Kamis, 11 September 2008

Blakanis: Agama Kejujuran Arswendo Atmowiloto


Judul: Blakanis
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Novel, fiksi
Tahun Terbit: 2008
Tebal: 288 halaman

Barangkali, kini sedang musimnya muncul agama-agama baru. Bersamaan dengan Ayu Utami yang mengusung Nabi Parang Jati, Arswendo Atmowiloto pun juga mengusung agamanya sendiri, dengan seorang nabi: Ki Blaka.

Tampak sekilas, selepas dari hotel “prodeo” dulu, Arswendo Atmowiloto memiliki arah yang khusus dalam menulis. Entah bagaimana saya dapat menyebut ciri-corak tulisan-tulisan dia sekeluarnya dia dari “hotel Cipinang”. Ini bukan berarti ada perubahan dalam gaya penulisannya. Tidak. Tidak begitu. Arswendo tetap muncul dengan gayanya yang khas – khas Wendo-an, begitu mungkin istilahnya. Namun, ia seperti memiliki sudut pandang – atau energi – baru dalam menyikapi dunia.

Coba lihat tulisan-tulisannya seperti Menghitung Hari, Abal-Abal, Kisah Para Ratib, Oskep, dan sebagainya. Entah bertema “kepenjaraan” maupun bertema “spiritualitas”, Wendo muncul menjadi figur yang agak berbeda dengan misalnya pada masa-masa Canting, Dua Ibu, atau apalagi Senopati Pamungkas.

Blakanis adalah semacam manifesto – begitu kalau saya boleh membaptis novel ini. Keluar bersama “Horeluya” (dengan penerbit yang sama, spiritualitas yang sama, gaya yang sama, tetapi dengan bungkus yang “lebih Katolik”), “Blakanis” menawarkan semacam kesegaran dari tema spiritualitas yang berumur sudah sangat tua: kejujuran. Ini sebuah manifesto mengenai kejujuran atau tepatnya: hidup jujur. Dalam bahasa Jawa, blaka (baca: “blo-ko”) memang berarti terbuka, jujur, apa adanya, blak-blakan.

Jika di atas disebut sepintas novelnya Ayu Utami, Blakanis-nya Arswendo tidak menawarkan seorang santo seperti Parang Jati-nya Ayu. Parang Jati-nya Ayu adalah seorang kudus yang tampan-rupawan yang harus menanggung dosa dunia, sementara Ki Blaka-nya Arswendo jauh dari kesan “cakep” dan ia tidak merasa harus menanggung dosa siapa-siapa. Ki Blaka adalah semacam nabi yang rumahnya berada persis di sebelah rumah kita masing-masing (dalam novelnya, ia tinggal di semacam bedeng yang berada di daerah Karawang-Bekasi, atau Jawa Barat dan sekitarnya). Memang, ia digambarkan seperti Yohanes Pembaptis – menggunakan tongkat dan berpakaian sederhana (persisnya: selimut bekas dari rumah sakit – namun, toh, bukan itu kesaktian dari nabi barunya Arswendo ini.

Ki Blaka memulai sesuatu yang baru, walaupun tidak terlalu orisinal: hidup dengan jujur. Ia mempraktikkan apa yang dikatakannya. Ia berbicara jujur, blak-blakan, blaka. Jangan kaget, saking jujurnya, ia bahkan berterus terang ingin memegang payudara seorang “pengikut”-nya yang cantik, putih, dan molek, Ai. Dan sebagai pengikut yang baik, Ai pun tidak ragu untuk berkata jujur bahwa ia juga bukan hanya tidak keberatan, tetapi bahkan bersedia “meneteki Ki Blaka.”

Apakah ini semacam agama postmodern atau cuma semacam trend sesaat? Tampaknya iya. Tapi, tampaknya juga tidak. Ki Blaka tidak berniat membentuk agama, tetapi ia menetapkan aturan main: semua orang yang mau mengobrol dengan dia di “padepokan”-nya harus mau berkata jujur.

Bersabdalah Ki Blaka: “Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, melainkan kepura-puraan. Baik pura-pura jujur atau pura-pura bohong.” Ia tidak memaksa orang untuk jujur. Kejujuran yang dipaksakan bukan merupakan kejujuran lagi, tetapi sudah jatuh ke dalam kepura-puraan.

