Selasa, 26 Agustus 2008

The U.S. vs John Lennon


Director: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Written: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Producer: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Time: 99 minutes
Published Year: 2006


Perang Dingin. Superpower. Amerika. Komunisme. Vietnam. Korban. Mati. Kematian. Rock and Roll. Beatles. Yeah, yeah, yeah. Woodstock. Mariyuana. Ganja. Hashish. LSD. Opium. Seks. $#@!!&%....

Perang, seks, obat, dan rock n’ roll. Mungkin itu beberapa kata kunci yang dapat menjelaskan hiruk-pikuk di sekitar dasawarsa 1960-an dan 1970-an. Zaman berubah, orang-orang berubah. Para baby boomer – mereka yang lahir di sekitar masa Perang Dunia Kedua (PD II) dan juga terutama yang tak lama setelah itu – kini mencapai umur yang matang. Mereka menjadi warga yang cukup sadar akan dinamika sosial serta juga paling aktif dalam menanggapi dinamika tersebut. Pendeknya, para baby boomer tidak lagi dibebani oleh agenda-agenda yang pada masa pra-PD II sangat memenuhi kosakata dan wacana orang-orang tua yang masih hidup dalam romantika perang dan masa-masa keemasan pra-perang, baik di Eropa maupun di Amerika.

Jika ini sebuah opera musik besutan Andrew Lloyd Webber, mungkin ia akan mengawalinya dengan suatu parade pasukan bersenjata yang dihadang oleh sekelompok pemuda(i) berpakaian ala flower generation. Sembari menyelipkan setangkai mawar di ujung bedil sang komandan pasukan, wakil dari pemuda tadi berkata: “Make Love, Not War…” (atau yang lebih klasik: “Say it with flower…not with your weapon…”).

Adegan tadi adalah semacam pralambang mengenai apa yang terjadi pada masa-masa itu dan yang ingin didokumentasikan oleh film ini. Film berdurasi hampir 100 menit ini berpusat pada seorang figur yang sebenarnya lebih dikenal dalam kalangan musik: John Lennon.

Tumbuh sebagai seorang anak yang pemberontak – ditinggal pergi oleh ayahnya ketika masih bayi dan ditinggal mati oleh ibunya dalam usia belia – John kecil ternyata punya bakat anti-kemapanan. Episode dalam masa-masa Beatles mungkin hanya merupakan episode “numpang lewat”. John berkembang dengan bandnya itu, baik secara musik maupun ide. Ini seolah-olah hanya menyiapkan suatu episode lain dalam hidupnya yang menjadi inti dari film ini.

Ketika isi kepala John Lennon mulai berkembang ke arah yang lebih luas, isi kepala Presiden Lyndon B. Johnson (LBJ) di Amerika juga berkembang ke arah yang sedikit berbeda; sesuatu yang agak berbeda dengan isi kepala John F. Kennedy – presiden yang digantikannya karena orang yang belakangan ini mati ditembak di Dallas pada tahun 1963.

LBJ rupanya senang memainkan kartu klasik dalam dunia diplomasi: perang adalah bentuk lain dari diplomasi. Komunisme sudah jelas jahat, dan Tuhan tentu saja tidak menginginkannya. Sebagai bangsa pilihan Tuhan, sudah sepantasnya Amerika Serikat mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengusir setan komunisme dari setiap jengkal tanah di bumi ciptaan Tuhan ini.

Setan itu kini hadir di Vietnam – setelah berhasil menancapkan cakar-cakarnya di Korea. Agenda LBJ sudah jelas: memperhebat sarana-sarana yang diperlukan untuk mengusir setan tersebut dari bumi Asia Tenggara.

Pada saat yang sama, John Lennon – yang tengah “angin-anginan” bersama bandnya, Beatles – sedang mencoba suatu yang baru. Tepatnya: ia tidak mencoba, tetapi memang secara alami masuk ke dalam suatu kawasan yang sama sekali asing bagi dirinya: politik. Proses yang memang alami ini sebenarnya dapat diamati dalam beberapa lirik lagu John dalam Beatles – walaupun banyak sekali lirik lagu Beatles sangat ambigu, misalnya lirik lagu Happiness is a Warm Gun dan Revolution.

