Senin, 14 Juli 2008

The Gospel according to the Simpsons




Judul : The Gospel according to the Simpsons
Subjudul : The Spiritual Life of the World’s Most Animated Family
Penulis : Mark I. Pinsky
Pengantar : Tony Campolo
Penerbit : Westminster John Knox, Louisville, Kentucky, USA
Tebal : xiv + 193
Tahun Terbit : 2001

Perut gendut, rambut botak, dan suka minum bir-makan donat. Jika ada orang yang paling tidak mungkin menjadi presiden Amerika Serikat, pastilah dia orangnya. Namun, bagaimana dia menjadi seorang penulis Injil kita yang terbaru – The Gospel according to the Simpsons (Injil menurut Keluarga Simpson). Si penulis tidak hanya menulis sendirian; ia mengikutsertakan istrinya – yang rambutnya bersanggul aneh; anak laki-lakinya – Anda barangkali akan bersyukur bahwa anak ini tidak tinggal di lingkungan rumah Anda; anak perempuannya – anak yang menyenangkan, walaupun tidak berdasarkan kriteria yang umum; dan entah bisa menulis atau tidak: bayi perempuan yang jarang tampil tanpa empeng-nya.

Homer Simpson, si kepala keluarga, memang tipikal kepala keluarga dari golongan menengah-bawah masyarakat Amerika. Jika suatu keluarga diminta menulis suatu Injil, mungkin memang dialah orang yang tepat – atau tidak tepat? – untuk itu. Sebelum Anda terburu-buru menilai atau memberi keputusan tepat atau tidaknya hal ini, coba baca buku ini dulu – atau review dari saya ini.

Injil ini bukan sembarang Injil. Selain berisi “kebenaran yang akan membebaskan Anda”, ada juga semacam “kebenaran yang akan memerangkap Anda”. Ini semacam kebenaran yang tidak dibuat-buat: polos, nyentrik, dan menyentil jiwa – kalau tidak bisa dibilang: “menyindir jiwa”.

Injil ini ditulis oleh orang-orang yang tidak sempurna. Itu sudah jelas. Lalu, apa yang diharapkan dari Injil semacam ini? Setelah menonton sekitar 150 episode The Simpsons (film kartun karya Matt Groening), Mark Pinsky memberikan jawaban berikut:


“The Simpsons is a situation comedy about modern life that includes a
significant spiritual dimension; because of that, it more accurately reflects
the faith lives of Americans than any other show in the medium.”


Tidak meyakinkan, memang, jawaban seperti itu. Apalagi kalau kita melihat tingkah laku Homer yang tampaknya saleh dengan berdoa memohon kepada Tuhan – tetapi dengan gaya mencobai-Nya. Ia berdoa: jika Tuhan sepakat untuk membiarkan segala sesuatu berjalan apa adanya, Homer juga sepakat untuk tidak meminta yang lain. Konfirmasi atas kesepakatan ini, ia berdoa, adalah dalam bentuk “absolutely no sign”. Tentu saja, tidak ada tanda apa pun dari Tuhan – sebagaimana biasanya dalam kebanyak doa-doa kita.

Lalu, sebagai ungkapan rasa syukur, Homer mempersembahkan kepada Tuhan semacam “kurban persembahan”, yaitu sejumlah kue dan sekotak susu. Ia bertanya kepada Tuhan: apakah Tuhan ingin agar Homer sendiri yang memakan “kurban persembahan” itu. Jika iya, ia juga meminta “no sign”. Setelah menunggu beberapa saat, Homer mengucapkan ucapan syukur yang cukup saleh: “Thy will be done”.

Homer tampaknya berusaha semampunya untuk menjadi Kristen yang baik. Ia mengajak keluarganya hari Minggu ke Gereja. Walaupun tampak penuh trik, Homer tidak pernah malu untuk membawa persoalan kehidupan sehari-harinya langsung kepada Sumber dan meminta-Nya untuk menolongnya dalam persoalan tersebut. Dan jangan dikira Tuhan tidak pernah menjawab doa-doa Homer – atau sebaliknya: Tuhan seolah-olah mau saja dibodohi oleh Homer. Ketika ia kebingungan dalam mengatasi persoalan putrinya yang bertalenta, Lisa, Homer juga meminta tanda dari Tuhan. Tiba-tiba, ia melihat seorang storekeeper menaruh suatu tanda di atas jendela rumahnya, bertuliskan: “Musical Instruments: The Way to Encourage a Gifted Child”. Dan Homer pun langsung tahu jawaban Tuhan atas masalah yang dihadapinya: ia membelikan saksofon untuk Lisa, yang menjadi instrumen musik kesayangan Lisa, bahkan semacam “awal karier” baginya.