Kejujuran bukan sesuatu yang hebat dan bagus dalam dirinya sendiri. Orang tidak dapat jujur karena mau memperoleh sesuatu: kesehatan, pelepasan jiwa, atau bahkan kebenaran. Kejujuran yang sejati adalah tanpa pamrih.

Jamil Akamid contohnya. Ia mengira, Ki Blakanis akan mendukungnya karena ia akan berkata jujur – sejujur-jujurnya – mengungkapkan nama, peristiwa, besarnya jumlah uang yang “terlibat” dalam kasusnya. Ia merasa akan menjadi semacam whistle blower yang akan menyingkapkan kebusukan birokrasi di negeri ini, karena ia akan berkata jujur; ia akan membuka semuanya. Ia juga berharap, jika ia membuka mulut, ia bisa lepas dari beban yang dideritanya, baik jasmani maupun rohani.

Tidak. Ki Blaka tidak mengharapkan kejujuran seperti itu. Kejujuran adalah kepolosan, tidak perlu dibuat strateginya, bahkan untuk yang paling bagus sekalipun. Kejujuran harus tanpa pamrih. Satu-satunya niat untuk jujur adalah kejujuran itu sendiri, bukan yang lain. Seperti kata Akamid: “Ki Blaka mengembalikan semua persoalan ke diri saya. Bukan karena dia, karena harus blaka, karena memang niat saya.”

Kepada orang-orang yang sering mengira kejujuran dapat menjadi obat mujarab bagi banyak hal (entah korupsi, sakit-penyakit, rumah tangga yang tak akur, maupun ketidakberesan lainnya), Ki Blaka berseru – dengan jujur tentunya:

“Bersikap jujur adalah pilihan pribadi. Kejujuran tak berarti menjadi sakti, menjadi kebenaran ketika dilakukan banyak orang, apalagi menjadi gerakan. Kalau ini membesar dan dianggap tanda, kita mengulangi lagi kesalahan.”

Masih belum puas? Jika kejujuran dilakukan tanpa pamrih, tentunya tidak ada yang perlu dilakukan secara terpaksa. Dengan begitu, tampaknya menjadi jujur pun dapat melahirkan ketidakberesan lainnya – jika kejujuran dilakukan dengan pamrih:
“Masalah utama yang dihadapi dengan kejujuran ketika menjadi nilai bersama dalam kelompok adalah ketika dilakukan dengan terlalu berlebihan, terlalu bersemangat.”

Sampai sejauh mana agama yang “terlalu jujur” ini bertahan? Seharusnya tidak bertahan lama (siapa sih yang tahan hidup jujur?) Ya. Ki Blaka dan para pengikutnya pun digerebek. Jelas, nabi yang mempraktikkan hidup jujur tentu sangat membahayakan penguasa – tentu saja penguasa yang tidak jujur (penguasa tentunya tidak pernah takut dengan seseorang yang cuma mengajarkan kejujuran, tanpa mempraktikkannya). Para petinggi mulai menginterogasi Ki Blaka, karena banyak sesi “tanya-jawab” di padepokan Ki Blaka berakhir rusuh.

Itu belum seberapa. Kejujuran ternyata sempat mewabah ke luar lingkungan kampung “Blakanis”. Murid-murid di suatu sekolah tidak lagi mencontek, beberapa orang mulai tidak mau mempergunakan mata uang dolar dan tidak menggunakan barang-barang impor. Para murid di suatu sekolah di Jambi – yang tidak mau mencontek lagi itu – seperti sedang kerasukan “roh blaka” ketika mereka menyanyikan koor: “blaka, blaka, blaka...” pada saat mereka akan mengerjakan soal ulangan. Adegan ini dapat dibayangkan seperti suatu adegan dari potongan dalam film “The Wall” garapan Pink Floyd, ketika tembang "Another Brick in the Wall (Part 2)” mengalun mengiringi bocah-bocah sekolah yang memberontak mulai menjungkirbalikkan kursi dan meja-meja sekolah (bedanya, anak-anak sekolah di “Blakanis” lebih “memberontak” melawan diri mereka sendiri, sementara anak-anak sekolah dalam “The Wall” memberontak melawan tirani sekolah).