Di Amerika, LBJ kalah dalam pemilihan umum presiden pada tahun 1968. Seorang presiden baru dari Partai Republik yang ternyata justru lebih jelek ketimbang LBJ akhirnya terpilih: Richard Nixon (ini membuat kita seolah-olah percaya dengan adagium lama: “Lebih baik kita memilih setan yang sudah dikenal, ketimbang setan yang belum dikenal sama sekali!”). Jika LBJ memilih perang, Nixon memang lebih suka perang. LBJ mengirim banyak tentara Amerika ke Vietnam, sementara Nixon mengirim lebih banyak lagi – bahkan mengampanyekannya.

Sementara itu, John Lennon – di belahan dunia yang lain – ternyata lebih suka “mengirimkan” hal yang lain: ia mencoba mengirimkan apa yang disebutnya sebagai total communication. Apa itu? Ia membungkus dirinya di dalam apa yang disebutnya sebagai "bagisme"(bag = tas), bersama istrinya yang baru: Yoko. Ia melakukannya agar orang mendengarkan pesan perdamaian yang ia sampaikan, tanpa menghakimi penampilan fisiknya (rupanya, orang sering kali memperhatikan penampilan si penyampai pesan ketimbang isi pesannya. Penampilan itu bisa mencakup gender, warna kulit, dan panjangnya rambut).

Sesederhana itu? Iya. Sekonyol itu? Tergantung – tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Masing belum puas? Pada tahun 1969 itu, John juga punya ulah serupa: "Bed Peace" (Bed-in for Peace). Sadar bahwa perkawinannya sedang menjadi komoditas pers, ia dan istrinya melakukan kampanye perdamaian di atas tempat tidur. Tentu, para wartawan mengharapkan pasangan yang baru menikah ini melakukan semacam “atraksi seksual”, sesuatu yang sama sekali tidak mereka dapatkan. Sama dengan bagism, bed peace juga dilakukan demi perdamaian.

“Tidak ada yang memberikan kesempatan damai secara penuh,” begitu ujar John. Dan ia pun mengajak orang-orang menyanyikan Give Peace a Chance. Ya, beri perdamaian kesempatan.

Ada wartawan yang bertanya apakah semua itu efektif? John menjawab: “Ini adalah kemungkinan yang terbaik, fungsional dan efektif.” Si wartawan mendesak: bukankah ini tidak akan mengubah apa-apa. “Memang, kami tidak mengharapkannya dengan mudah. Mereka berpikir bahwa ini dapat dilakukan dalam semalam.”

Toh, itu belum cukup. Jika kedua model kampanye tadi John lakukan di luar Amerika, kini ia mulai secara aktif memasang iklan – benar-benar iklan dalam bentuk papan reklame raksasa – di 11 kota di dunia, termasuk di Amerika (New York dan Los Angeles). Kampanye ini lebih verbal: “War is Over. If You Want It. Happy Christmas from John & Yoko”.

Jadi, ketika John Lennon mulai aktif di Amerika pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, ia muncul sebagai figur yang “sulit”, bahkan “berbahaya”. Nixon dan para pembantunya tahu hal ini.

Ketika John mulai mendarat di Amerika dan mencoba menjadi warga negara negeri ini, ia melakukan sesuatu yang tidak “terlalu manis” di mata pemerintah Amerika. Ia akrab dan aktif dalam kegiatan kelompok perdamaian, kelompok anti-perang, seperti kelompok-kelompok yang dipimpin oleh Abbie Hoffman, Jerry Rubin, Bobbie Seale (Black Panthers), John Sinclair dan Ron Kovic (penulis buku “Born on Fourth July” yang sudah difilmkan). Padahal, Nixon, di lain pihak, sedang secara ketat mengawasi kelompok-kelompok tersebut, kelompok-kelompok yang sedang mempertanyakan kebijakan perangnya di Vietnam.

John Lennon tampak seperti orang bodoh: berteman dengan orang-orang yang akan mempersulit posisinya, terutama posisinya sebagai pemohon kewarganegaraan Amerika Serikat. G. Gordon Liddy, seorang penasihat Nixon, melihatnya secara jelas: John Lennon justru menjadi alat yang sangat berbahaya di tangan kelompok tersebut. “Mereka kini punya amunisi baru,” begitu ujarnya. “Ketika kau memasukkan Bobby Seale dalam timmu, semua polisi akan membencimu. Semua petugas hukum di bumi akan menentangmu.”

