengalami suatu proses yang barangkali memang harus dia lewati. Ia kembali sebagai pemenang, dengan berubah menjadi seseorang yang lebih bijak, dengan suatu status yang lebih tinggi: “the white”, dengan jubah putihnya. Kesamaannya dengan peristiwa Yesus memang ada, walaupun peristiwa Yesus jauh lebih transformatif dan lebih mendalam. Toh, kesan “mukjizat” dan unsur surprise tetap kelihatan dan – dalam kasus Gandalf terutama – sangat menghibur (dalam kebangkitan Yesus pun, peristiwa itu sangat menghibur dan membuat suka cita sebagaimana terdengar dari madah paskah).

Frodo. Ini agak sulit. Perjalanan susah payah Frodo ke Gunung Mordor jelas memiliki paralel dengan perjalanan Yesus ke Bukit Golgota. Namun, jika Frodo pernah sekali dua kali tampak putus asa (seperti kelihatan dalam Two Tower), Yesus jelas tidak pernah putus asa (walaupun dalam satu doa-Nya ia sempat berucap: “jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku (Mat. 26:39). Namun, Yesus segera menambahkan: “tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Salib yang dipanggul Yesus tidak identik dengan cincin yang dibawa Frodo walaupun keduanya merupakan beban yang menyakitkan. Salib pada Yesus sarat dengan lambang pengorbanan, bukan lambang kekuasaan sebagaimana cincin yang dibawa Frodo. Frodo sekali-dua kali tergoda menggunakan cincin (akhirnya ia secara sadar menggunakannya pada akhir trilogi) – ini wajar karena cincin tersebut merupakan lambang kekuasaan, sesuatu yang sangat nikmat dan menyilaukan mata. Salib Kristus tidak menyilaukan mata dan jauh dari kenikmatan duniawi. Ia justru disingkirkan – bahkan saya yakin, jika Kristus diberi kesempatan oleh Bapa-Nya untuk memilih antara memanggul salib dan tidak memanggul salib, secara manusiawi, Ia pasti memilih tidak memanggul salib.

Namun, kesamaannya jelas: Kristus dan Frodo sama-sama harus menanggung beban, penderitaan, sesuatu yang barangkali tidak mereka inginkan, namun sudah ada di depan mata dan di atas pundah mereka. Keduanya tetap setia sampai garis akhir perjuangan, dengan sedikit perbedaan: Kristus tidak tergoda untuk memanfaatkan salib (memangnya ada salib yang bisa dimanfaatkan. Hehehehe) sementara Frodo sempat tergoda menggunakan cincin. Jelas karakter pribadi kedua tokoh memang berbeda, sementara media yang diperjuangkan juga berbeda: cincin lambang kekuasaan dan salib tanda penderitaan dan penebusan. Cincin harus dimusnahkan, sementara salib harus dipikul, ditegakkan antara bumi dan langit.

Aragorn. Sepintas, wajah-wajah Yesus dalam berbagai lukisan populer sudah agak mirip dengan karakter yang dimainkan oleh Vigo Mortensen dalam film garapan Peter Jakcon atas trilogi Tolkien. Namun, Aragorn dalam novel-novel asli Tolkien, menurut hemat saya pribadi, jauh lebih agung dan berwibawa. Jelaslah, citra seorang raja mesianik dalam Alkitab lebih cocok dengan gambaran dalam novel ketimbang film. Namun, memang bukan itu yang penting. Apakah Aragorn memiliki kemiripan dengan Yesus sebagai Raja Mesianik?

Tentu, tidak, kalau dilihat bahwa Aragorn adalah seorang raja yang berpedang dan menunggang kuda – dua hal yang agak asing dengan Yesus. Namun, walaupun begitu, Yesus tetaplah seorang “raja”, karena tahkta Daud memang akan diberikan kepada-Nya: “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya.” (Luk. 1:32). Jelas takhta di situ adalah takhta raja, bukan yang lain. Namun, bagaimanakah Yesus menjadi raja?

Tipologi raja mesianik dalam Perjanjian Lama banyak yang cocok dan memang digenapi secara telak oleh Yesus, tetapi tentunya bukan yang “naik kuda” dan “mengayunkan pedang”. Namun, peristiwa Yesus yang di-raja-kan tidak muncul secara dramatis atau mentah dalam keempat Injil. Para penulis Injil memang menceritakan kepercayaan para pengikut-Nya bahwa guru yang diikuti adalah seorang raja, walaupun dengan sedikit perbedaan dan sedikit koreksi di sana-sana. Toh, figur raja yang sangat dinanti-nantikan – jika memang dalam arti seperti inilah Yesus “menjadi raja” – memiliki kemiripannya dengan karakter Aragorn. Aragorn pun mengisi takhta yang sudah lama kosong – dan ia memperolehnya dengan tidak mudah, penuh perjuangan. Jelas, ada kemiiripan sedikit di sini (tentunya tidak perlu dilebih-lebihkan atau dipaksakan).

