Anatomi Kekecewaan
Beberapa teman mengungkapkan rasa kecewa setelah menonton “Soegija”. Saya
awalnya termasuk dalam barisan kecewa juga, tetapi mencoba mengendapkan lagi
apa yang saya tonton. Saya mencoba menangkap getar-getar kreatif yang
dimunculkan film itu. Namun, izinkan saya membuat anatomi kekecewaan umum yang
muncul setelah menonton film itu.
Kekecewaan pertama adalah terkait dengan fakta bahwa film ini ternyata
bukan film biografis. Kebanyakan orang “tertipu” di bagian ini. Mereka mengira
akan disuguhi oleh suatu biografi yang kurang lebih lengkap atau utuh dari
Monsiyur Soegijapranata, dengan kisah yang berfokus pada kehidupan beliau. Kekecewaan
kedua adalah bahwa film ini bukan film “agama Katolik”. Bagi yang datang ke
bioskop dan mengira bahwa mereka akan disuguhi tontonan yang bersifat Katolik
tentu kecewa besar. Film ini rupanya menyisakan sedikit hal-hal yang berbau
Katolik. Itu pun dalam bentuk yang subtil dan “simbolik”.
Saya akan berangkat dari dua “kekecewaan” di atas dengan membahas
beberapa “keluhan” atas hal-hal lain yang menurut saya “cukup objektif”, yaitu “konsistensi
penceritaan yang lemah” dan “beberapa hal yang kurang akurat”. Misalnya,
bagaimana Mariyem yang awalnya tidak suka pada Hendrick tiba-tiba berboncengan
motor dengan mesra. Juga, bagaimana ibunda Ling Ling (Olga) tiba-tiba muncul di
dalam gereja. Di beberapa situs Katolik, saya membaca kritik bahwa pakaian
uskup yang digunakan juga tidak kontekstual (begitu juga beberapa hal lain)—saya
tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Belum lagi, penilaian—yang mungkin
objektif atau tidak—bahwa akting para bintang dalam film ini tidak memuaskan. Beberapa
orang menilai, justru akting para bintang Belanda (Wouter Zweers dan Wouter
Braaf) lebih bagus ketimbang, misalnya, akting Olga Lidya.
Tulisan ini mencoba mengupas dua “kekecewaan” besar di atas dengan
sedikit-sedikit “keluhan” yang lain.
Soegija: Cara Garin Berpuisi
dengan Gambar dan Monolog
Ketika film ini akhirnya “jatuh” ke tangan Garin Nugroho, kita semua
tahu betapa “bahaya” yang menghadang para penonton. Reputasi Garin sebagai
pembuat film “esoterik” cukup tersebar di mana-mana. Masih membekas dalam benak
banyak orang, karya-karya semisal “Opera Jawa”, “Daun di Atas Bantal”, “Bulan
Tertusuk Ilalang”, dan “Mata Tertutup”. Orang merasa, jika menonton film
besutan Garin Nugroho seperti masuk ke dunia lain.
Mengapa Puskat Pictures sebagai produsen “Soegija” sampai memilih
Garin? Tampaknya pemilihan ini memang sangat disengaja. Para produsen—atau siapa
pun yang berada di balik gagasan pembuatan film ini—tampaknya menginginkan
sesuatu yang berbeda, dan terutama sesuatu yang tidak hanya bisa dinikmati oleh
orang Katolik saja.
Idealisme mereka tampaknya bak gayung bersambut dengan Garin Nugroho
yang baru selesai dengan proyek film “Mata Tertutup” (2011) yang juga sangat
idealis itu—setidaknya menurut saya. Benturan yang kreatif ini tampaknya
berbuah pada suatu tekad bahwa film tentang Albertus Soegijapranata itu tidak
akan mereproduksi kehidupan uskup pribumi pertama di Indonesia itu
mentah-mentah, tetapi mengolahnya secara kreatif dan kontekstual. Atau karena
sutradaranya Garin, film ini akan bersifat film “ala Garin Nugroho”. Begitulah.