Orang yang berpikir positif mungkin berpikir: “John Lennon memilih teman yang salah.” Kemudian dengan sedikit nasihat: “Dia bisa saja tetap bermain musik, menjauh dari obat-obatan, dan tetap mulut tentang apa yang dia suka dan tidak suka tentang Amerika Serikat.” Atau juga: “Nyanyikan saja lagumu dengan tenang.”

Namun, Lennon adalah orang yang polos. Ia senang bergaul dengan para aktivis tersebut karena menganggap mereka mempunyai ide-ide yang sama dengannya. Ia memuji ide-ide mereka, dan mereka pun memuji mantan anggota the Beatles yang sangat populer ini yang ternyata seia-sekata dengan mereka. Klop.

Satu peristiwa telak membuat Nixon dan para penasihatnya berpikir ulang tentang John adalah terkait konser untuk John Sinclair – seorang aktivis yang ditahan oleh kepolisian Michigan – pada 10 Desember 1971. Nixon harus memperhitungkan dengan serius John Lennon setelah peristiwa itu. Peristiwa apa itu? Bagaimana akhir “kucing-kucingan” antara John Lennon dan pemerintahan Amerika Serikat di bawah Nixon? Apakah John Lennon akhirnya memperoleh kewarganegaraan AS? Lalu apa yang menyebabkan John Lennon ditembak mati? Nonton saja sendiri film dokumenter ini.

Ini film dokumenter yang menarik. Selain diisi dengan berbagai dokumentasi wawancara dengan John Lennon dan aktivitasnya pada tahun-tahun itu serta wawancara dengan para aktivis perdamaian di Amerika, film ini juga diisi dengan beberapa cuplikan lagu John Lennon yang terkenal. Oh, ya, beberapa wawancara dilakukan dengan beberapa pengamat sosial-politik dan tokoh humanis seperti Carl Bernstein, Gore Vidal, dan Noam Chomsky, juga wawancara dengan penasihat Nixon, pengacara John Lennon, dan sebagainya.

John Lennon bukan manusia sempurna – ia justru tampak manusiawi dengan ketidaksempurnaannya itu. Namun, toh, kita bisa belajar beberapa hal dari dia, setidaknya untuk urusan perdamaian ini. Peace!

Mengapa Saya Bukan Ateis? (Tamat)

Tampaknya tidak perlu dilanjutkan lagi. Ini tidak adil buat BADU. Kasihan BADU. Sebagai tokoh fiktif, dia kelihatannya cuma jadi bulan2an tokoh fiktif lain: AGUS. Jelas, posisi saya mendukung AGUS (kan saya percaya Tuhan…)

Posisi “AGUS” sebenarnya cukup lemah, dalam arti dia pun tidak dapat secara memuaskan membuktikan keberadaan Tuhan. Tapi posisi dia lebih baik dan secara filosofis dapat dipertahankan, karena jenis “filsafat yang dianutnya” – yaitu teisme – tidak menuntut dia membuktikannya secara rasional dalam arti ketat. Ini berbeda dengan “filsafat ateisme” si BADU. Ateisme berdiri di atas suatu tesis yang jelas, suatu tesis yang secara epistemologis hanya bergantung pada pembuktian berdasarkan kemampuan kodrati manusiawi. Teisme – atau kalau mau spesifik: Katolisisme (yaitu sistem kepercayaan seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik) – tidak mendasarkan tesis keberadaan Tuhan pada kemampuan kodrati manusiawi semata. Kemampuan kodrati manusiawi hanya berguna sampai taraf tertentu, selebihnya ada wahyu (yang kalau di dalam Katolisisme “menjelma” di dalam: kitab suci, tradisi, dan magisterium gereja).

Kesimpulan saya pribadi: BADU hanya dapat konsisten jika ia hanya – sekali lagi hanya jika – berpegang pada Deisme (Tuhan ada, tetapi entah mengapa, Dia tidak ikut campur atas alam semesta) atau Agnostisme (Tuhan ada atau tidak ada, keduanya tidak dapat dibuktikan. Jadi, sebaiknya tidak usah dibicarakan). IMHO, ateisme yang konsisten/konsekuen tidak pernah ada. Ateisme Sartre kelihatan konsisten, karena… dibangun di atas bangunan metafisika yang dia bikin sendiri. Konyol…(***)

Rabu, 20 Agustus 2008

Mengapa Ayu Utami Mengganggu Mimpi-Mimpi Tidur Kita?



