Kamis, 27 Maret 2008

Semoga Memang Hanya Situs Porno yang akan Diblokir…

Pemerintah Indonesia cukup sibuk akhir-akhir ini. Setelah ribut-ribut BLBI, kasus jaksa, dan penolakan calon gubernur BI oleh DPR, kini pemerintah meluncurkan “program sampingan”: pemblokiran situs-situs porno. Rencananya, pemblokiran ini akan dilakukan pada bulan April 2008. Anda dapat membaca beritanya, antara lain, di sini: http://www.chip.co.id/special-reports/wawancara-khusus-dengan-menkominfo-m-nuh.html (wawancara dengan majalah Chip-Online)

Ini menarik. Entah dari mana ide tersebut datang, rencana ini seyogianya ditanggapi secara positif. Bahkan, orang bertanya-tanya: mengapa baru sekarang?

Situs porno sudah hadir semenjak internet muncul di Indonesia pada awal atau pertengahan dasawarsa 1990-an. Situs tersebut memang sangat “menarik”, tetapi juga “mengganggu”. Ia “menarik” terutama bagi mereka yang menggemari “ketelanjangan” sebagai hiburan – apakah “ketelanjangan” sebagai seni dapat dicari dalam situs porno, itu adalah lain soal (saya agak meragukannya karena kedua “ketelanjangan” itu memiliki dimensi yang berbeda). Dan, tentu saja situs itu “mengganggu”. Saya bukan seorang moralis atau semacam penganut agama yang fanatik dan buta (walaupun itu ada sisi benarnya juga). Namun, kategori “mengganggu” di sini lebih bernuansa edukatif, ketimbang moral.

“Ketelanjangan” begitu saja merupakan gejala yang normal dalam hidup manusia. Namun, tidak ada yang “begitu saja” di bawah langit kapitalisme. Kapitalisme – entah apa Anda artikan kata ini – siap mengubah apa saja yang di bawah kolongnya menjadi segepok uang, atau setidaknya setumpuk kepentingan. “Ketelanjangan” juga menjadi salah satu korbannya. Tidak ada yang dapat “telanjang” dengan bebas, murni, dan innocent di bawah langit kapitalisme. “Telanjang” selalu berarti uang, keuntungan, posisi, dan kepentingan di bawah langit kapitalisme.

Coba pikirkan: si model yang difoto telanjang mendapat uang (tentu, ia tidak akan mau difoto telanjang jika ada pekerjaan lain yang lebih memadai dengan penghasilan yang kurang lebih sama). Si fotografer – dengan sedikit dibumbui seni dan hobi/minat – pasti juga tertarik mengambil gambar si model karena… dibayar. Tidak ada fotografer yang menjepret kameranya tanpa diiming-imingi akan dibayar. Si pemilik situs tentunya bukan orang bodoh yang mau saja memajang hasil jepretan si fotografer jika tanpa keuntungan.

Logika di atas berlaku untuk “media porno” mana pun: video atau yang lain. Semua bergerak karena ada “invisible hand”, yaitu sesuatu yang menggerakkan roda uang berputar, supaya setidaknya memperoleh uang yang sedikit berlebih (kalau perlu lebihnya banyak).

“Ketelanjangan” sudah menjadi komoditas: ia bisa diekspor, diimpor, diperbanyak, dibakukan, dan diorganisir sedemikian rupa sehingga mudah diperoleh, massal, dan instan. “Ketelanjangan” bukan lagi sesuatu yang alami dan innocent.

Rencana pemerintah sangatlah baik dan harus ditanggapi positif. Namun…

Namun, benarkah pemerintah akan konsisten dengan HANYA memblokir situs-situs porno. Di beberapa tempat, ada kekhawatiran bahwa pemerintah bisa saja dititipi oleh pihak-pihak tertentu untuk memblokir situs-situs lain juga. Situs-situs lain ini adalah – boleh jadi – situs-situs yang kritis terhadap pemerintah, situs-situs yang berisi forum diskusi yang sering mengkritik kebijakan pemerintah atau berisi diskusi yang cukup pans, entah masalah budaya, politik, agama, atau topik-topik lain.

Jika kekhawatiran ini terbukti, pemerintah benar-benar menghapuskan “ketelanjangan” lain yang masih tersisa, dan masih bersifat alami dan “innocent”, yaitu “ketelanjangan” dalam berbicara, berpendapat, dan beropini. Pemerintah sedang membunuh “ketelanjangan” yang fungsional, suatu “ketelanjangan” yang perlu dan pokok dalam sistem demokrasi seperti yang sering menjadi jargon dalam rapat-rapat politik berbagai partai di negeri ini.