Entah bagaimana benturan kreatif itu berproses, tampaknya gagasan pokok
yang mencuat adalah: film itu akan berfokus pada idealisme Soegija, bukan pada
sosok historisnya belaka. Sosok historis tetap muncul, tetapi hanya sekelebatan.
Lebih jauh, idealisme Soegija ditarik sampai batas-batasnya yang paling
ekstrem: idealisme yang mengkritik kekinian Indonesia. Melihat proses benturan kreatif
itu, tidak heran kalau Garin Nugroho justru menjadi orang yang tepat
mengolahnya. Saya bahkan melihat “kemiripan” kemasan—cuma mirip, memang—antara “Soegija”
dan “Mata Tertutup”.
Kini, apa yang kita lihat di layar bioskop kemarin? Apa yang kita lihat
adalah bagaimana Garin Nugroho tengah berpuisi, tepatnya puisi tentang idealisme
Soegija dalam bentuk visual. Berbeda dengan film sejarah lain, seperti “Gie” (2005)
atau bahkan “Tjoet Nya’ Dhien” (1988), “Soegija” garapan Garin tidak berangkat
dari asumsi bahwa tokoh atau peristiwa historis yang hendak “difilmkan” akan
muncul secara linear dengan detail yang tegas. Tidak.
“Soegija” tidak muncul sebagai narasi yang utuh sebagaimana layaknya
film sejarah. “Soegija” muncul sebagai puisi dengan alat utamanya berupa gambar
visual dan dialog-dialog pendek. Tidak heran, ada beberapa gambar dalam “Soegija”
yang muncul secara “mewah” atau bahkan “berlebihan”. Ini misalnya adegan
orang-orang yang jatuh tumbang dimangsa peluru. Begitu juga dengan
gambar-gambar lain. Sementara itu, dialog-dialog pendek muncul secara “tidak
wajar”. Dialog-dialog itu lebih mirip dengan monolog. Monolog-monolog itu
mencuatkan satire, karikatur, bahkan yel-yel para demonstran. Tidak heran, film
ini meninggalkan banyak kutipan yang memorable,
seperti: “Di rumah sakit ini, semua adalah pasien”, “Kalau jadi politikus, jangan haus kekuasaan. Kalau tidak, nanti jadi benalunya
negara”, “Jangan lagi ada curiga,
kebencian dan permusuhan”, dan masih banyak lagi. Ciri khas dari monolog dalam “Soegija”
itu adalah: walaupun ia ada dalam konteks dialog, misalnya menjawab atau
bertanya pada karakter lain dalam film, jawaban atau pertanyaan itu tidak
terkait dengan pertanyaan karakter lain tersebut—atau tidak menuntut jawaban
konkret karakter lain. Misalnya, jawaban Mariyem pada Robert di rumah sakit: “Di sini aku
Maria, aku adalah ibu
dari semua pasien di sini”. Jawaban ini seolah-olah ditujukan untuk
penonton, bukan pada Robert. Dan pola yang sama hampir memenuhi semua “dialog”
dalam film, misalnya antara Soegija dan koster Toegimin (diperankan Butet
Kartaredjasa).
Baik
gambar maupun monolog-monolog itu menjadi senjata utama dalam puisi Garin
Nugroho yang berjudul “Soegija”. Garin secara bebas menghadirkan idealisme Soegijapranata
untuk, misalnya—dan terutama—menegur situasi masa sekarang. Gambar dan
monolog-monolog itu seperti mantra-mantra yang diulang-ulang, ditekankan
sedemikian rupa, seperti kata-kata—atau suku-suku kata—dalam syair-syair Sutardji
Calzoum Bachri. Dalam syair-syair Sutardji, kata-kata adalah mantra—orang boleh
tidak peduli dengan narasi atau kisah yang ada di dalamnya, karena misi
Sutardji adalah membebaskan kata—“kata yang hendak dibebaskan dari
kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra,”
begitu biasanya orang berkomentar mengenai fungsi “kata” dalam syair-syair
Sutardji.