Judul Buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Genre: Novel, fiksi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Juni 2008
Tebal: x + 537 halaman
Ukuran: 13,5 x 20 cm

Ayu Utami = Sastra Lendir?
Agak sulit mereview buku Ayu Utami yang terbaru. Maksudnya, saya sulit untuk menetapkan sudut pandang yang mau dipakai: sastranya, isi/tema/topiknya, atau Ayu Utaminya (dan segala predikat yang menempel pada dia)?


Ayu Utami sebenarnya penulis yang kalau dibilang baru, tidak terlalu tepat, tetapi kalau dibilang lama, tidak 100% benar juga. Novelnya yang pertama, Saman, terbit pada tahun 1998 – itu sekitar 10 tahun yang lalu. Jadi, dari segi itu, ia jauh cukup “tua” ketimbang Dee (Dewi Lestari) atau Djenar Maesa Ayu serta para penulis yang muncul pada akhir 1990-an dan 2000-an. Bahkan, banyak orang berujar, Ayulah yang menciptakan “aliran baru” di mana nama-nama tadi dapat dimasukkan dalam genre yang kurang lebih sama.

Namun, Ayu juga dapat dibilang baru, justru dikaitkan dengan “aliran baru” tadi. Ayu, dengan “Saman”-nya, mengawali suatu era baru dalam dunia novel Indonesia. Agak sulit memang untuk memerikan “aliran baru” yang digeluti Ayu dan beberapa perempuan lain tadi. Oleh mereka yang sinis, Ayu dianggap memelopori apa yang disebut dengan berbagai istilah: “sastra lendir”, “sastra selangkangan”, “sastra kelamin”, dan sebagainya.

Mengapa begitu? Aliran tadi – dan juga Ayu Utami sendiri – barangkali memang baru, jika apa yang disebut sebagai – kita pilih satu istilah saja – “sastra lendir” memang merupakan fenomena baru dan belum ada antesedennya dalam dunia sastra atau dunia novel di Indonesia.

Namun, pertama-tama, harus dijawab dulu apa itu “sastra lendir”? Menurut beberapa tulisan yang terbaca, tulisan Ayu Utami – dan genre yang “diciptakannya” – disebut demikian karena mereka mencoba menyajikan unsur-unsur seksual di dalam novelnya secara lebih “terbuka”.

Apakah memang belum pernah ada tulisan semacam itu sebelum Ayu? Mari kita sorot N.H. Dini. Pada ”Pada Sebuah Kapal”, misalnya, Dini juga memasukkan unsur-unsur ”serupa” ke dalamnya. Memang, Dini tidak melakukannya dengan cara yang sama dengan Ayu. Toh, pada waktu itu, orang juga bisa mengatakan bahwa hal-hal semacam itu – yang dilakukan Dini – merupakan hal yang baru dan bahkan ”revolusioner”. Apakah dengan demikian N.H. Dini bisa diklaim sebagai pelopor aliran ”sastra lendir”? Lalu, kebetulan, saya juga sedang membaca novel-novel Arswendo ”Blakanis” (dan mereview ulang ”Kisah Para Ratib”). Di dalamnya, ada juga unsur-unsur seperti itu. Apakah Arswendo juga penganut ”sastra lendir”?

Tampaknya, unsur-unsur seperti itu bukanlah sesuatu yang haram – apalagi baru – di dalam khazanah pernovelan di Indonesia. Memang, ”lendir”-nya memang tidak harus keluar atau tampak jelas – Ayu memang membuatnya semakin jelas (mungkin karena dia adalah anak zamannnya barangkali? Atau lebih tepat: ini lebih merupakan selera, gaya, dan tuntutan cerita), karena toh N.H. Dini dapat melakukannya pada dasawarsa-dasawarsa yang telah lampau, dengan cara yang berbeda.

Barangkali, ”sastra lendir” adalah istilah yang insinuatif . Mengapa, siapa, dan apa dari maksud insinuasi ini, itu di luar tulisan ini untuk membahasnya. Namun, kalau tulisan ini boleh berkata, Ayu Utami justru seorang trend setter, bukan terkait ”sastra lendir”, tetapi terkait kekuatan bernarasi dan berdeskripsinya.

Ayu dan Deskripsi vs Narasi
Ketika saya mencoba membaca ”Bilangan Fu”, saya kebetulan membaca tulisan Goenawan Mohammad (GM) di Bentara Budaya, Kompas (11 Juli 2008). Dalam suatu kesempatan di depan para sastrawan/budayawan yang dulu pernah berseberangan dengannya, GM mencoba melihat perbedaan, kekuatan, dan kelemahan antara sastra yang menitikberatkan antara narasi dan sastra yang bertitik berat pada deskripsi.

