Kamis, 29 Januari 2009

Nubuat "Helter Skelter" Charles Manson, Barack Obama, dan Indonesia

Setelah Barack Obama diambil sumpahnya pada 20 Januari 2009 yang lalu – dan sumpahnya diulangi karena ada kesalahan “kecil” pada keesokan harinya – Amerika Serikat secara resmi membuka lembar sejarah baru: memiliki presiden keturunan Afro-Amerika yang pertama.

Sebagai orang luar, kita mungkin tidak begitu mampu menyelami perasaan atau emosi campur-aduk yang sudah pasti dialami oleh banyak warga negara Paman Sam tersebut. Bayangkan, salah satu negara yang cukup “rasis” di dunia, ternyata terbukti dapat melampaui penghalang atau batu sandungan yang selama ini menghantui kehidupan bermasyarakat di sana: warna kulit. Rasisme berdasarkan warna kulit memang hanya merupakan salah satu bentuk rasisme – juga termasuk salah satu saja di Amerika – di samping hal-hal lain. Namun, rasisme jenis ini terbukti yang sukar punah dan “paling betah” bercokol di dalam benak manusia, entah di Amerika Serikat maupun bukan.

Gerakan Ku Klux Klan adalah salah satu bentuk kelompok atau kegiatan rasis yang cukup lama bertahan dan juga cukup terkenal di Amerika Serikat. Di samping gerakan tersebut, masih banyak gerakan-gerakan yang lain. (Bagi yang ingin mengetahui lebih jauh tentang rasisme di Amerika Serikat, klik di sini



Semua gerakan tersebut – walaupun dapat dikategorikan sebagai “anti-kulit hitam” – memiliki latar belakang ideologi yang cukup beragam: dari yang hanya sekadar anti-kulit hitam sampai yang “meramalkan” kebangkitan kaum kulit hitam.

Ketika Obama selesai membacakan sumpahnya, saya teringat dengan salah satu film yang pernah saya tonton beberapa tahun sebelumnya: “Helter Skelter” (2004). Film ini dibuat berdasarkan suatu buku yang ditulis oleh Vincent Bugliosi, seorang jaksa. Bugliosi adalah jaksa yang mengajukan kasus yang sangat terkenal. Kasus Helter Skelter, atau Kasus Pembunuhan Tate-LaBianca, atau Kasus Charles Manson



Charles Manson barangkali seorang psikopat. Ia banyak mengambil bahan-bahan bagi “nubuat gila”-nya dari lagu-lagu the Beatles dan Alkitab. Dari judul lagu Beatles yang terkenal, “Helter Skelter” (album White Album), dan digabungkan dari berbagai ayat dalam Alkitab (terutama Kitab Wahyu), Manson meramalkan kedatangan suatu perang antar-ras, ras kulit hitam dan ras kulit putih. (Bagi yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai “nubuat Helter Skelter”, silakan klik di sini



Manson menyuruh para pengikutnya untuk membunuh Sharon Tate (yang sedang mengandung) beserta seisi rumahnya dan juga membunuh pasangan LaBianca – semuanya berdasarkan suatu nubuat: nubuat Helter Skelter. Garis besar nubuat yang dilihat oleh Charles Manson adalah sekitar kebangkitan ras kulit hitam di atas kulit putih. Kulit hitam akan menjadi kekuatan yang menindas kulit putih. Pembunuhan yang mereka lakukan menjadi semacam suatu “pertanda” bahwa perang antar-ras tersebut akan dimulai (atau lebih tepat: pembunuhan itulah yang memicu perang tersebut).

Bugliosi awalnya kesulitan mencari motif Charles Manson dan kawan-kawannya. Berdasarkan temuan polisi, sama sekali sulit untuk menentukan siapa yang menjadi dalang pembunuhan Sharon Tate dan pasangan LaBianca. Khusus untuk kasus Sharon Tate, polisi sempat mencurigai seorang centeng rumah Tate dan juga akhirnya sempat mencurigai Roman Polanski, suami Sharon sendiri.



Namun, dari hasil “pengakuan” salah seorang mantan pengikut Manson, Bugliosi baru tahu bahwa Manson – di samping sebagai seorang pemimpin kelompok hippies – juga berperan sebagai seorang “nabi” bagi kelompok tersebut. Sebagai “nabi”, ia banyak mencomot dan menafsirkan lirik lagu Beatles dan ayat-ayat Alkitab (terutama Kitab Wahyu). Hasil comotan dan tafsiran tersebut berujung pada nubuat perang antar-ras tadi. Dari situlah, Bugliosi memperoleh motif — jika tidak, Bugliosi sama sekali tidak punya kasus apa-apa. (Bagi yang ingin mengetahui Charles Manson dan kasus pembunuhan Tate-LaBianca, silakan klik di sini



Itu terjadi pada tahun 1969. Bagaimana sekarang? Entah apa komentar Manson ketika memandang seorang presiden “kulit hitam” yang kini “menduduki” White House. Apakah Barack Obama merepresentasikan suatu supremasi kulit hitam terhadap kulit putih? Barangkali, dalam pikiran Manson, memang demikian. Tidak masuk akal bagi orang seperti Manson bahwa ada seorang kulit hitam bisa menjadi presiden dari sebuah negara yang mayoritas penduduknya kulit putih – seperti Amerika Serikat.