Pemerintah seharusnya bisa mengajari rakyatnya untuk berpikir secara “telanjang”, terbuka, apa adanya, tanpa ditutupi, mengenai suatu pokok yang dipergumulkan. Rakyat punya hak bertanya, hak menjawab. Biarlah rakyat sendiri yang mendiskusikan masalah-masalah mereka, masalah-masalah yang mereka pergumulkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat berpikir kritis, atau setidaknya: mereka dapat dilatih untuk berpikir kritis. Itu adalah tanda masyarakat yang sehat dan dewasa; suatu masyarakat yang tidak takut dengan isu-isu, tetapi justru menanggai isu dengan pikiran dan diskusi yang terbuka.

Semoga pemerintah dapat membedakan: mana “ketelanjangan” yang perlu diberangus dan mana “ketelanjangan” yang perlu dalam kehidupan demokrasi yang sehat. Semoga…

Humor Orde Baru (1): Soeharto, Teolog Katolik yang Gagal

Dalam sejarah sampai sekarang (2008), Presiden Republik Indonesia pernah 3 kali bertemu dengan seorang paus. Bung Karno pada tahun akhir tahun 1950-an (atau awal 1960-an?) berkunjung ke Vatikan dan bertemu dengan Paus Yohanes XXIII, sementara Presiden Soeharto bertemu dengan Paus Paulus VI di Jakarta pada tahun 1970 dan dengan Paus Yohanes Paulus II di Jakarta pada tahun 1989.

Konon, pada pertemuan pertamanya dengan Paus Paulus VI di Jakarta pada tahun 1970, Soeharto sempat tidak bisa menjawab suatu pertanyaan, sehingga Presiden Republik Indonesia tersebut kabarnya sangat malu – apalagi hal ini sempat tersebar di antara anggota rombongan dari Vatikan.

Kini, dalam rangka kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Jakarta pada bulan Oktober 1989, ia sudah siap-siap untuk melakukan revenge atas “nama buruk” yang sempat diterimanya 19 tahun lalu. Kali ini, Soeharto mau menyombongkan pengetahuan Katoliknya di hadapan Paus. Ia sudah meminta Mgr. Leo Soekoto SJ – Uskup Jakarta, sudah almarhum – agar membantunya bila ia kesulitan. Persiapan dilakukan dengan membuat alat komunikasi wireless yang tak terlihat (Jadi, Mgr. Leo bisa mendengar pertanyaan paus dari jarak jauh dan langsung memberi tahu Soeharto mengenai jawabannya).

Sebenarnya Paus sangat enggan dengan hal ini, karena ia ke Indonesia hanya untuk menjumpai umat Katolik di negeri ini dan menikmati sedikit keramahtamahan warga Indonesia. Namun, Soeharto memohon dengan sangat agar Sri Paus dari Polandia ini sudi untuk mengetes pengetahuan Katolik Soeharto, walaupun Presiden RI ini bukan Katolik.

Akhirnya, Sri Paus setuju walaupun tetap tidak nyaman dengan hal ini. Setelah berbincang-bincang mengenai banyak hal, akhirnya, sampailah mereka di penghujung acara pertemuan 4 mata tersebut.

“Silaken, Bapak Paus, boleh tanya apa saja tentang iman Katolik, kepada saya,” ujar Soeharto dengan kalem dan sambil senyum-senyum seperti biasanya.

“Yaaaah…. Kalau ini memang maunya Anda. Anggap saja ini semacam selingan santai setelah perbincangan serius kita tadi,” kata Sri Paus.

“Iya, iya. Silaken, jangan sungkan-sungkan!”

“Oke. Pertanyaan pertama: Siapa nama rasul yang menjadi ketua dari 12 rasul dan menjadi paus pertama?”

“Petrus,” jawab Soeharto tegas setelah Mgr. Leo Soekoto yang berada di ruang samping memberikan jawaban bocoran. Soeharto tampak yakin dengan jawabannya.

“Benar. Sekarang pertanyaan kedua: Siapa nama salah seorang rasul Yesus yang menyangkal Yesus tiga kali?”

Soeharto agak terbatuk-batuk sedikit, sebelum menjawab: “Petrus.” Ia tampak agak bingung.