Kesinisan Homer terhadap agama – dan juga Tuhan – sebenarnya merupakan sindiran halus atas cara orang kebanyakan di Amerika – dan mungkin di bagian lain di dunia – dalam hal beragama dan ber-Tuhan. Gerutuan, celetukan, dan apa saja yang keluar dari mulut Homer mewakili hal-hal tersebut. Coba perhatikan, betapa mudahnya kita menebak bahwa isi kepala Homer sebagai “isi kepala” orang-orang sekuler – tetapi tetap mencoba hidup religius sebagai tradisi nenek moyang – di Amerika (dan juga di tempat lain):

“He’s always happy. No wait, He’s always mad.” (Definisi Homer tentang sifat Tuhan)

“Perfect teeth. Nice smell. A class act, all the way.” (Deskripsi Homer tentang bagaimana Tuhan menampakkan diri kepadanya di dalam mimpi)

“You know, the one with all the well meaning rules that don’t work in real life. Uh, Christianity.” (Jawaban Homer ketika ditanya Bart: apakah agamanya)

“Kids, let me tell you about another so-called wicked guy. He had long hair and some wild ideas. He didn’t always do what other people thought was right. And that man’s name was…I forget. But the point is…I forget that too.” (Komparasi Homer antara dirinya dengan Yesus yang memiliki ide orisinil dan anti-kemapanan, sehingga dibenci masyarakat).

Dibanding Homer, Lisa, putrinya yang pertama – anaknya yang kedua, jauh lebih “bermoral”. Pinsky bahkan bertanya: Tidakkah Lisa sebenarnya merupakan figur yang merepresentasikan Yesus? Pinksky menulis satu bab khusus tentang Lisa (salah satu bab favorit saya di dalam buku ini) – Does Lisa Speak for Jesus? “There’s Something Wrong with That Kid. She’s So Moral.”

Dibanding kakaknya Bart atau bahkan ayahnya, Lisa seolah-olah di “dunia yang lain”. Ia memiliki standar hidup yang tinggi – bahkan paling tinggi (termasuk dibandingkan dengan ibunya). Penilaian sang ayah: “There’s something wrong with that kid. She’s so moral,” benar-benar mewakili siapa sebenarnya Lisa. Lisa adalah antitesis Homer, ayahnya.

Matt Groening pun berujar:


“I like her idealism, her stubbornness…[her] politics, convictions, and ability
to learn from mistakes. If I had to be suddenly transmorphed into the Simpsons cartoon universe, I’d like to be Lisa Simpson.”

Pinsky membantah pendapat yang menyamakan Lisa dengan Karl Marx. Ia justru menyamakan Lisa dengan Yesus sendiri. Ada beberapa alasan yang membuatnya membuat penilaian ini:


1. Lisa mendukung orang-orang miskin, tak berkuasa, tertindas, dan kritis
atas orang-orang kaya (Ketika Bart memberi kabar bahwa Richie Rich meninggal,
Lisa menjawab: “Perhaps he realized how shallow the pursuit of money was and
took his own life.” Atau ketika kakeknya mendapat uang 100 ribu dolar, ia
meminta kakeknya memberikan kepada orang miskin, sambil berkata: “The people who deserve it are on the street and they’re in the slums. They’re little children
who need more library books, and they’re families who can’t make ends
meet.”)
2. Lisa mempermasalahkan kebijaksanaan konvensional, tanpa memandang betapa
tidak populernya tindakan seperti itu (Ketika diminta menyanyi lagu kebangsaan
Amerika sebagai Little Miss Springfield, Lisa berkata: “Before I sing the national anthem, I’d like to say that college football drains funds that are badly needed for education and the arts.” Lisa berulang-ulang memakai kesempatan “menjadi populer”, tetapi justru menggunakannya untuk mengkritik yang lain.)
3. Lisa percaya pada konsep penatalayanan terhadap bumi dan sumber-sumber dayanya, serta mempertahankan hak-hak Tuhan atas makhluk-makhluk yang lemah.
4. Lisa merasa kasihan dengan orang-orang yang dicemooh atau direndahkan, memberikan penghiburan dan rasa belas kasih kepada orang-orang yang tak dicintai