Itu jelas tidak wajar dan menakutkan (tentunya bagi mereka yang tidak biasa jujur). Bagi beberapa orang, novel ini juga mungkin memang terlalu ”jujur” dan malah “kering” (“jujur”, “polos”, dan “kering” memang saudara yang berdekatan). Tokoh-tokohnya sering terasa “dingin”. Jika dibandingkan dengan “Horeluya”, “Blakanis” memang tidak berupaya mengaduk-aduk perasaan pembaca (Arswendo sebenarnya ahli dalam hal “pengadukan” ini – sebagaimana tampak dari serial Keluarga Cemara). Ki Blaka sedang mengajar dan, sayangnya, ajarannya sangat tidak populer. Jadilah, pembaca, halaman demi halaman, bersusah payah mengikuti logika Ki Blaka dan para pengikutnya – yang disebut “blakanis” – yang “meniduri” kejujuran semampu mereka (barangkali karena bukan penganut “agama kejujuran”, saya kadang-kadang merasa agak sedikit bosan dengan khotbah sang nabi?)

Jikalau Ki Blaka tampaknya kesulitan dalam mengajarkan agama “kejujuran”-nya, Arswendo tidak terlalu sulit – justru terbilang sangat berhasil – dalam hal ini: mencoba strategi bercerita yang – konon – dipakai oleh Umar Kayam dalam “Para Priyayi” (saya sebut “konon” karena saya masih belum membacanya), yaitu strategi bercerita bukan dari sudut pandang tunggal. Semua pengikut Ki Blaka punya cerita yang sah untuk diceritakan, dari si Mareto, Suster Emak, Ali, Eyang Brondol, Lola, Windi, dan sebagainya. (Siapa tahu, Anda, begitu mencoba untuk hidup jujur, juga punya hal lain yang dapat diceritakan?)

Strategi Arswendo memang berhasil. Cerita mengalir lancar pada bagian “kesaksian”, yaitu ketika para Blakanis menuturkan kesaksian dan pengalaman mereka. Pada bagian “khotbah” Ki Blaka, narasi lincah Arswendo berubah menjadi semacam verbalisme kejujuran yang memang sangat memikat dan menawan hati (karena revolusioner walaupun tidak serbabaru) namun terasa agak sulit diikuti – mungkin terutama oleh mereka yang jarang jujur dalam hidupnya (semoga kita tidak termasuk di dalamnya).

Jika agak sulit menghubungkan Parang Jati dengan Ayu Utami, saya agak lebih mudah membayangkan Ki Blaka yang santai dan blak-blakan dengan figur Arswendo sendiri. Celotehan jujur para tokoh yang ada dalam novel ini boleh dibilang berhasil dan mengalir lancar karena memang begitulah gaya Arswendo. Ki Blaka berhasil mengajarkan “agama kejujuran” justru karena Arswendo yang berhasil menceritakan kisahnya…

Jadi, walaupun berlaku jujur itu memang agak berat dilakukan akhir-akhir ini, toh Arswendo sudah cukup jujur berbagi cerita tentang kejujuran di dalam bukunya yang satu ini. Semoga kita bisa ketularan untuk jujur...

Selasa, 09 September 2008

Super Toy = Mainan Super = Blunder Politik atau Spiritualitas tak Sehat?

Konon, ada suatu analisis yang mengatakan bahwa jika di tengah-tengah suatu masyarakat sering muncul orang-orang yang mengaku Ratu Adil, mengaku orang yang dulu pernah hilang (dan kini muncul kembali), mengaku menemukan harta karun yang bisa menutupi utang negara, mengaku menemukan teknologi canggih dengan jalan yang “luar biasa” – dan berbagai pengakuan-pengakuan lainnya – biasanya masyarakat tersebut sedang “sakit”.

Dalam jangka waktu satu tahun ini, Indonesia rupanya sering “kedatangan” orang-orang seperti itu, misalnya orang yang mengaku berhasil menemukan teknologi pengubah air menjadi bahan bakar (Blue Energy); orang yang mengaku dapat menghentikan aliran lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur; orang yang mengaku sebagai Supriyadi (pahlawan perintis kemerdekaan, Menteri Keamanan RI yang tak pernah muncul setelah ditunjuk Bung Karno) dan sebagainya.

Terakhir adalah kasus padi “varietas unggul” yang dikenal sebagai Super Toy HL2. Walaupun tidak ada tokoh atau orang yang “sakti” atau “misterius” terkait dengan kasus ini, namun kehebohan dan hiruk-pikuk yang menyertainya dapat disejajarkan dengan kasus Blue Energy atau kasus “kembalinya Supriyadi”.