Manson boleh berpendapat bahwa nubuat “Helter Skelter”-nya sudah atau hampir digenapi. Itu Charles Manson, seorang yang mungkin agak psikopat. Namun, bagaimana dengan kita yang “lebih normal” daripada Manson? Apakah kita punya fobia semacam itu atau malah mengidap psikopat yang sama? Kalau iya, berarti kita boleh menjadi pengikut Charles Manson (hehehehe….).

Tapi, tidak. Saya berharap, kita tidak rasis, tidak juga psikopat atau menderita sejenis fobia tertentu. Jadi, satu-satunya ketidaksukaan atau ketidaksetujuan yang masuk akal terhadap terpilihnya Barack Obama adalah ketidaksetujuan berdasarkan “alasan politis” tertentu, seperti misalnya: Obama ternyata pro-choice (bahkan mungkin pro-abortionist). Untuk bagian ini, saya benar-benar kontra-Obama. Tapi, ini sebatas alasan politis atau moral yang konkret, bukan warna kulit atau hal lainnya yang tidak relevan.

Lalu, bagaimana di Indonesia? Apakah orang Indonesia menderita semacam rasisme atau fobia tertentu – katakanlah terhadap salah satu ras/suku tertentu? Tentu, sangat disayangkan memang. Sama seperti Manson – semoga tidak separah dia – sikap rasis atau fobia semacam itu memang tampaknya sangat masuk akal, yaitu sejenis akal yang menciptakan tembok-tembok yang menutupi seseorang dari dunia luar. Di dalam tembok – di dalam dunia bentukannya sendiri itu – semuanya tampak masuk akal. Kebencian atau ketidaksukaan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) menjadi sesuatu yang sangat rasional dan justru mutlak diperlukan. Diperlukan? Ya, diperlukan untuk memapankan dunia fiktif hasil ciptaannya sendiri. Orang semacam ini bukannya tidak mau “sembuh”. Problem mereka adalah bahwa mereka tidak tahu bahwa mereka sebenarnya sedang “sakit”.

Tidak heran jika Manson dan para pengikutnya yang ditahan atas kasus pembunuhan Tate-LaBianca tersebut beberapa kali mengalami penolakan atas permohonan pembebasan bersyarat. Barangkali, mereka yang menolak berpendapat: orang seperti mereka tidak mungkin sembuh, karena toh nyatanya mereka sendiri tidak merasa sakit.

Suara pukulan gendang yang meramaikan Tahun Baru Imlek kemarin membuat kita sadar bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya tidak serasis seperti golongan Ku Klux Klan atau sefobia seperti Charles Manson. Masyarakat Indonesia – syukurlah – sudah agak terbiasa dengan fenomena perbedaan dan relasi antar-suku, ras, dan agama. Ini cukup melegakan.

Namun begitu, isu-isu sensitif terkait pemilihan umum sering mengemuka. Dulu, menjelang pemilu demokratis pertama pasca-tumbangnya Orde Baru – yaitu pemilu tahun 1999 – isu SARA dan gender sempat merebak terkait dengan munculnya salah satu partai dan calon presiden dari partai tersebut. Walaupun mereka yang menyebarkan kebencian terkait SARA dan gender tersebut belum termasuk dalam kalangan “Mansonmaniac” – apalasi sampai melahirkan “nubuat Helter Skelter” – namun tak ayal, hal itu membuat kita sedikit tersadar bahwa masyarakat di sini masih sensitif dengan hal-hal tersebut. Rasisme atas nama SARA dan gender masih seperti “bara dalam sekam”, yang sewaktu-waktu dalam melumat dan membakar struktur sosial yang sudah bagus dibangun oleh para pendiri republik ini. Begitu juga dengan kasus-kasus pembakaran tempat ibadah dan konflik horisontal di berbagai daerah seperti Maluku, Kalimantan, dan sebagainya.

Kita sadar bahwa tidak semua anggota masyarakat Indonesia seterbuka dan setoleran seperti warga kulit putih yang dengan rela dan sadar memilih Barack Obama sebagai pemimpin mereka. Mungkin, untuk mencapai masyarakat yang 100% toleran, kita masih membutuhkan banyak waktu. Dan untuk itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Namun, sambil mengerjakan pekerjaan rumah, tentu kita tidak dilarang untuk mendengarkan lagu “Helter Skelter” dari The Beatles:

When I get to the bottom I go back to the top of the slide

Where I stop and I turn and I go for a ride

Till I get to the bottom and I see you again.



Do you, don't you want me to love you

I'm coming down fast but I'm miles above you

Tell me tell me tell me come on tell me the answer

You may be a lover but you ain't no dancer.



Helter skelter helter skelter

Helter skelter.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalau dari uraian Mas Eko, film Helter Skelter bagus tuh. Saya akan berusaha menontonnya karena tertarik dengan "nabi" yang menafsirkan Kitab Wahyu.