“Wah, Anda hebat sekali, walaupun bukan Katolik,” kata Paus. “Kini pertanyaan terakhir: Siapa nama rasul Yesus yang menjadi batu karang gereja dan diserahi kunci kerajaan surga?”
Soeharto terloncat dari tempat duduknya sambil berteriak: “Ini gila. Anda mau mempermainkan saya, ya, Monsiyur?”

“Ada apa, Mr. Presiden?” Sri Paus bertanya dengan kaget melihat Presiden Republik Indonesia tersebut jungkir balik.

“Bapak Paus yang terhormat, bagaimana salah seorang uskup Anda berani-beraninya mempermainkan saya di depan Anda? Coba dengar apa yang dia bilang. Ketua para rasul dan paus pertama adalah Petrus. Bolehlah. Kemudian dia bilang, rasul yang menyangkal Yesus 3 kali adalah Petrus juga. Aneh. Akhirnya, yang paling gila, setelah dia bilang begitu, mengapa dia ngotot bahwa Petrus juga yang menjadi batu karang gereja dan diserahi kunci kerajaan surga. Saya, Soeharto, tidak dapat dibohongi!”***

Rabu, 19 Maret 2008

Mengapa Saya Bukan Ateis? (1)

Saya merasa ini adalah suatu diskusi yang cukup baik antara seorang ateis (BADU) dan seorang teis (AGUS). Anda barangkali akan menilai dialog ini kabur, tidak adil dan berat sebelah bagi pihak tertentu, tetapi saya menjadikannya sebagai salah satu alasan mengapa saya bukan ateis – atau lebih tepat: menjadi ateis adalah posisi yang kurang/tidak dapat dipertahankan secara rasional (bagi yang ateis, dengan segala hormat, saya tetap menghormati pandangan Anda. Kita tetap bersaudara :) Oke? Okelah...)