Awal-mulanya adalah berita kegagalan panen padi jenis tersebut yang dilaporkan oleh para petani di berbagai daerah di Pulau Jawa. Mereka mengaku merasa tertipu karena membeli dan menggunakan padi jenis tersebut, yang menurut pesan sponsor merupakan padi “super” karena padi tersebut dapat dipanen 3 kali dalam setahun – tanpa menanam kembali itu (silakan cari sendiri beritanya di internet).

Berita tersebut mungkin biasa saja, seandainya tidak melibatkan nama Susilo Bambang Yudoyono, kebetulan orang yang sedang menjabat sebagai presiden di negeri ini. SBY – begitu nama presiden ini biasa diakronimkan – rupanya agak jengah dengan berita yang terkait dengan kegagalan panen padi jenis “super”, yaitu Super Toy HL. Mengapa harus jengah? Wajar bila ia jengah, karena pasalnya komisaris PT Sinar Harapan Indopangan (SHI), Heru Lelono, adalah salah seorang anggota tim penasihat presiden – Tim Cikeas, begitu sebutannya (PT SHI adalah perusahaan yang memproduksi dan memasarkan padi “super” tersebut, yang darinyalah para petani mendapatkan/membeli bibit padi tersebut). Dan kedua, ini yang membuat semakin jengah: SBY “tampak” melakukan promosi atas padi jenis tersebut – setidaknya memang begitulah yang dibaca oleh para lawan politiknya.

Entah “kejengahan” tesebut pantas atau tidak (juga tidak jelas siapakah yang sebenarnya jengah: SBY atau para pembantunya). Namun, yang pasti, pada acara berbuka puasa hari Sabtu lalu (6/9/2008), pejabat humas kepresidenan merilis transkrip pidato SBY pada acara “launching” padi jenis tersebut tahun lalu (Kompas, 7/9/2008). Transkrip yang dibagikan itu memperlihatkan “posisi netral” presiden dalam urusan “padi super” tadi. Jadi, tidak benar – begitu hal yang ingin diluruskan oleh tim kepresidenan – bahwa Presiden SBY mempromosikan padi “super” tadi. Lagipula, SBY sudah memanggil Heru Lelono untuk meminta penjelasan (baca di Detik).

Terlepas entah bagaimana posisi SBY dengan urusan ini, ada hal yang menarik yang perlu dicermati: mengapa padi “ajaib” yang dapat dipanen 3 kali dalam setahun – tanpa menanam kembali itu – lebih disukai ketimbang padi konvensional. Mungkin kalau ini ditanyakan, orang akan mencibir dan menjawab: “Tentu saja, padi seperti itu lebih disukai, karena lebih produktif dan lebih murah.” Iya, ya. Itu pertanyaan bodoh. Yang lebih produktif dan lebih murah pasti lebih disukai.

Namun, mengapa begitu? Lebih tepat lagi: mengapa Presiden SBY dan Tim Cikeasnya kok dengan mudah terbuai oleh tawaran atau bujukan yang ternyata belum terbukti valid – baik secara ilmiah maupun secara birokratis (ternyata, dari pengakuan Menteri Pertanian, padi tersebut belum melewati prosedur resmi dan normal untuk dapat disebut sebagai varietas unggul). Jadi, apa yang ditawarkan oleh SHI dan Heru Lelono tidak lebih daripada “kucing dalam karung” – tentu kucing dalam karung masih lebih berharga ketimbang padi “super” yang ternyata tidak “super”.

Orang dapat menduga mengapa SBY dan Timnya terkecoh: entah politis atau psikologis-spiritual. Politis, tentu saja SBY butuh sesuatu yang dapat dipakai untuk bahan kampanye menghadapi pemilu tahun depan. Jelas, padi “super” adalah bahan yang bagus untuk kampanye dan menarik massa – terutama dari kalangan petani. Jika Super Toy HL2 benar-benar padi super, SBY akan muncul sebagai figur juruselamat di tengah produksi padi yang tengah menurun. Siapa sih yang tidak ingin dikenal massa petani – di atas kertas mayoritas orang Indonesia masih tergolong dalam kelompok ini – sebagai orang yang dengan sukses “meningkatkan taraf kehidupan” mereka? Soeharto sudah pernah melakukannya, dan cukup berhasil.