Di luar keluarga Simpsons, film kartun tersebut banyak mengkarikaturkan berbagai macam penganut denominasi, Evangelikal (Ned Flanders), Katolik (Major Quimby), bahkan agama-agama lain seperti Yahudi dan Hindu. Semua pemeluk tersebut dikarikaturkan, ditarik sampai ke titik ekstrem, hanya untuk dipertontonkan segi-segi inkonsistensinya. Intinya, bukannya tidak ada denominasi atau agama yang sempurna; tetapi seperti Homer, masalahnya adalah tidak ada manusia yang sempurna.

Buku yang terdiri dari 13 bab ini – dengan satu kata pengantar, satu pendahuluan, dan sebuah penjelasan tentang metodologi yang dipakai – memang benar-benar memikat. Kita disadarkan akan realitas keberagamaan kita sendiri, yang memang sering tidak bisa melebihi tingkat “kesalehan” Homer Simpson dan keluarganya.

Bersama Homer Simpson dan anggota keluarganya, kita mungkin dapat memulai jadi orang beragama yang baik.

Doa Seorang Ayah Pada Hari Pertama Anaknya Masuk Sekolah

Hari masih gelap
Surya pagi pun belum genap
Toh begitu, kaki kecilmu harus siap
Tinggalkan adikmu yang masih sunyi lelap

Hari ini hari istimewa
Hari pertama kau masuk sekolah
Hari libur telah lalu di mata
Kini saatnya jelang masa yang indah

Mari
Buku kau masukkan ke dalam tas
Kaus kaki putih bersih bersanding dengan sepatu hitam yang baru
Seragam putih-putih tampak cocok di tubuh mungilmu itu

Mari
Kuantar engkau sampai ke gerbang pintu
Bersama teman kau berangkat lekas
Buka mata, buka hati, kosongkan beban, biar lepas

Ah, wahai, pagi yang cerah
Biarkanlah kami anak-anak negri berangkat pergi
Tuntut ilmu yang paling tinggi
Kan tiba saatnya nanti, mereka beri kau senyum-tawa nan renyah

Belajarlah yang pandai, Nak, belajarlah yang pandai
sama pandainya dengan orang-orang yang bijak bestari

Belajarlah yang pandai, Nak, belajarlah yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai menipu orang lain dan diri

Belajarlah yang pandai, Nak, belajar yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai mengumbar janji

Belajarlah yang pandai, Nak, belajar yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai membuat duka di hati

Belajarlah yang pandai, Nak, belajar yang pandai
tapi jangan sepandai orang-orang yang hanya pandai untuk diri sendiri

Berangkatlah engkau ke sekolah, Nak
Mumpung hari masih pagi…
...dan papamu tidak lupa mandi

(Dan jika engkau pulang nanti, jangan lupa cuci kaki, makan, dan tidur lagi…)

Amin

Jakarta, 14 Juli 2008
md

Happy Schooling, Katie…
Enjoy

Jumat, 04 Juli 2008

Musa, Ajarilah Kami Mengatasi Rasa Kecewa…

Sudahkah Anda kecewa hari ini? Berapa kali? Tidak pernah kecewa?
Bagi yang belum pernah merasa kecewa atau dikecewakan, mungkin tulisan ini tidak layak untuk dibaca.

Kalau saya, jujur saja, sering merasa kecewa: kecewa pada orang tua, pada istri, pada suami, pada pacar, pada keluarga, pada teman, pada pemerintah…dan pada Tuhan. Orang punya kekecewaannya masing-masing – dengan tingkat kedalamannya masing-masing.