BADU: “Gus, coba kamu buktikan bahwa Tuhan itu memang ada...”
AGUS: "Kamu tanya seperti itu. Bagi saya, Tuhan itu ada karena buktinya banyak."
BADU: "Apa contohnya?".
AGUS: " Kamu lihat bulan? Siapa yang menciptakan bulan? Saya, karena percaya Tuhan, percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakan bulan."
BADU: [menyanggah dengan berbagai macam cara -- biasanya ilmiah -- mengenai proses terjadinya bulan].
AGUS: "Lihat. Saya bisa saja mengatakan bahwa big bang dibuat oleh Tuhan. Tapi kamu pasti akan membantah lagi. Intinya, bukti dan contoh apapun pasti kamu tidak akan percaya. Jadi, aku tidak akan berusaha membuktikan Tuhan, tetapi kamulah yang harus membuktikan: mengapa kita seharusnya tidak percaya pada keberadaan Tuhan?"
BADU: "Bukti keberadaan Tuhan tidak lengkap, tidak cukup, dan tidak masuk akal."
AGUS: "Kalau begitu, buktikan sebaliknya: bahwa bukti ketidakberadaan Tuhan lebih masuk akal, lebih lengkap."
BADU: "Saya tidak mau membuktikan sesuatu yang tidak ada."
AGUS: "Memang. Kamu tidak perlu membuktikan keberadaan Tuhan. Kamu cukup membuktikan ketidakberadaan-Nya. Tunjukkan dengan akal dan pancaindramu bahwa Dia memang tidak ada."
BADU: "Tuhan memang tidak ada. Itu sudah cukup."
AGUS: "Ini tidak fair. Ketika saya mencoba membuktikan keberadaan Tuhan, saya mencoba menunjukkan bukti -- walaupun kamu akhirnya tidak percaya. Masak' kamu gak mau menyebutkan satu bukti pun tentang ketidakberadaan Tuhan? Ayo buktikan!"
BADU: "Oke. Tuhan tidak ada, karena tidak bisa dilihat."
AGUS: "Tidak bisa dilihat oleh Anda maksudnya?"
BADU: "Banyak yang tidak bisa melihatnya."
AGUS: "Tetapi ada orang yang mengaku pernah dan bisa melihatnya. Para mistikus mengaku pernah 'melihat' dan 'mengalami' Tuhan."
BADU: "Itu hanya gejala psikologis saja."
AGUS: "Tapi faktanya: mereka mengaku 'mengalami' dan 'melihat' Tuhan dalam satu dan lain cara. Jadi, alasan 'tidak dapat dilihat' sendiri tidak kuat karena pengertian 'tidak dapat melihat' sama psikologisnya dengan pengertian 'dapat melihat'. Tolong, cari bukti yang berlaku untuk semua orang. Ada orang yang mengaku pernah dan bisa melihat Tuhan, ada yang tidak. Ini bukan bukti."
BADU: "Tapi 'tidak dapat melihat' yang saya maksud adalah 'tidak dapat melihat' secara fisik."
AGUS: "Saya tidak pernah dan tidak dapat melihat kakek buyut saya: dia tidak punya foto, kuburannya tidak ada yang tahu. Intinya, saya tidak pernah melihat dia secara fisik. Apa ini bukti bahwa kakek buyut saya tidak ada dan tidak pernah ada. Ayolah...cari bukti yang lebih kuat. Lagi pula argumen 'tidak dapat melihat/dilihat' hanya valid kalau mengandaikan kamu dapat melihat semua tempat yang ada di alam semesta ini. Ingat, sesuatu diandaikan dapat dilihat, kalau kita punya kesempatan untuk mencapai tempat keberadaan sesuatu tersebut. Boleh saja kamu bilang: Tuhan tidak ada. Saya bilang: Dia tidak ada.... memang... di bumi. Why? Selalu ada kemungkinan bahwa Tuhan ada si suatu pojok gelap di salah satu galaksi yang letaknya miliaran tahun cara dari bumi. Kamu harus pergi kesana untuk membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada di sana. Bagaimana?"
BADU: "Baik. Kita coba yang lain. Ini dia: konsep tentang Tuhan bertentangan dalam dirinya sendiri (contradictio in terminis). Contohnya: Tuhan tidak dapat membuat batu yang tidak dapat diangkatnya sendiri. Juga, Tuhan tidak mahakuasa karena tidak dapat menghilangkan penderitaan manusia, atau Tuhan tidak mahakasih karena ia membiarkan penderitaan manusia."
AGUS: "Itu konsep bukan? Konsep Tuhan selalu dapat dibuat dan diperbaiki, sama halnya dengan konsep dalam ilmu-ilmu lain. Tapi itu semua tidak dapat dijadikan bukti bahwa Tuhan tidak ada. Konsep tentang Tuhan boleh keliru dan tidak ada sama sekali, tetapi Tuhan tidak perlu konsep."
BADU: "Astaga!!! Kalau begitu, mengapa saya harus membuktikan sesuatu yang tidak dapat dikonsepkan?"
AGUS: "Justru itu, Ron. Ateisme-mu pun sebenarnya hanya konsep. Kalau Tuhan punya konsep, ketidakberadaan Tuhan pun punya konsep. Ayo, kamu punya kesempatan sekali lagi untuk membuktikan -- tanpa konsep -- ketidakberadaan Tuhan. Tunjuk suatu bukti yang rasional dan sesuai dengan pancaindra bahwa Tuhan tidak ada."
BADU: "Tuhan tidak ada...itu cukup rasional dan sesuai dengan pancaindra."
AGUS: "Oke. Kamu kelihatannya cukup intelek. Tahu metode ilmiah. Kamu tahu kalau metode ilmiah menggunakan hipotesis? Sebagai orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan, bagaimana kalau hipotesis kamu adalah ini: Tuhan itu ada, sampai dia dibuktikan sebaliknya."
BADU: "Lho bukannya hal yang sama bisa saya katakan untuk kalian yang percaya Tuhan: hipotesisnya adalah 'Tuhan itu tidak ada, sampai dibuktikan sebaliknya."
AGUS: "Masalah itu sudah terpecahkan oleh kami orang beragama. Hipotesis: Tuhan tidak ada. Lalu setelah kami beriman, ini menjadi bukti bahwa hipotesis itu keliru: ternyata Tuhan memang ada. Sebagai orang beriman, saya boleh menggantungkan metode ilmiah saya pada iman saya. Sebaliknya, kamu tidak boleh menggantungkannya pada iman. Ingat, iman hanya menyangkut keberadaan Tuhan, bukan ketidakberadaan-Nya. Mana mungkin kalian orang ateis beriman pada 'ketidakberadaan Tuhan'? Kamu gak bisa bilang: 'saya tidak percaya pada keberadaan Tuhan, itu sudah cukup; saya cukup mengimaninya saja.' Itu posisi orang yang ber-Tuhan."
BADU: "Maksudnya?"
AGUS: "Ateisme adalah pilihan rasional dan logis. Orang gak bisa jadi ateis hanya karena alasan praktis. Seorang ateis dituntut untuk menjelaskan keateisannya secara nalar, logis, rasional. Ia tidak dapat 'beriman' membabi buta. Sebaliknya, orang beragama/ber-Tuhan dalam batas tertentu, boleh beriman tanpa mengetahui kelogisan atau kerasionalan imannya -- toh dia masih bisa selamat tanpa mengetahui kelogisan atau kerasionalan imannya. Tapi ateisme tidak. Pilihan menjadi ateis harus lebih dapat dipertanggungjawabkan secara intelek dan rasional. Kalau tidak, ateismenya akan runtuh dan terdengar omong kosong. Bagaimana?"