Namun, jika alasannya psikologis-spiritual, bagaimana? Mungkin ini yang agak sulit. SBY dan Timnya tentu bukan figur bodoh yang percaya dengan orang-orang yang mengaku dapat melakukan “mukjizat”, yang entah bagaimana caranya dapat “membuat hidup yang sulit menjadi mudah” (atau mereka memang percaya?) Apa boleh buat. Ini menambah daftar panjang catatan para pejabat – tentu lebih banyak yang di luar kalangan ini – yang lebih suka duduk menanti datangnya Ratu Adil atau orang-orang yang dapat menciptakan jalan pintas menuju “Indonesia yang Adil dan Makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi”. Orang-orang yang dapat menciptakan jalan pintas ini dipercaya dapat membuat semacam “loncatan kemajuan” – entah dalam bidang teknologi, finansial, atau bahkan politik. Intinya, “loncatan” ini akan mengurangi – bahkan menghilangkan – penderitaan atau kondisi “tidak enak” yang kini dialami oleh banyak orang di negeri ini.

Masalahnya, kalau pejabat – yang pendidikannya lebih tinggi dan lebih kaya – percaya dengan “orang-orang ajaib” ini, apalagi yang bukan pejabat (seperti yang menulis tulisan ini). Kalau besok ada orang yang datang ke rumah Anda, dan menawarkan bahwa ia mempunyai panci ajaib yang dapat memasak nasi “tak berkesudahan” – artinya Anda tidak perlu beli beras lagi seumur hidup – apakah Anda percaya? Anjuran saya: sebaiknya percaya saja, toh yang lebih pintar dan lebih kaya ketimbang Anda (dan saya) juga percaya…

Jumat, 05 September 2008

Kartu Palin di Saku McCain (dan Kartu di Indonesia)


Mungkin dapat disebut sebagai kejutan jika John McCain – calon presiden dari Partai Republik – memilih Sarah Palin (29/8/2008) menjadi calon wakilnya dalam menghadapi pemilu presiden Amerika Serikat November 2008 mendatang.

Setelah “babak belur” dalam hal image dan isu – tentunya pasca-konvensi Partai Demokrat beberapa hari sebelumnya sebelumnya – John McCain mencoba untuk meraih kembali popularitas yang tampaknya agak meredup. Upaya itu menunjukkan sedikit tanda keberhasilan ketika ia memilih Sarah Palin – gubernur negara bagian Alaska – sebagai calon wakilnya.

Itu adalah langkah yang cukup berani, namun di lain pihak memang agak strategis. Rasa sakit hati yang barangkali tersisa di dalam hati para pendukung Hillary Clinton dicoba untuk dijadikan “kartu truf” oleh McCain. McCain tampaknya tahu benar bahwa sebenarnya masih banyak pendukung Hillary yang tidak begitu rela ketika kandidat mereka – mantan First Lady era Bill Clinton – itu menyerahkan kursi calon presiden Partai Demokrat ke tangan Barack Obama.

Ada beberapa isu yang membuat rasa sakit itu menjadi tambah terasa “sakit” bagi para pendukung Hilary. Pertama, status gender Hillary. Bagaimanapun juga, seorang calon presiden perempuan adalah sesuatu yang sangat menarik, terutama di dalam tradisi kepresidenan di Amerika Serikat. Ada semacam sentimen gender ketika Hillary naik menjadi salah satu calon presiden dari Partai Demokrat. Bagi beberapa perempuan – atau bahkan mungkin banyak -- di Amerika Serikat, hal ini adalah semacam puncak pengharapan dari janji-janji dari “freedom, liberty, and equality” yang merupakan slogan dari pendirian negara tersebut. Ada masanya ketika perempuan tidak boleh mengikuti pemilu, dan ada masanya pula ketika perempuan boleh mengikutinya. Ada masanya ketika perempuan tidak atau belum mencapai kursi nomor satu di negeri itu, dan mereka berpikir, mengapa tidak ada pula masanya bagi kaum perempuan untuk meraih kursi tersebut.

Kedua, status “kulit putih” Hillary. Diakui atau tidak, walaupun dengan tradisi demokrasi dan penegakan hak asasi manusia yang sangat tua, Amerika Serikat selalu punya tendensi untuk menjadi seperti “negara-negara yang sering diperangi olehnya”, yaitu rasis dan intoleran. Tentu, kita tidak berbicara tentang hukum formal, yang di dalamnya tidak akan mungkin kita menemukan teks-teks atau pasal-pasal yang bersifat rasis dan intoleran. Kita berbicara tentang praktik dan sentimen orang per orang, kelompok per kelompok (yang tentunya sama saja di seluruh muka bumi ini). Bagi banyak orang – terutama dari kubu Demokrat – yang mereka hadapi pada bulan-bulan sebelum konvensi adalah pilihan antara: seorang calon presiden kulit putih atau seorang calon presiden kulit hitam. Itu saja. Tentu sentimen dan subjektivitas akan sangat menentukan di sini, dan bukan rahasia lagi jika banyak di antara pendukung Partai Demokrat yang lebih peka dengan isu ras dan warna kulit ini. Bagi mereka, Hillary Clinton jelas lebih “preferable” ketimbang Barack Obama.