Tanpa memasuki diskusi GM di situ (dan tidak 100% menggunakan analisis dia di situ), tulisan ini mencoba melihat bagaimana tulisan Ayu bermetamorfosis dari hanya sekadar bernarasi di dalam ”Saman” menjadi semakin berseimbang antara narasi dan deskripsi di dalam ”Bilangan Fu”.

Coba lihat, bagaimana ia bermewah-mewah dengan kutipan dari berbagai artikel (fiktif maupun bukan), kumpulan kliping (fiktif maupun bukan), analisis mendalam bahkan nyaris lengkap atas berbagai mitologi (Nyi Rara Kidul, Watugunung, dan sebagainya) serta paparan nyaris panjang (atau memang panjang?) dari Babad Tanah Jawi. [Ada satu hal yang menarik bagi saya, sampai sejauh mana Ayu meminta izin media-media massa yang namanya disebut dalam artikel atau kliping tadi. Mengingat banyak berita yang tampaknya imajiner, tentu koran seperti Kompas seharusnya dimintai izin secara resmi oleh Ayu sebelum dicantumkan di dalam novel ini].

Barangkali cara bercerita seperti ini memang cukup membosankan – apalagi bagi mereka yang terbiasa dengan ”Saman” yang kata-katanya sangat, sangat naratif dan pendek-lincah. Dalam ”Bilangan Fu”, kata-kata dan kalimat-kalimat naratif, pendek-lincah pun tetap hadir, namun diimbangi oleh kalimat-kalimat yang sangat deskriptif.

Trend-setterkah Ayu untuk bagian ini? Ya dan tidak. Tidak, karena tentunya sudah banyak novelis atau prosais yang melakukan metode serupa. Mungkin, kita ingat dengan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam Grotta Azzurra (GA). Walaupun Ignas Kleden menilai bahwa novel STA tersebut sebagai ”gagal” (Ignas Kleden, ”STA dan Novel-novelnya”, Kompas, 11 Juli 2008) – karena STA hanya memenuhi novelnya dengan makna-makna referensial dan hampir tidak memberikan pembaca makna tekstual yang lahir dari teks-teks novel tesebut – mengingatkan kita lagi bahwa novel STA tersebut merupakan upaya pertama di negeri ini untuk memunculkan apa yang disebut sebagai ”novel ide”.

Mengapa STA gagal? Novel GA berisi banyak ide-ide besar tentang berbagai hal tetapi tidak dilibatkan dalam event-meaning dialectic dari cerita. Jadi, tokoh, peristiwa dan sebagainya hanya latar yang sebenarnya dapat dihilangkan dari cerita tanpa menghilangkan substansi gagasan yang ingin dituangkan STA. Apakah Ayu begitu juga dengan ”Bilangan Fu”? Jika menggunakan kriteria Kleden di atas, tentunya tidak. Ayu dalam novel terbarunya ini tetap menjalin berbagai ide besarnya dengan tokoh-tokoh ”konkret” dan ”berdarah daging”, sehingga berbagai ide besarnya tersebut tidak dapat dipahami tanpa memahami makna tekstual yang muncul dari teks novel. Memakai istilah Kleden, bolehlah kita berkata bahwa ide-ide besar dalam ”Bilangan Fu” lahir dari peristiwa di dalam novel, terjalin erat dengannya.

Mungkin, kita akan melihat kemiripan dan perbedaan yang juga tak kalah mengejutkannya apabila Bilangan Fu-nya Ayu dibandingkan dengan 3 novel pertama Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering). Apakah Ayu berhasil melampaui Iwan? Ini pertanyaan yang menarik tetapi mungkin belum bisa dijawab sekarang.

Ayu dan Agama Barunya
Keterjalinan antara ide-ide besar yang diusungnya dengan berbagai tokoh dan peristiwa di dalam ”Bilangan Fu” cukup memikat. Ayu secara terampil menggunakan kemampuan bermetaforanya untuk menuangkan ide-ide besar itu (untuk bagian ini, GA-nya STA berhasil dilewati Ayu).