............[to be continued]

Selasa, 18 Maret 2008

Mengapa Partai Demokrat di Amerika Dibenci Katolik “Saleh”?


Apa komentar Anda tentang gambar di atas? Tahukah Anda siapa “Mrs. Clinton” yang dimaksud dalam tulisan yang tertera pada potongan kardus di atas? Juga “St. Patrick” dan “Pro-Life”?

Itu adalah gambar yang mendemonstrasikan mengenai suatu pertempuran ide-ide. Anak di pembawa potongan kardus di atas juga menjadi bagian dari pertempuran ini. Ia dilatih oleh si orang tua – sejak masih usia dini – untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap oleh orang tuanya sebagai nilai-nilai yang benar: Pro-Life. Pro-Life adalah sikap yang dianut oleh mereka yang menentang aborsi dan juga hak melaksanakan aborsi. Mereka yang menganut posisi tersebut berkewajiban untuk mengkampanyekan keyakinan ini, menentang kelompok oposisi mereka: Pro-Choice atau kelompok pro-aborsi, yaitu kelompok yang mendukung kebebasan atau hak asasi bagi siapa saja yang memang ingin melakukan aborsi.

Itu adalah “pertempuran klasik” di tempat-tempat lain di seluruh dunia – bukan hanya Amerika. Foto di atas diambil dalam suatu parade St. Patrick di Pittsburgh pada 17 Maret 2008 yang lalu (http://www.lifesitenews.com/ldn/2008/mar/08031709.html). Jelaslah, kelompok Pro-Life di atas juga “bertempur” secara riil di lapangan: yaitu melawan Mrs. Clinton – yaitu Hilary Clinton – yang hadir pada acara tersebut. Kelompok Pro-Life menentang kehadiran Clinton dengan 2 alasan: St. Patrick – yang menjadi alasan adanya parade ini karena hari itu adalah hari peringatas atas orang kudus ini – dianggap sebagai seorang yang Pro-Life alias anti-aborsi. Lalu, apa kaitannya dengan Hilary Clinton? Ini terkait dengan alasan kedua: Hilary Clinton – sama seperti orang dari partai demokrat lainnya – adalah seoarng pro-choice alias pro-aborsi.

Kelompok pendemo di acara tersebut melihat kehadiran Nyonya Clinton sebagai hal yang kontradiksi: seorang pro-aborsi hadir dan ikut serta dalam parade peringatan seorang santo yang anti-aborsi!

Jelaslah, para pendemo dapat dipastikan berasal dari kelompok “Katolik yang saleh” alias orang-orang Katolik yang – jika tidak dapat dikatakan “tradisionalis” – adalah orang-orang yang konsisten dengan ajaran Katolik selama berabad-abad (at least, begitulah mereka menilai diri mereka sendiri). Mereka ditandai dengan sikap yang non-kompromistis dengan nilai-nilai modern dan liberal. Saya tidak akan masuk ke dalam diskusi apakah kelompok ini benar atau tidak dari sudut pandang Katolik (ini topik yang menarik – tapi lain kali saja ah…)

Hal yang menarik adalah: mengapa orang-orang Katolik itu membenci para demokrat yang biasanya liberal mengenai isu-isu moral? (Saya tahu persis, orang-orang Katolik itu tidak membenci pribadi-pribadi, tetapi membenci pandangan/posisi yang dianut oleh para politisi demokrat yang liberal tersebut).

Kadang, saya merasa ada keanehan – sebenarnya tidak aneh juga. Jumlah anggota kongres dan senator yang beragama atau mengaku Katolik sebenarnya cukup banyak, bahkan yang paling banyak ketimbang mereka yang mengaku berasal dari denominasi lain. Hampir di setiap aras politik di Amerika Serikat ada setidaknya 1-2 orang Katolik.

