Selasa, 10 Maret 2009

Coldplay vs Radiohead—And The Winner is Nobody…(or Dollar?)

Britrock – beberapa menyebutnya britpop – barangkali hanyalah salah satu fenomena dalam dunia musik, entah di Inggris maupun di dunia. Tidak begitu jelas dari mana sebenarnya asal muasal aliran ini. Sama seperti berbagai jenis musik yang lain, aliran ini muncul sebagai akibat pengaruh banyak jenis musik. Britrock mengambil berbagai elemen – terutama dari musik rock – yang banyak mendominasi di Inggris, dari psychelic rock, hard rock, blues, jazz, third wave, bahkan punk. Boleh dibilang, aliran ini merupakan “alternative rock” asli Inggris, berpadanan dengan aliran grunge di Amerika

Sebagai aliran, britrock muncul pada era ketika teknologi komputer sedang naik daun dan kejenuhan atas perang dingin sedang memuncak. Pada waktu itu, katakanlah awal 1990-an, musik di Inggris didominasi oleh semacam ”gerakan retro” yang mencoba menggali tradisi rock asli Inggris ke dalam dapur rekaman. Jika ditanya, mereka sering menyebut nama-nama ”dinosaurus rock” sebagai patron atau kiblat, seperti Pink Floyd, Led Zeppelin, Beatles, Rolling Stones, Cream, King Crimson, Genesis, Yes, U2, dan sebagainya.

Ada beberapa nama band yang patut disebut sebagai pengusung aliran britrock ini, seperti Oasis, Blur, Suede, Travis, dan Radiohead. Menjelang tahun 2000-an, muncul nama seperti Coldplay dan pada masa-masa selanjutnya muncul Muse dan Artic Monkeys.

Apa yang dapat diceritakan mengenai band-band itu? Barangkali ini: ada 2 nama yang ternyata masih “nyangkut” dalam ajang penganugerahan Grammy Award 2009 yang digelar pada 8 Februari 2009 yang lalu. Kedua nama itu adalah Radiohead – yang boleh dibilang sudah out of date dari segi “umur” – dan Coldplay – yang boleh dibilang sedang berada di puncak (atau justru sedang mulai memasuki siklus “menurun”?)

Ada yang sedikit luput dari perhatian peminat music rock umumnya dan musik britrock pada khususnya dari ajang penganugerahan Grammy Award 2009 tersebut. Dua raksasa Inggris tersebut – Coldplay dan Radiohead – sama-sama mendapat nominasi yang cukup banyak berdasarkan penilaian pada album terbaru mereka masing-masing: Viva la Vida or Death and All His Friends (Coldplay) dan In Rainbows (Radiohead). Coldplay mendapat nominasi untuk 7 kategori, sementara Radiohead mendapat nominasi untuk 4 kategori (sebenarnya, 4 kategori tidaklah terlalu banyak. Namun, untuk musisi “tua” sekelas Radiohead, jumlah itu termasuk banyak).

Di luar masalah kategorisasi yang agak rumit – dan sedikit banyak membingungkan orang awam (termasuk saya) – tentunya banyak hal lain yang menjadi pertimbangan. Tentunya, kita bisa bertanya-tanya: mengapa lagu “House of Cards” Radiohead bisa menjadi salah satu nominasi Best Rock Song (bersama dengan “Violet Hill” Coldplay), sementara album yang menjadi “rumah” bagi lagu tersebut – In Rainbows – justru tidak dinominasikan dalam kategori Best Rock Album (tetapi malah dinominasikan dalam Best Alternative Music Album)? Memang, hal-hal macam ini sering menjadi misteri yang hanya diketahui oleh para juri/panitia Grammy dan Tuhan sendiri.

Pada kategori di mana keduanya memperoleh nominasi bersama-sama, siapa yang akan unggul: Coldplay atau Radiohead? Mereka mendapatkan kategori yang sama pada kategori-kategori ini: Album of the Year (album baru dari masing-masing band), Best Rock Performance By A Duo Or Group With Vocals (“Violet Hill” untuk Coldplay dan “House of Cards” untuk Radiohead), dan Best Rock Song (“Violet Hill” untuk Coldplay dan “House of Cards” untuk Radiohead).