Dengan ide-ide besar tersebut, Ayu bak nabi yang memproklamirkan agama baru: agama yang non-modernis, non-militeristis, dan non-monoteistis. Suatu agama yang mengemohi kemodernan dan ciri-ciri militer tampaknya bukan hal yang baru – setidaknya dalam dunia imaji Parang Jati, tokoh ”agama baru” dalam novel ini. Namun, hal yang lebih baru dan cukup revolusioner adalah sifat non-monoteistisnya.

Agama ini seolah-olah membuat pengakuan atas sifat absolut-intoleran dalam keberagamaan yang monoteistis. Jika Tuhan adalah satu, tentu yang bukan Tuhan dapat dipaksa untuk tunduk menyembah yang satu tersebut (kebetulan, banyak sekali yang berada di luar ”yang satu” itu). Penyembahan atas yang satu rupanya sering diiringi dengan penyangkalan dan pemusnahan yang lain – realitas yang berada di luar yang satu itu.

Tuhan itu satu, kebenaran itu satu, dan para pengemban Tuhan serta kebenaran yang satu itu pun juga satu: suatu umat yang kudus, yang satu, benar dan bahkan ilahi. Semua yang ada di luarnya harus disangkal, dibasmi serta ditumpas. Modernisme dan militerisme hanya alat – yang tidak selalu harus bersifat benar, tetapi rupanya selalu efektif dalam penumpasan segala hal yang berada di luar ”yang satu” tadi.

Karakter Parang Jati – nabi Bilangan Fu – memang cukup ambivalen. Ia sepintas mirip dengan Yesus – tidak diketahui orang tuanya (bahkan ia memang muncul sendiri begitu saja), berbeda dengan orang kebanyakan (punya jari tangan 12 – sehingga ia tergolong di antara orang-orang cacat), serta sedikit melakukan Khotbah di Bukit. Agama Parang Jati adalah antitesis agama Farisi (ini bukan hanya sepintas, tetapi memang tampaknya disengaja Ayu untuk mirip dengan para antagonis Yesus dalam Perjanjian Baru). Jika agama Farisi tidak segan-segan menggunakan militerisme dan modernisme dalam mengokohkan agama monoteismenya, agama Parang Jati bahkan tidak menganjurkan ”pemanjatan yang kotor”, yaitu cara yang lazim dalam pemanjatan gunung: menggunakan paku dan bor.

Namun, Parang Jati – walaupun hampir dikorbankan di meja persembahan oleh ayah angkatnya (mirip dengan Ishak yang hampir dikorbankan oleh ayah kandungnya – juga mengalami kejatuhan: bercinta dengan ibu tirinya. Tampaknya, Parang Jati lebih manusiawi ketimbang Yesus: bukan hanya pernah digoda dosa, tetapi juga ikut-ikutan berdosa.

Toh, itu semua tidak menyurutkan Ayu untuk mengedepankan Parang Jati – tepatnya agama Parang Jati – sebagai filosofi dan praktek hidup yang ditawarkan di tengah-tengah kejahiliahan kaum beragama pada masa senjakala modernisme ini.

Dengan menggunakan banyak simbol dari mitologi Jawa (seperti Nyi Rara Kidul dan Watugunung) serta alur kisah dan figur dalam Alkitab, Ayu mencoba bertutur mengenai kesederhanaan spiritualitas, yaitu spiritualitas yang menghormati alam dan kelemahan manusia.

Kesimpulan
Ayu tetap terdepan dibanding para novelis perempuan – baik yang ”berlendir” maupun tidak. Ia mencoba untuk keluar dari ”metode kuna” yang dipakainya dalam dua novelnya yang terdahulu. Ia bukan hanya keluar, tetapi juga mencoba membuat tren baru dalam bercerita. Tetap layak dianugerahi gelar “ratu metafor”, Ayu kini mulai merambah tradisi yang cukup baru (atau tidak?)

Menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, Ayu menganggu mimpi-mimpi tidur kita karena: ternyata ia tidak begitu “berlendir”, berpotensi melampaui STA, dan mengajak kita merayakan kematian monoteisme. Bagaimana?

Lalu, apakah novel ini bagus untuk dibaca? Saya mengembalikannya kepada selera dan agenda pencarian jati diri Anda. Tapi, sama seperti semua resensi adalah menipu, maka resensi yang satu pun juga menipu. Mengapa tertipu? Karena tidak ada orang yang dapat menikmati buah manggis setelah dikunyah orang lain. Jika Anda ingin menikmati buah manggis, pergilah ke toko buah, beli, dan nikmati sendiri.***