Keanehan lain – atau tepatnya sebagai “penambah seru” dari keanehan di atas – adalah bahwa walaupun orang Katolik “saleh” di Amerika sangat fanatik terhadap imannya, namun mereka tidak ragu-ragu untuk memberikan dukungan pada calon-calon dari Partai Republik yang kebanyakan beragama non-Katolik (mereka kebanyakan berasal denominasi Baptis, Methodis, atau Injili). Jadi, dari sekian banyak politisi Katolik, orang Katolik jarang mau memilih di antara orang Katolik sendiri, entah sebagai anggota legislatif, senator atau presiden. Rupanya, orang Katolik di sana juga tidak mempercayai sesama Katolik jika menyangkut urusan moral – apalagi moral publik.

Ini sebenarnya dapat disoroti dari sudut pandang teori sosial tertentu – yaitu pergeseran kelas sosial orang Katolik dalam 1 abad terakhir di Amerika – dan berbagai analisis politik lainnya (tapi sekali lagi, saya tidak mau omong tentang topik ini sekarang).

Ternyata, kesamaan platform dan visi-misi terkait bagaimana dunia ini dapat dikelola, telah membawa orang-orang yang berbeda denominasi untuk bersatu dan saling mendukung. Orang-orang Katolik “saleh” dan kaum Kristen fundamentalis di Amerika ternyata satu dan sama dalam isu-isu seperti, aborsi, homoseksualitas, dan sebagainya (ada beberapa pokok di mana mereka berbeda pendapat – tetapi itu tampaknya sering diabaikan oleh kedua kubu).

Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2008 ini, orang-orang Katolik “saleh” lebih mendukung calon-calon dari partai republik ketimbang calon-calon dari partai Demokrat seperti Hilary Clinton dan Barrack Obama. Calon-calon dari Republik seperti John McCain dan Fred Thompson dianggap “moderat” dan “layak” oleh banyak orang Katolik “saleh” di Amerika.

Saya masih ingat ketika John F. Kerry (demokrat) maju melawan George W. Bush (republik) pada tahun 2000, orang-orang Katolik “saleh” berkampanye untuk tidak memilih Kerry – walaupun Kerry adalah seorang Katolik. Mereka mencatat reputasi Kerry yang buruk sebagai seorang Katolik – proaborsi dan sebagainya. Mereka pun sama tidak bangganya dengan satu-satunya presiden Katolik di Amerika sampai saat ini: John F. Kennedy. Bagi mereka, kedua JFK (Kerry dan Kennedy memiliki inisial huruf yang sama) tidak memberikan contoh yang baik tentang bagaimana seorang Katolik menjadi politisi dan negarawan.

Dalam wacana demokrasi, semuanya sah-sah saja. Sama seperti Hilary Clinton yang tertawa melihat tulisan yang dibawa seorang bocah yang ikut berdemonstrasi menentangnya dalam parade St. Patrick di atas, begitu juga orang lain yang anti-demokrat atau anti-Hilary atau anti-Obama harus menerima jika ternyata Hilary atau Obamalah yang akhirnya memenangkan kursi kepresidenan Amerika Serikat tahun ini.

Itulah harga yang harus dibayar oleh semua orang yang menerima sistem demokrasi. Demokrasi bukanlah tujuan; ia sekadar alat atau sarana. Saya mengartikannya lebih jauh: demokrasi adalah wahana pembelajaran bagi kita untuk menerima sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kita terima.

Jumat, 14 Maret 2008

"Abbey Road" dalam kenangan…

Saya sebulan ini lagi “sibuk” mendengar kembali koleksi lawas favorit saya: The Beatles. Saya suka band ini sejak saya duduk di sekolah menengah pertama (SMP) tahun 1980-an dulu. Saya masih ingat, waktu itu format media musik yang paling umum adalah … KASET.

Harga kaset waktu itu tidak lebih dari 2000 rupiah (persisnya saya agak lupa). Tentu, itu jangan dinilai dengan nilai mata uang sekarang. Saya tidak tahu apakah uang sebesar itu lumayan besar atau justru lumayan “murah” untuk ukuran sekarang.

Saya hampir selalu membeli kaset-kaset Beatles dengan menggunakan uang jajan yang diberikan oleh orang tua. Lumayan. Saya masih ingat, waktu itu saya sering mendapat sekitar 500 rupiah sebagai uang jajan saya setiap hari. Jika 1 kaset waktu itu sekitar 2000 rupiah, berarti saya harus tidak jajan sebanyak 4 hari (kebetulan saya berjalan kaki untuk berangkat dan pulang sekolah).