Harold S. Kushner, seorang rabi terkenal yang pernah menulis buku populer – When Bad Things Happen to Good People – menulis buku bagus yang berjudul: Overcoming Life’s Disappointments – Learning from Moses How to Cope with Frustation. Apa yang dapat dipelajari dari Kushner ini? Musa. Ya, tokoh Musa dalam Alkitab.

Kepada orang yang sedang mengalami kekecewaan, Kushner mengajak mereka untuk berpaling pada Musa, belajar dari kehidupannya, baik keberhasilan maupun kegagalannya. Apa keberhasilan Musa? Kita mungkin dengan mudah menemukan keberhasilan Musa ketimbang kegagalannya. Keberhasilannya mencakup: memimpin Israel keluar dari perbudakan di Mesir, membelah Laut Merah, mendaki Gunung Sinai untuk menerima perintah-perintah Tuhan. Intinya, Musa adalah pahlawan Israel.

Apakah seorang pahlawan tidak pernah gagal? Pernah saja. Apakah Musa mengalami kegagalan sebanyak keberhasilannya? Sama banyak, bahkan mungkin dia lebih banyak gagal ketimbang berhasil. Apa kegagalan Musa yang membuatnya kecewa?

Kekecewaan pertama yang Musa alami ternyata tidak lama setelah pengalamannya sebagai seorang pahlawan. Musa membela seorang Ibrani – teman sebangsanya – yang dipukul oleh seorang mandor Mesir. Ia bukan hanya membela, tetapi bahkan membunuh si Mesir itu. Ia memang seperti pahlawan di sini: membela seorang tertindas. Namun, apa yang terjadi? Keesokan harinya, ia melihat 2 orang Ibrani yang bertengkar. Ia melerai kedua orang itu. Namun, apa jawaban salah seorang di antara mereka? “Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti engkau telah membunuh orang Mesir itu?”

Beberapa penafsir mengatakan bahwa ayat dalam Kitab Keluaran tersebut adalah bukti bahwa kemungkinan besar orang yang berkata seperti itu adalah justru orang yang kemarin dibela Musa ketika orang tersebut dipukul oleh si mandor Mesir. Musa tentu kaget. Ternyata, tidak selamanya keinginan baiknya membawa kebaikan. Ia kini justru dipersalahkan oleh orang yang kemarin dibelanya. Ia mendapat pelajaran pertamanya – yang akan sering diulang selama tahun-tahun berikutnya. Kecewakah Musa? Sudah pasti.

Setelah itu, kegagalan demi kegagalan, kekecewaan demi kekecewaan, menjadi pemandangan biasa dalam hidup Musa. Mungkin kekecewaan terbesar dalam hidupnya adalah ketika ia selalu gagal – hampir dikatakan ia hampir selalu gagal di sini – mendidik banga Israel untuk patuh, taat, setia pada Tuhan. Orang yang bersungut-sungut, orang-orang yang keras kepala dan tidak berterima kasih adalah tipe-tipe orang yang menjadi “santapan harian” Musa.

Puncak kekecewaan Musa terhadap orang sebangsanya adalah ketika ia turun dari Gunung Sinai – setelah ia menerima Sepuluh Perintah Allah yang tertulis pada 2 loh batu. Apa yang ia temui? Orang-orang yang suka bersungut-sungut dan tak tahu berterima kasih itu kini malah sedang menyembah sebuah patung lembu emas – lambang berhala. Padahal, Musa justru baru saja turun dari gunung, dari tempat ia menerima semacam sertifikat Memorandum of Understanding antara orang-orang tersebut (melalui Musa) dan Tuhan. Ternyata, bukan kesetiaan dan kesabaran dalam iman yang ia temui, tetapi pengkhianatan.

Musa tampaknya marah (itu mungkin puncak dari rasa kecewa). Kedua loh batu yang dibawanya – entah disengaja atau tidak – jatuh dan pecah berkeping-keping. Namun, ia jelas marah, kecewa dan frustasi. Ia barangkali membanting kedua loh batu itu karena merasa gagal: apa gunanya mencoba mengajarkan kehendak Tuhan kepada orang-orang Israel kalau mereka tidak mau mendengarkan? Setelah kejadian itu, Tuhan memanggil Musa kembali ke puncak gunung dan bersama-sama mereka membuat kembali loh batu pengganti yang baru.

