Rabu, 04 September 2013

“Neraka di Normandia” untuk Orang Berkebutuhan Khusus di Era Sibuk

Neraka di Normandia




Judul: Neraka di Normandia
Penulis: Nino Oktorino
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun: 2013
Tebal: 188 halaman
Ukuran: 14 x 21 cm

Mengenai buku sejarah, ada orang berkata: “Semakin tipis bukunya, semakin besar bohongnya.” Mungkin ini cuma gurauan yang tidak berdasar dari orang yang kerap membanggakan ketebalan buku—atau dalam konteks lain: kemegahan performa atau penampilan—sebagai standar kebenaran dan kelengkapan. Banyak buku sejarah yang tidak terlalu tebal dalam ukuran yang umum (kurang lebih sekitar 200 halaman), tetapi sangat memadai sebagai sumber informasi—tentu di luar faktor keakuratan yang mungkin hanya bisa dinilai oleh para ahli.
                Banyak buku sejarah yang masuk dalam golongan itu. Salah satunya adalah buku ini. Berbeda dengan buku Stephen E. Ambrose yang tebal itu (D-Day—6 Juni 1944, Puncak Pertempuran PD II), buku ini memilih pendekatan yang fragmentaris dan episodik dalam pengisahan salah satu momen penting dalam sejarah Perang Dunia Ke-2: pendaratan dan penyerbuan pasukan Sekutu di Normandia, Prancis.
                Sebagai seorang ahli  dan direktur The National D-Day Museum di New Orleans, Ambrose secara luar biasa  berupaya menghadirkan sedetail mungkin peristiwa itu, sehingga pembaca seolah-olah dapat mencium bau mesiu yang memancar keluar dari senapan para serdadu Sekutu. Seperti suatu acara reality show yang dibukukan, Ambrose memaparkan kengerian peristiwa itu di hadapan mata pembaca. Jelas, pendekatan itu sangat penting dan mengagumkan, walaupun pembaca “sambil lalu” sering cepat-cepat melewatkan uraian seperti di dalam buku itu.
                Beberapa pembaca “sambil lalu” seperti itu mungkin bukannya tidak suka sejarah perang dunia, melainkan hanyalah seseorang yang berkebutuhan khusus: ia sedang mencari tahu suatu hal—atau mungkin beberapa hal—dari peristiwa itu. Untuk pembaca berkebutuhan khusus ini, untungnya ada trilogi karya P.K. Ojong, Perang Eropa, yang salah satunya (Perang Eropa III) mengupas secara khusus peristiwa Normandia tersebut. Ojong bahkan secara genial meringkaskan momen-momen di sekitar Normandia dan Prancis hanya dalam separuh buku saja (sekitar 10 bab, dari 21 bab). Ia melanjutkannya dengan gerakan ofensif pasukan Sekutu sampai ke wilayah Jerman dan berpuncak pada momen kejatuhan Berlin dan Kapitulasi Jerman Nazi dalam bab terakhir.
                Namun, ada pula pembaca “sambil lalu” jenis lain. Metode kronologis seperti Ambrose dan Ojong mungkin memuaskan dari sisi kelengkapan cerita dan suasana (Ambrose) atau poin-poin penting (Ojong). Bagaimana jika ia mencari sesuatu di balik cerita dan tonggak-tonggak penting dari peristiwa ini? Atau mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang lain? Atau mungkin ia lebih berfokus pada satu episode pendek dari peristiwa itu?
                Buku “Neraka di Normandia” ini peka terhadap pembaca “berkebutuhan khusus” seperti itu. Secara ringkas dan padat, buku ini berfokus pada peristiwa invasi sekutu di Normandia sampai pasukan Nazi Jerman keluar dari Prancis. Secara jitu dan cerdik pula, penulis mengupas beberapa “momen di balik layar” dalam peristiwa Normandia. Selain itu, buku yang tergolong dalam seri “Konflik Bersejarah” ini menyuguhkan peristiwa itu dari sudut pandang atau kacamata Nazi Jerman.
                Barangkali, cara penulis mengambil sudut pandang yang tersaji dalam buku ini adalah gambaran dari pergeseran selera banyak orang dalam mengikuti terjangan dari banjir informasi pada era digital yang serbasibuk ini. Di tengah situasi seperti ini, rasa ingin tahu sering berfokus pada sesuatu yang unik dan tidak lazim atau yang sudah diketahui oleh banyak orang.  Barangkali, begitulah minat kita terhadap buku sering diarahkan. Buku-buku tebal dan detail kerap tidak tuntas dibaca. Buku-buku praktis yang informasinya ringkas dan padat sering lebih bermanfaat. Penulis “Neraka di Normandia” tampaknya paham situasi psikologis banyak orang dewasa ini. Pembaca bisa mencari informasi detail tentang peristiwa Normandia dari buku karya Ambrose dan Ojong.