Pengorbanan itu – kalau mau disebut pengorbanan :) -- tidaklah sia-sia. Saya menjadi kolektor kaset Beatles yang cukup lengkap. Waktu itu saya membeli seri “The Compleat Beatles” keluaran Aquarius.

Tapi… itu adalah dulu.
Pada tahun 1990an (sekitar 10-15 tahun kemudian), saya mulai memutuskan untuk mengubah format media musik favorit saya. Masih dengan sistem menabung :), saya mulai mengganti kaset-kaset Beatles saya dengan format CD.

Well, beberapa minggu terakhir saya sering mendengarkan Abbey Road, salah satu masterpiece band asal Liverpool, Inggris, ini. Lagu-lagu dalam album tersebut sungguh mempesona saya, apalagi jika mengingat bahwa mereka membuatnya pada tahun 1960-an (akhir). Saya sering menyebut lagu-lagu dalam album tersebut sebagai “alternatif rock”. Iringan lagu-lagu yang dibawakan secara medley pada side B (ini kan sebutan khas media kaset, ya?) benar-benar memperlihatkan rock n roll dalam tahapnya yang paling lanjut – tanpa berubah menjadi progresif rock atau hard rock (2 jenis yg terakhir ini diteruskan secara baik oleh band2 seperti Yes dan Led Zeppelin). Ya, Abbey Road (dan juga White Album serta Sgt. Pepper’s – kebetulan tahun rilisnya berurutan: 1967, 1968, 1969) adalah salah satu jembatan budaya dan musik rock pada waktu itu.

BTW, isi postingan saya ini sebenarnya gak ada hubungannya dengan isi album, tetapi terkait dengan gambar2 yg saya temukan di dunia online terkait dengan cover album tersebut. Gambar di atas adalah gambar asli dari cover album tersebut. Semua orang pasti sudah banyak yang tahu (kalau gak tahu, ya sekarang mulai diketahui secara resmi...)

Namun bagaimana dengan gambar berikut ini? Itu adalah versi resmi (eh, resmi gak sih ya?) plesetan ala the Simpsons atas album tersebut.




Cukup meyakinkan memang: Homer paling depan (wajar karena dia adalah kepala keluarga seperti John yang adalah frontman band ini); Marge di tempat kedua, mengambil tempat Ringo (Ringo = Marge = tipe pengalah dalam suatu band/keluarga?); Bart di tempat ketiga, persis di posisi Paul (Paul = Bart = karakter utama di belakang layar band ini atau keluarga ini. Maksudnya sering menjadi “pencetus” karya2: entah bermutu [Paul] atau tak bermutu [Bart]… Hehehehe); Lisa di tempat keempat, mengambil tempat persis George (jelas personifikasinya: Lisa adalah orang yang juga pendiam, tetapi sebenarnya intelek dan cukup soulful/spiritualis, sama dengan George).

Ada beberapa versi lagi seperti di bawah ini:





Bagaimana? Sudah ada gambar yang menurut Anda cukup mewakili suasana hati, minat, dan imajinasi Anda? Kalau belum, coba cari saja di jagat online, masukkan keyword: Abbey Road, mungkin Anda akan menemukan yg serupa!

Humor Mister Bean


1. TUMOR OTAK
Dokter: Dengan menyesal harus saya katakan pada Anda bahwa Anda terkena tumor di otak.
Mr. Bean: Horee!!! (melompat kegirangan)
Dokter: Anda mengerti maksud saya bukan?
Mr. Bean: Tentu saja, apakah Anda kira saya bodoh?
Dokter: Mengapa Anda begitu gembira?
Mr. Bean: Karena itu membuktikan bahwa saya mempunyai otak.

2. MR. BEAN DI SEKOLAH
Guru: Berapakah 5 plus 4?
Mr. Bean: 9
Guru: Berapakah 4 plus 5?
Mr. Bean: He, he, Anda mau menjebak saya, Anda hanya membalik hitungannya, jawabnya 6!!

3. MR. BEAN DI APOTIK
Mr. Bean: Saya ingin membeli vitamin untuk cucu saya.
Karyawan: Vitamin apa, A, B atau C?
Mr. Bean: Apa saja, cucu saya belum bisa membaca!!