Inilah
sebabnya mengapa “Soegija” bukan film biografi, juga bukan merupakan film
sejarah seperti pada umumnya: puisi Garin sama sekali tidak mementingkan
narasi. Ada memang semacam narasi, seperti narasi Mariyem, narasi Ling Ling,
narasi Hendrick, narasi Robert, narasi Suzuki. Tapi narasi-narasi itu pun
muncul ibarat penggalan-penggalan puisi yang mengumbar gambar dan monolog.
Tidak heran, karakterisasi atau plot dari beberapa “narasi” tidak berkembang—atau
setidaknya membingungkan, misalnya mengapa Mariyem akhirnya mau dibonceng
Hendrick, atau ke mana saja ibunda Ling Ling dibawa tentara Jepang dan lalu
mengapa ia muncul mendadak di dalam gereja. Sebagai puisi,
pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada konsistensi narasi benar-benar tidak
berguna. Apa yang penting dalam setiap narasi—atau lebih tepat penggalan puisi—itu
adalah gambar dan monolog yang muncul.
Jalinan
kisah atau para tokoh dalam “Soegija” lebih merupakan puisi-puisi visual yang
disatukan dengan benang merah yang bernama Soegijapranata, atau lebih tepatnya:
idealisme tokoh Soegijapranata. Ibarat menikmati syair-syair gila karya Sutardji Calzoum Bachri, kita seharusnya
tidak mencari apa yang ada di balik “kata”—atau gambar dan monolog dalam film
ini—tetapi justru menyusuri gambar demi gambar, monolog demi monolog, yaitu “kata-kata”
visual dalam film ini. Ibarat
Puisi Garin, Harapan Penonton,
dan “Genre Baru”
Tentu tidak mudah bagi orang menikmati puisi visual ala Garin seperti
itu. Saya pun tidak. Masih ada rasa kosong, suwung atau ngelangut setelah keluar dari bioskop. Kesan yang langsung muncul
adalah film “Soegija” adalah suatu kritik atas masa kini kita, bukan film
tentang masa lalu kita. Ada perasaan tertipu, ada perasaan “lho kok gitu, yah”,
dan terutama ada perasaan yang membuat kepala pusing karena sibuk berpikir.
Mungkin harapan penonton terlalu besar ketika menonton film ini. Mereka mau
mencari semacam “biografi visual” dari seorang Soegijapranata. Apa yang
didapatkan mereka ternyata suatu kolase puisi yang subtil, ibarat mendengar
syair-syair gila karya Sutardji Calzoum
Bachri.
“Soegija” sebenarnya tontonan yang berat. Untuk bagian ini, saya merasa
tertipu. Namun, saya merasakan juga pembebasan setelah menonton film ini. Seorang
uskup pribumi pertama di Indonesia ternyata memiliki gagasan yang melampaui
masa hidupnya. Anehnya, hal ini justru berhasil disampaikan melalui “film ala
Garin Nugroho”. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana idealisme Soegijapranata
bisa dipakai mengkritik politisi masa kini—supaya tidak menjadi “benalu negara”,
begitu salah satu “monolog” dalam film itu—jika hanya difilmkan sebagai film
sejarah biasa. Puisi Garin memang agak mengecewakan jika dilihat dari standar
film sejarah yang umum dan lazim, tetapi justru menenteramkan hati karena
ternyata idealisme masa lalu dekat pula dengan persoalan-persoalan hidup masa
kini. Puisi Garin mengajak penonton untuk tidak hanya menengok masa lalu,
tetapi justru menantang masa kini mereka.