Kembali kepada Tolkien. Seberapa Kristenkah Tolkien – atau seberapa Katolikkah Tolkien? Ini agak sulit dijawab. Link-link di atas menunjukkan banyak unsur yang dapat membantu kita mengidentifikasikan berbagai unsur Katolik – atau setidaknya Kristiani – dalam tulisan-tulisan Tolkien. Namun, sakramentalitas adalah hal yang cukup kelihatan dalam kisah-kisah Tolkien, yaitu simbol-simbol dari kejahatan atau kebaikan. Simbol-simbol tersebut sangat riil, nyata dan insani. Manusia-manusia yang terlibat di dalam – melalui dan bersama – simbol-simbol itu begitu dipengaruhi dan mempengaruhi manusia lain. Jelas, itu bukan simbol dalam arti “konseptualistis”, yang abstrak dan mengawang-awang. Simbol “konseptualistis” seperti itu pasti tidak berpengaruh apa-apa terhadap manusia, karena kita dapat mengabaikan dan melarikan diri darinya. Namun, simbol-simbol dalam tulisan Tolkien sangat menyentuh, menjadi “hidup” dan “mati” bagi orang-orang yang berinteraksi dan terkait dengannya: orang harus memilih atau menolak – tidak bisa apatis. Dengan simbol itu, manusia-manusia di dalam kisah Tolkien dapat menjadi hidup atau bahkan mati (jadi, jangan salah pilih…). Simbol itu – sekali lagi – riil. Itulah “sakramentalitas Katolik” ala Tolkien.

Sebagai penutup, mungkin saya harus mengutip salah satu tulisan favorit saya dari Tolkien:

The only cure for sagging or fainting faith is Communion. Though always itself
perfect and complete and inviolate, the Blessed Sacrament does not operate
completely and once for all in any of us. Like the act of faith it must be
continuous and grow by exercise. Frequency is of the highest effect. Seven times
a week is more nourishing than seven times at intervals. . . .[ Excerpted from a
letter to Tolkien's son Michael written on November 1, 1962 (Letters of J. R. R.
Tolkien, Humphrey Carpenter, ed., Houghton Mifflin Co. [1981], pp. 337-9)]

Kamis, 05 Juni 2008

The Gospel according to Peanuts


Bagaimana kalau seekor anjing dan sekelompok bocah kecil menulis Injil? Suatu Injil yang kira-kira berisi dialog seperti ini:

“You know what the trouble with you is, Charlie Brown?”
“No; And I don’t want to know! LEAVE ME ALONE!”
“The whole trouble with you is you won’t listen to what the whole trouble with you is!”

Tiba-tiba saja, saya mendapatkan sebuah buku yang agak lusuh di meja saya. Entah siapa yang mengirim atau tidak sengaja meletakkannya di meja saya yang “agak” berantakan. Buku tersebut lusuh, karena memang sudah tua (selidik punya selidik, ternyata seorang teman meminta saya membacanya karena ia kecewa karena buku tersebut tidak jadi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).

Buku ini merupakan edisi Inggris (diterbitkan oleh penerbit Fontana, Inggris, 1966) dari buku dengan judul yang sama yang diterbitkan oleh Westminster John Knox, Amerika Serikat (tahun 1965). Westminster John Knox menerbitkan seri “The Gospel according to…” (salah satunya – The Gospel according to Oprah, dalam versi Indonesianya: Injil menurut Oprah – sudah pernah saya resensi di sini di tempat lain.

Bagi Anda yang berminat mendalami Peanuts dan hal yang terkait, mungkin Anda dapat mejelajahi link-link di bawah ini:
http://www.snoopy.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Peanuts
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Gospel_According_to_Peanuts (link ini berisi versi WJK atas buku ini dengan cover yang berbeda).

But, mari kita bicara tentang buku ini. Peanuts menandai lahirnya sebuah era, yaitu kebangkitan komik strip setelah era Perang Dunia Ke-2. Selain Peanuts, Amerika juga kebanjiran komik-komik hero. Namun, Peanuts tetaplah sesuatu yang unik. Sekelompok bocah, dengan Charlie Brown sebagai pusatnya, dan seekor anjing – Snoopy, yang menjadi trade mark dan sering “dibajak” di seluruh dunia – merupakan daya pikat tersendiri. Pencipta dan penulis komik Peanuts, Charles M. Schulz. Schulz adalah seseorang yang berlatar Presbiterian. Dan hal ini kadang-kadang menjadi jelas dalam karyanya.