4. MR. BEAN SEDANG DI BELAKANG ORANG YANG MENGANTRI DI ATM
Orang: Apa yang kamu lihat?
Mr. Bean: Saya tahu nomor PIN Anda, hee, hee...
Orang: OK, berapakah nomor PIN saya?
Mr. Bean: Empat buah asterisk (*).
(red. Asterisk = tanda bintang)

5. MR. BEAN SEDANG MENGOBROL DENGAN TEMAN
Teman: Bagaimana dengan kaset video yang Anda pinjam dari saya kemarin? Bagus?
Mr. Bean: Apanya yang bagus, tadinya saya kira itu sebuah film horor. Ternyata tidak ad gambarnya.
Teman: Apa judul film itu?
Mr. Bean: Head Cleaner.

6. IBU MR. BEAN MENINGGAL
Mr. Bean: (menangis) Dokter bilang, ibu saya meninggal.
Teman: Saya ikut berduka cita, sahabatku.
Dua menit kemudian Mr. Bean menangis lagi bahkan lebih keras.
Teman: Ada apa lagi?
Mr. Bean: Kakak saya baru menelepon, ibunya juga meninggal.

7. MR. BEAN MENGHADIRI RAPAT
Rekan: Maaf saya terlambat. Saya terjebak di dalam lift selama 4 jam karena listrik padam.
Mr. Bean: Tidak apa, saya juga … saya terjebak di eskalator selama 3 jam.

8. PELAJARAN MENGEJA
Anak Mr. Bean: Pa, bagaimana ejaan kata “successful” … dengan satu c atau dua c?
Mr. Bean: Beri saja tiga agar yakin.

9. MR. BEAN KE BIOSKOP
Teman: Mengapa kamu mengajak 18 teman menonton bioskop.
Mr. Bean: Karena di bawah 18 tidak boleh.

10. MR. BEAN MEMBELI TV
Mr. Bean: Apakah ada TV warna?
Penjual: Ya!
Mr. Bean: Beri saya yang hijau.

11. MR. BEAN MEMBELI TERMOS
Mr. Bean: Barang apakah ini?
Penjual: Ini adalah termos.
Mr. Bean: Untuk apa itu?
Penjual: Membuat yang panas tetap panas, yang dingin tetap dingin.
Mr. Bean: Ha, ha. Saya akan beli.
Besoknya Mr. Bean ke kantor dengan membawa termos.
Bos: Mengapa Anda membawa termos?
Mr. Bean: Karena membuat yang panas tetap panas, yang dingin tetap dingin.
Bos: Anda isi apa?
Mr. Bean: Dua gelas kopi dan secangkir es krim.

12. MR. BEAN DI KANTOR
Mr. Bean sangat teliti, setelah membuat fotocopy ia selalu mengecek apakah hasil kopiannya cocok dengan aslinya.

13. MR. BEAN DI TENGAH BADAI PETIR
Mr. Bean selalu tersenyum ketika ada badai petir karena ia mengira sedang dipotret.

14. MR. BEAN MENELPON
Mr. Bean bingung tidak bisa menelpon 911.
Karena di situ tidak ada angka 11.

15. MR. BEAN BEKERJA DENGAN KOMPUTER
Mr. Bean membeli komputer baru dan menggunakannya. Ketika ia menemui kesulitan, ia
memutuskan untuk menekan tombol “Help”.
Tak lama kemudian ia menjadi bingung dan menelpon toko komputer.
Mr. Bean: Saya menekan tombol F1 untuk meminta bantuan, tetapi sudah setengah jam tidak ada orang datang membantu saya.

16. MR. BEAN KE DOKTER
Mr. Bean datang ke dokter dengan kedua telinganya luka bakar.
Dokter: Apa yang terjadi?
Mr. Bean: Saya sedang menyeterika dan telepon berdering, saya salah mengambil
gagang telepon,
tidak sengaja saya mengangkat seterika dan menempelkannya di telinga saya.
Dokter: Wow..! Tetapi apa yang terjadi dengan telinga Anda yang satu lagi?
Mr. Bean: Teman saya yang goblok itu menelepon lagi.

17. MR. BEAN BERMAIN JISSAW PUZZLE
Setelah berhasil menyusun suatu jigsaw puzzle dengan bangga ia memperlihatkan pada temannya.
Mr. Bean: Saya hanya memerlukan 5 bulan untuk menyusunnya.
Teman: Mengapa begitu lama?
Mr. Bean: Lama? Lihat ini dikotaknya tertulis “Untuk 4-7 tahun”.