Hasil konvensi Partai Demokrat sudah diketahui bersama: Barack Obama menjadi calon presiden resmi dan Joe Biden menjadi calon wakilnya. Ini kombinasi yang cukup baik dan memang cukup menjanjikan, sebagaimana hal ini tampak dari pemberitaan yang sangat antusias dari berbagai media, baik di Amerika Serikat maupun di dunia internasional.

Lalu apa strategi Republik dan McCain untuk mengimbangi suasana hangat yang seolah-olah menempatkan kubu Demokrat di atas angin itu? Kedua isu itu rupanya dipahami betul oleh kubu McCain, ditambah satu isu klasik dalam “pertempuran” antara Republik dan Demokrat: bumbu-bumbu moralitas.

Sebagai partai liberal, Partai Demokrat terkenal dengan dukungannya pada gerakan pro-choice, yaitu semacam gerakan yang pandangannya memberikan toleransi bagi upaya aborsi yang dilakukan oleh kaum perempuan hamil jika mereka menghendaki. Oleh kubu Republik, pro-choice ini tidak lebih dipandang sebagai pro-abortion atau pro-abortionist. Isu ini sangat klasik, sehingga hampir selalu mewarnai debat di antara kedua kubu (walaupun tidak semua Demokrat memilih posisi pro-choice, sebagaimana tidak semua Republik memilih posisi pro-life, istilah yang hampir selalu setara dengan istilah “anti-aborsi”).

Di samping kedua isu terkait “Hillary” tadi, kubu McCain juga memanfaatkan isu pro-life versus pro-choice ini. Mengapa? Calon wakil presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden adalah seorang Katolik yang ternyata sangat pro-choice (sama seperti beberapa Demokrat lain yang terkenal, seperti Nancy Pelosi dan John F. Kerry). Sebagai Katolik, tentunya posisi politik Biden tampak bermasalah, karena Gereja Katolik sangat menentang pandangan pro-choice. Alhasil, Joe Biden tampak sebagai seorang Katolik yang munafik di mata banyak kalangan Kristen – bukan hanya Katolik. Image Biden yang semacam ini benar-benar dimainkan oleh McCain (jumlah orang Katolik di Amerika memangt cukup banyak walaupun bukan yang paling banyak. Ini dapat “dimanfaatkan” jika situasi menjadi “too close to call”).

Dua isu terkait Hilary dan Joe Biden yang “bercacat” benar-benar dijadikan kartu truf oleh McCain ketika ia memilih Sarah Palin. Palin langsung menjadi antitesis bagi ketiga hal itu: Dia perempuan, kulit putih, dan anti-aborsi (alias pro-life) – di luar faktor usia yang masih muda dan latar belakang lintas-denominasi yang biasanya sangat disukai di sana. Pilihan ini membuktikan bahwa McCain tampaknya tidak lagi memedulikan kritiknya pada Obama yang mengaitkan usia muda Obama dengan ketidaklayakannya menduduki Gedung Putih. Palin sendiri adalah pemegang rekor dalam urusan perempuan pertama yang menjabat gubernur negara bagian dan juga yang termuda dalam sejarah di Amerika Serikat.

McCain kini punya kartu truf di sakunya: Sarah Palin. Apakah ini akan bermanfaat bagi kubu Republik dalam permainan kartu riil pada bulan November yang akan datang, hal itu masih akan dibuktikan nanti.

Apa manfaatnya bagi kita di Indonesia jika kita mencermati hal-hal di atas? Mungkin tidak banyak. Jika ada yang dapat dipelajari secara banyak adalah “teknik-teknik bermain kartu truf” sebagaimana halnya yang sudah biasa dilakukan oleh banyak politisi di sini (bahkan, boleh jadi jika politisi lokal lebih lihai dalam bermain kartu, entah itu truf, poker, bridge, remi atau domino…)

Selamat bermain kartu…