Buku ini, yang ditulis oleh Robert L. Short, barangkali menjadi pelopor bagi suatu genre – kalau ini mau dibilang sebagai genre: suatu perenungan yang mendalam atas segala sesuatu dengan media komik. Perenungan tersebut tidak selalu bersifat filosofis atau teologis, namun tetap memiliki kedalaman tertentu.

Penggunaan karakter anak-anak membuat perenungan tersebut kadang terdengar sinis, satiris, atau ironis. Namun, kalau ditelaah lebih jauh, anak-anak adalah wakil dari manusia juga – yaitu ketika manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan terakhir, tertinggi, dan terdalam mereka: waktu, hidup, mati, Tuhan, dan kemanusiaan itu sendiri. Tidak mengherankan bahwa semua persoalan-persoalan rumit tersebut justru menjadi nyata dan “kena” ketika diperbincangkan oleh anak-anak. Bukankah memang anak-anak yang suka heran mengapa orang bisa meninggal dan mengapa ada kehidupan ketimbang tidak ada – bukankah orang tua biasanya memang sok tahu (karena memang tidak tahu)?

Jadi, penggunaan karakter anak-anak adalah salah satu bentuk kejeniusan Schulz. Anak-anak itu innocent, politically correct. Komentar anak terhadap “kasus-kasus berat” sering tak terduga dan tetap memiliki kedalaman yang luar biasa. Coba simak yang satu ini, dialog antara Charlie Brown dan, Linus, adik Lucy, temannya:

Charlie Brown: “Life is just too much for me…I’ve been confused right from the
day I was born…I think the whole trouble is that we’re thrown into life to fast…
we’re not really prepared.”
Linus: “What did you want…a chance to warm up
first?”

Buku ini terdiri dari beberapa bab. Bab pertama membahas mengenai hubungan antara gereja (baca: agama) dan seni. Bab ini menurut saya menjadi “kaca mata” penulis dalam melihat karya Schulz, Peanuts. Tidak ada yang salah dengan “kaca mata” tersebut. Tapi, “kaca mata” hanyalah salah satu “kaca mata” di antara berbagai “kaca mata”. Saya lebih suka melihat Peanuts sebagaimana di atas, sesuatu yang lebih besar ketimbang gereja dan kekristenan – suatu pesan yang lebih filosofis, human, dan universal. Namun, penilaian kembali kepada para penikmat Peanuts di seluruh dunia.

Namun, “kaca mata” penulis tetap aktual dan “mengena” dengan kondisi sekarang: ketidakmampuan kalangan agama (baca: gereja) dalam menyapa manusia melalui karya seni. Jelas, penulis melihat Peanuts berhasil melakukannya secara baik – sesuatu yang saya setujui. Bab-bab lain dari buku ini, terutama Bab II (“The Whole Trouble”: Original Sin), Bab III (The Wages of Sin Is “Aaaugh”), dan Bab V (The Hound of Heaven) merupakan pembeberan penuh kutipan atas hasil penglihatan melalui “kaca mata” tadi. Apa itu dosa dan situasi paradoks dosa sangat kelihatan dalam dialog-dialog di Peanuts. Selain dua kutipan dialog di atas – yang diambil dari Bab II, dialog berikut juga memperlihatkan siatuasi paradoks keberdosaan manusia:

Lucy: “Discouraged again, eh, Charlie Brown? You know what your trouble is? The whole trouble with you is that you’re YOU!”
Charlie: “Well, what in the world can I do about that?”
Lucy: “I don’t pretend to be able to give advice… I merely point out the trouble!”

“Trouble” atau “whole trouble” sering digunakan oleh Schulz untuk mewakili dosa, situasi serbadosa dan serbasalah yang dialami manusia. Dialog-dialog para bocah Peanuts secara jitu menyoroti hal ini, sekaligus menyimpulkan – tanpa perlu menggurui siapa pun (tentu ada saja orang dewasa yang tersinggung membaca komentar bocah-bocah yang hobinya nyeletuk seperti Charlie Brown dan kawan-kawan. Tapi, kebanyakan di antara kita, tidak begitu, kan?)