Hal lain yang bisa dipelajari dari puisi Garin ini adalah kemungkinan
untuk lahirnya suatu “genre baru” dalam film-film sejarah kita. Dengan format
seperti di atas, “Soegija” tampaknya membentuk semacam pola yang baru dalam
film bertema sejarah. Film sejarah yang berpuisi? Entahlah apa namanya. Garin
tampaknya sengaja bereksperimen dengan film ini. Ia keluar dari genre film
sejarah pada umumnya dengan meninggalkan teknik bernarasi yang umum: tokoh
sejarah “dihisap” rohnya dan disalurkan secara bebas, secara puitik. Tokoh
sejarah itu tersisa sosoknya secara karikatural, tetapi rohnya membayang di
keseluruhan film. Entah apakah penonton yang “tertipu” mau peduli dengan keunikan
ini atau tidak. Namun, menurut saya, Garin sebenarnya berhasil memperkaya
khazanah film-film sejarah di Indonesia, setidaknya dalam hal kemasan dan
teknik bercerita. Ia tidak berfokus pada kelaziman film sejarah yang berfokus
pada tokoh dan peristiwa tertentu—tetapi justru berfokus pada gagasan atau ide
yang ada di balik tokoh dan peristiwa. Ini monumental.
Epilog: Pak Besut
Sejak awal, ada yang tidak wajar pada karakter Pak Besut. Pernah
mendengar istilah “breaking the fourth wall”? Dalam film dan semua karya fiksi,
ada aturan bahwa karakter dalam film tidak boleh—dan memang tidak bisa—berbicara
pada penonton/pembaca. Atau, bisa juga diartikan: karakter dalam film tidak
boleh membahas atau bekomentar tentang film itu sendiri. Itu adalah suatu tabu.
Jika ada film yang melakukannya, film itu biasanya film yang bernuansa komedi.
Banyak contoh untuk hal ini—dan biasanya memang film komedi/parodi.
Kehadiran Pak Besut—karakter yang katanya penyiar radio—itu masuk dalam
kategori ini. Ia berkali-kali muncul dengan corong radionya “menyapa” penonton.
Isi ucapannya memang tidak mengomentari isi film—sebagaimana halnya dalam film
yang “breaking the fourth wall”—tetapi dengan wajah dan mata yang langsung
menatap kamera (baca: menatap penonton),
Pak Besut benar-benar “breaking the fourth wall”—apalagi ia adalah seorang
penyiar radio, bukan penyiar televisi (jadi buat apa mata dan wajahnya menatap
lurus-lurus ke hadapan kamera, seperti reporter TV zaman sekarang?). Ia tampaknya
sengaja dihadirkan Garin sebagai narator yang berupaya mempertahankan unsur
naratif dalam film dengan menceritakan kejadian-kejadian objektif, sekaligus
menegaskan idealisme film: mengkritik masa kini penonton.
Menurut definisinya, “the fourth wall” adalah suatu ciptaan para
penulis karya-karya fiksi yang memisahkan antara dunia fiksi yang dibuatnya
dengan para pembaca. Jadi, dunia fiksi karya penulis terjamin ke-fiksi-annya.
Namun, jika suatu karya yang katanya fiksi melanggar “the fourth wall”, ada
dugaan bahwa karyanya memang karya komedi/parodi, atau suatu kesengajaan dari
si penulis yang memang mau mendekonstruksi karya fiksinya sendiri. Dalam hal
terakhir, dekonstruksi karya fiksi dengan cara melanggar “the fourth wall”
berarti mencoba melumerkan dan meleburkan dunia fiksi ke dunia nyata.
Dengan demikian, film “Soegija” didekonstruksi oleh Garin Nugroho
sendiri—melalui tokoh Pak Besut—sehingga apa yang bersifat “film” (fiksi)
menjadi cair, menjadi sesuatu yang hadir langsung di depan mata penonton (baca:
orang-orang masa kini) dan menyatu dengan problem-problem mereka. Ini
barangkali salah satu trik mengontemporerkan idealisme Soegija di masa kini.***