Akhirnya, Musa dikecewakan Tuhan. Setelah hampir 40 tahun lamanya memimpin orang yang tak tahu berterima kasih ini, Musa menerima ganjaran yang sudah barang tentu tidak pantas untuk diterimanya hanya karena “masalah sepele”. Ketika Musa diperintah Tuhan untuk menyuruh bukit batu agar menyemburkan banyak air – ketika orang Israel kehausan – Musa justru memukul bukit batu itu dengan tongkatnya. Tuhan memberi tahu Musa bahwa karena ia tidak mengikuti perintah-Nya, Musa tidak akan pernah memasuki Tanah Perjanjian (Bil. 20:2-12).

Jelas, ini tidak adil bagi Musa. Apakah Musa tidak bisa dimaafkan karena kesalahan sepele itu? Mungkin Tuhan memaafkannya. Tetapi hukumannya tetap: Musa tetap tidak boleh masuk ke Tanah Perjanjian. Barangkali ini semacam pukulan telak kedua bagi Musa dalam hal rentetan frustasi dan rasa kecewa.

Musa ternyata manusia biasa – sama seperti Anda dan saya. Hatinya terbuat dari kaca yang mudah pecah berkeping-keping. Ia sering dikecewakan – bahkan ia sendiri merasa kecewa pada Tuhan.

Tapi, coba lihat: apakah Musa pernah mundur dari apa yang ia rasakan sebagai panggilannya? Musa memiliki mimpi – mimpi membawa bangsanya memasuki Tanah Perjanjian, memasuki suatu hubungan yang baru dan kudus dengan Tuhan sendiri. Ketika mimpi ini hancur seperti 2 loh batu yang hancur, Musa ternyata tidak pernah berhenti bermimpi. Apa yang terjadi adalah ia kini membangun mimpi yang baru – mimpi yang sudah memperhitungkan pengalaman kekecewaannya pada masa lalu. Ia tidak pernah mundur dari visi-misi yang dimimpikannya. Ia kini hanya membuatnya cukup realistis.

Ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, rasanya mudah bagi kita untuk melakukan hal yang benar dan berat. Namun, kita tahu, ukuran sesungguhnya terhadap karakter seseorang adalah sikapnya ketika semua berjalan dengan buruk. Dalam kehidupan Musa, adegan kunci yang menjadi kisah utama dari kehidupannya adalah ketika Musa digambarkan mengumpulkan loh batu yang berserakan itu dengan penuh kasih dan meletakkannya di dalam Tabut Perjanjian, berdampingan dengan loh batu yang baru dan utuh.

Musa tidak membuang mimpi lamanya yang hancur berkeping-keping itu; tetapi ia mengumpulkan dan menyimpannya, bersama dengan mimpi-mimpi barunya. Mengapa? Agar ia selalu mengingat mimpi yang pernah dimilikinya dan pelajaran yang pernah didapatnya. Musa tetap ingin mengingat bahwa ia pernah punya impian yang lebih berpengharapan, impian yang mengisi sebagian besar jiwanya, sehingga ia tiak bisa dan tidak mau melupakannya. Ia mau mengingat bahwa ia pernah memimpinkan sesuatu yang hebat, yang ternyata berubah menjadi sesuatu yang berada di luar genggamannya. Namun, ia tidak mau kenangan itu tercetak dalam benaknya sebagai sebuah kegagalan.

Kepingan harapan yang pecah tidak akan menjadi batu berat yang menghalangi langkahnya. Kepingan tersebut justru akan menjadi batu pijakan, menjadi landasan dari keberhasilan pada masa depan.

Kisah loh batu yang pecah mengajarkan bahwa saat meninggalkan jalan kita yang lama, penting bagi kita untuk tetap berpegang pada keindahan dan inti dari mimpi yang pernah kita pegang teguh. Kita menjadi lebih bijak dan lebih dewasa, sedangkan mimpi masa muda kita diganti dengan yang lebih nyata dan bertahan. Toh, akhirnya, baik yang utuh dan yang hancur akan berdampingan dalam diri kita – sesuatu yang tetap menjadi bagian dari kita, yang membuat kita justru lebih kuat pada bagian di mana kita pernah merasakan sakit.

Amin.