Kedosaan atau keserbasalahan itu, menurut penulis, disimbolkan secara baik oleh Schulz pada “security-blanket” yang dimiliki oleh Linus, adik Lucy (hlm. 58). Karakter Linus sebenarnya jauh lebih filosofis dan “cerdas” ketimbang Charlie Brown. Namun, Schulz juga memperlihatkan “kelemahan” tertentu dari Linus: keterikatakan pada sesuatu. Dalam beberapa episoden Peanuts, karakter Linus digambarkan “depresi”, “gelisah”, atau “cemas”, karena tidak menemukan “security-blanket”-nya pada saat-saat ia mengalami semacam “bad day”. Jadi, “blanket” di sini bukan hanya sesuatu yang membuat manusia terikat, tetapi juga membuat manusia nyaman di tengah-tengah situasi tidak nyamannya.

Terkait dengan situasi paradoksal dosa itu, penulis juga mengangkat suatu istilah yang cukup sering diceletukkan baik oleh Charlie Brown maupun karakter lain dalam Peanuts, yaitu istilah: “Good Grief” (ini menjadi pokok dalam Bab IV buku ini). Istilah ini tampaknya memang bertolak belakang: apakah sesuatu yang bersifat “grief” bisa menjadi good”? Saya setuju dengan pendekatan yang dipakai penulis yang langsung memperlihatkan bahwa itulah sebenarnya inti kekristenan. Inilah inti dari Gospel (Injil), seperti kata penulis (hlm. 83): “This is why the gospel, or ‘good news’, is never good news except to those who are already ‘meek and lowly’ or ‘of a humble and contrite spirit’.”

Problem ini dihadapi oleh karakter Lucy yang bertanya-tanya mengapa Allah yang mahakuasa mengizinkan atau seolah-olah membiarkan terjadinya penderitaan di dunia ini. Seperti katanya kepada Charlia Brown suatu saat:

Lucy: “Sometimes I get discouraged”
Charlie: “Well, Lucy, life does have its ups and downs, you know…”
Lucy: “But why?” Why SHOULD it?! Why can’t my life be all “UPS”? If I want all “ups”, why can’t I have them? Why can’t I just move from one “up” to another “up”? Why can’t I just go from an “up” to and “UPPER-UP”? I DON’T WANT ANY “DOWNS”! I JUST WANT “UPS” AND “UPS” AND “UPS”!
Charlie: “I can’t stand it…”

Namun, inti “good grief” dari Injil (dan juga Peanuts) jelas jauh luas ketimbang menerima irama “up” dan “down” dalam hidup. Seperti kata penulis, dengan mengutip Paulus: “Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa. Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia. (Rm. 6:6-8). Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, memang. Suatu pengorbanan yang membawa ke kemenangan yang lebih mulia, yang tak selalu dapat dicerna oleh akal kita.

Mungkin ada yang bingung ketika membaca tulisan ini: mengapa saya tidak menyebut-nyebut karakter Snoopy – karakter yang jarang berbicara (tentu karena dia adalah seekor anjing, yang dalam beberapa episode sering digambarkan “berkata-kata dalam hati”)? Saya sengaja menyisakannya untuk bagian terakhir. Si penulis mempunyai gambaran yang sangat dahsyat tentang Snoopy: Snoopy adalah gambaran Yesus Kristus sendiri! Karakter Snoopy adalah semacam “Kristus kecil”, yang menjadi simbol “ambivalen” dari karya Kristus sendiri: “humbling the exalted and exalting the humble.” (Yoh. 9: 39: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta.”). Ambivalensi Kristus dengan tepat digambarkan Snoopy: bijak-mulia, tetapi sering diremehkan.

Barangkali, kalau penilaian penulis atas Snoopy terlalu tinggi, saya lebih baik melanjutkan pendekatan pertama di atas: jika anak-anak TIDAK DAPAT dikatakan menggurui jika mereka berceloteh tentang hidup, mati, waktu dan Tuhan….apalagi seekor anjing. Seekor anjing jelas jauh lebih innocent. Jelas, karakter “tanpa dosa” Snoopy bisa dengan bebas menjadi hakim atas siapa saja – bukan hanya pembaca – tetapi juga para karakter manusia di dalam Peanuts. Jadi, jika para bocah menjadi “guru bagi pembaca” tanpa perlu “menggurui pembaca”, maka karakter Snoopy dapat menjadi “manusia yang arif-bijak bagi semua orang (baik pembaca atau bukan)” tanpa perlu “menjadi manusia”.

Akhirnya, untuk menutup review ini, mungkin lebih bagus kalau saya mengutip suatu dialog antara Charlie Brown dan Linus, saudara Lucy – Charlie dan Linus sedang berdiri mengelilingi pohon yang masih kecil:

Charlie: “It’s a beatitul little tree, isn’t it?”
Linus: “Yes, it is…”
Charlie: “It’s a shame that we won’t be around to see it when it’s fully grown.”
Linus: “Why? Where are we going?”