Apa kesan yang muncul ketika kita mendengar kedua album tersebut? Kesan pertama: In Rainbows-nya Radiohead memang tetap memperlihatkan watak asli band yang dikomandani Thom Yorke. Konsisten. Begitu lugas, tanpa tedeng aling-aling. Nomor-nomornya tidak begitu berbeda dengan album sebelum ini, “Hail to the Thief” – bahkan menurut saya, In Rainbows lebih depresif dan skizofrenik. Jika Hail to the Thief masih menyimpan nomor “lembut-reflektif” seperti “Sail to the Moon”, album baru ini seolah hampir tidak menyisakan lagi kesempatan para pendengar untuk sedikit mengambil napas.

Viva la Vida memang sangat eksperimental dan inovatif. Chris Martin mencoba beberapa bebunyian baru – termasuk organ gereja dalam nomor “Lost”, nomor yang cukup ngepop dalam album ini. Lirik-liriknya “sangat politis”, yang menyuarakan kejatuhan suatu imperium, kematian, dan bahkan perang. Gitar Jonny Buckland pun sangat menawan. Ia semakin “U2” dalam beberapa nomor – kita sebuat saja: semakin agresif.

Namun, secara keseluruhan, Viva tidak jauh beranjak dari sound yang selama ini dimainkan oleh Coldplay. Bebunyian musik mereka tetap muncul sebagai kombinasi nada-nada segar dan “pop” yang sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh Radiohead. Namun, bagi penikmat musik “rock” pada umumnya, Viva dan album-album Coldplay lainnya tetap merupakan wakil yang cukup representatif dan segar dari musik rock kontemporer.

Zaman sudah berubah. Kita memang tidak dapat lagi menikmati zaman-zaman ketika Led Zeppelin memainkan nomor-nomor indah yang merupakan paduan antara hard rock dan blues yang sangat kental.

Namun, apa yang terjadi pada Grammy Award 2009 kemarin? Siapa yang menang antara Coldplay versus Radiohead? Ternyata, keduanya tidak menang duel di mana mereka bertemu dalam satu kategori. Konyol. Grammy Award untuk kategori di mana mereka saling bertemu justru dimenangkan oleh artis/musisi lain. Tentu saja, mereka mendapat “jatah” Grammy masing-masing, namun tidak dalam kategori di mana mereka saling bertemu (Apakah kita boleh berpikir bahwa ini adalah hasil “ilmu sulap” panitia? Tentu spekulasi semacam itu bukanlah sesuatu yang diharamkan).

Coldplay meraih Grammy untuk 3 kategori: Song of The Year (Viva La Vida), Best Pop Performance by a Duo or Group with Vocals (Viva La Vida), dan Best Rock Album (Viva La Vida or Death and All His Friend). Sementara itu, Radiohead memperoleh 2 Grammy untuk Best Alternative Music Album (In Rainbows) dan Best Boxed Or Special Limited Edition Package (In Rainbows – Grammy ini sebenarnya diperuntukkan untuk para art director album tersebut ketimbang untuk Radiohead sendiri).

Panitia atau para juri Grammy tampaknya lebih merasa aman jika “memenangkan” kedua band di kategori-kategori di mana keduanya tidak berduel. Secara tidak langsung para juri Grammy mengakui bahwa keduanya “juara” di kategori yang berbeda.

Dari “pengakuan” ini – jika memang benar begitu – apakah ini harus ditafsirkan dari sudut yang 100% murni musik atau terkait dengan bisnis? Keduanya tampak sangat masuk akal. Secara musikal, Grammy tetap mengakui bahwa kedua pengusung britrock tetap mempunyai sesuatu – katakanlah kualitas – yang dapat ditawarkan kepada kuping-kuping penikmat musik rock pada umumnya, walau dengan 2 kategori berbeda: “rock murni” (untuk Coldplay) dan “alternative rock” (untuk Radiohead).

Panitia Grammy – boleh dibilang “para dewa” dalam bisnis musik – tidak ingin membunuh selera musik sebagian besar penggemar musik dunia. Ini pun berarti pengakuan bahwa aliran britrock masih kuat bercokol baik dalam bisnis musik maupun di dalam relung-relung telinga para penikmat musik. Britrock masih merupakan magnet atau semacam gaya bermusik bagi musisi-musisi dunia. Sementara itu, katakanlah Amerika, lebih banyak memproduksi musik yang lebih bersifat “trash metal” (entah model Metallica atau yang lain) atau berlabel “hip metal”, “nu metal” “atau juga “nu rock”.

Jika diamati, kedua band memang berhasil menggiring telinga penikmat musik rock. Radiodhead bermain di telinga para penikmat yang lebih menyukai cita rasa rock yang lebih “suram”, “muram”—kalau tak bisa dibilang: “keras”, sementara Coldplay menguasai telinga para penikmat musik rock yang lebih enjoy dengan bebunyian yang lebih soft atau fresh. Namun, “kekerasan” musikalitas Radiohead tidak bertumbuh menjadi semacam “metal” seperti yang dijual oleh band-band Amerika (Limp Bizkit, misalnya). Radiohead lebih dapat dilihat sebagai “Pink Floyd zaman internet”: sesuatu yang lebih enigmatik dan maskulin, tetapi tetap aman dimainkan di kamar-kamar tidur. Sementara itu, Coldplay memenuhi benak orang sebagai band “pop rock pasca perang dingin”. Ia tidak terkesan murahan, tetapi tetap jauh lebih “feminim” ketimbang Radiohead. Ia memainkan sesuatu yang rock, tetapi bukan Pink Floyd, apalagi Led Zeppelin. Ia semacam Beatles – kebetulan personilnya sama-sama berjumlah 4 orang – yang lahir kembali lewat mesin-mesin digital.

Pengakuan dari Grammy pun cukup penting dari segi bisnis. Coba lihat band-band Indonesia seperti Dewa19, Padi, Peterpan, Sheila on 7, Nidji, Ungu, Samsons. Orang lebih mudah mengasosiasikan band-band tersebut dengan semacam “band britrock” ketimbang band metal. Bayangkan jika ikon atau simbol dari band-band tersebut (baca: bisnis musik lokal, seperti di Indonesia) “dimatikan” dengan cara tidak dimenangkan dalam suatu ajang sekelas Grammy, apa yang terjadi? (Ini mungkin berlebihan. Jawabannya: mungkin tidak terjadi apa-apa. Indonesia punya aura, kultur, dan kuping tersendiri, yang berbeda dengan apa yang ada di Inggris dan Amerika).

Itu berarti, musik ala band-band Inggris (alias britrock) masih akan tetap laku diproduksi dan dijual di seluruh dunia (termasuk di Indonesia) karena ada pengakuan bahwa musik semacam itu masih di atas angin; inilah suatu pengakuan yang menggabungkan unsur yang murni musik dan unsur bisnis. Selain itu, kedua album dari dua band tersebut untuk pertama kalinya dirilis di luar label raksasa yang biasa memayungi karya-karya mereka selama ini: EMI. EMI memang raksasa. Kesukseskan mantan “anak asuh” EMI – di luar haribaan pelukan EMI – patut dirayakan oleh “musuh-musuh” mereka di Amerika. Itu adalah hukuman untuk EMI (“kompetitor dari Inggris”). Entah hal yang terakhir ini benar atau tidak.

Barangkali, di balik perang antara Coldplay dan Radiohead, kita juga bisa menyimpulkan bahwa pemenang di antara kedua band tersebut adalah: cita rasa seni yang murni dan tulus serta sedikit cita rasa dollar (?)…***

Daftar Lengkap Pemenang Grammy Award 2009

http://en.wikipedia.org/wiki/51st_Grammy_Awards

http://www.billboard.com/bbcom/news/plant-krauss-coldplay-wayne-score-grammy-1003939582.story