                Buku ini justru menyajikan penjelasan bagi para pembaca “sambil lalu” yang mungkin sudah sering mendengar peristiwa Normandia tetapi justru bertanya: Mengapa benteng pertahanan Jerman di Normandia mudah ditembus? Mengapa barisan pertahanan Jerman seolah-olah lambat bereaksi? Di dalam buku yang tidak setebal buku Ojong atau Ambrose ini, pembaca diajak masuk ke dalam intrik-intrik rahasia kubu Nazi Jerman di seputar peristiwa Normandia—sebelum dan sesudahnya, sampai saat mereka mundur dari Prancis.
                Dengan dihiasi oleh foto-foto ilustrasi yang menarik—beberapa cukup unik—buku ini secara kronologis membagi episode penyerangan Sekutu di Prancis ke dalam 5 bab. Bab pertama berisi berbagai peristiwa dan spekulasi di kubu Jerman menjelang invansi. Ancaman invasi pihak Sekutu bukan hal yang baru bagi Jerman. Setelah keluar dari Dunkirk pada tahun 1940, berkali-kali Inggris atau bersama dengan sekutu-sekutunya berjanji untuk menyerang barisan pertahanan Jerman (terutama di Prancis dan front Barat lainnya). Bab ini membeberkan bagaimana sebenarnya pihak Jerman sudah “menunggu-nunggu” serangan balasan itu, termasuk pada tahun 1944 itu.
                Reaksi para petinggi militer Jerman terhadap berbagai ancaman Sekutu tersebut—serta pertentangan di antara mereka mengenai solusi atas ancaman tersebut—diuraikan lengkap dalam buku ini. Buku ini memperlihatkan bagaimana Erwin Rommel di satu pihak, Gerd von Rundstedt, Heinz Guderian, dan Geyr von Schewppenburg di pihak lain—semuanya adalah para petinggi militer Jerman—serta Adolf Hitler sendiri di pihak yang berbeda pula, memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam mempertahankan front Barat (terutama Prancis).  Hitler, yang mencoba menghindari para perwiranya saling sikut—membuat keputusan yang kelihatannya “adil” tetapi justru fatal. Keputusan fatal itu, ditambah kehebatan Sekutu dalam merencanakan penyerbuan—termasuk kecerdikan satuan intelijen mereka dan kesembronoan para petinggi militer Jerman yang tidak mendengarkan laporan intelijen mereka sendiri dalam membaca tanda-tanda adanya serangan—menjadi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan invansi Sekutu di Normandia.
                Bab 2 membentangkan bagaimana reaksi lambat pihak Nazi Jerman dalam membaca adanya tanda-tanda invansi (tanggal 5 Juni malam), saat-saat invansi, sampai pada akhir hari pertama invansi (6 Juni malam). Walaupun serangan ini sangat cepat dan tak terduga, pasukan Sekutu tidak mampu segera memukul mundur barisan pertahanan Jerman di berbagai pos pertahanan. Para petinggi militer Jeman memang bingung dengan berbagai informasi yang tidak jelas dari barisan depan—sesuatu yang memang menguntungkan pihak Sekutu. Namun, para serdadu Jerman di lapangan bertempur dengan gagah berani. Figur-figur kunci dari barisan pertahanan Jerman—baik di markas OB wilayah Barat [Paris], di markas pusat, maupun di lapangan—diulas dalam bab ini. Baik aksi dan pikiran mereka dipaparkan secara menarik dan hidup di sini.
                Praktis, reaksi “normal” pihak Nazi Jerman baru muncul satu hari setelah D-Day, yaitu keesokan harinya pada tanggal 7 Juni. Walaupun sepertinya sudah kehilangan momen, Nazi Jerman berhasil “memperlambat” invansi sampai sekitar satu bulan sesudahnya—tentu dengan pengorbanan yang banyak dan akhirnya suatu kekalahan yang memalukan. Pada Bab 3, terurai bagaimana Marsekal Rommel mulai berupaya mengambil peran yang dulu pernah melahirkan sebutan “Rubah Gurun” bagi dirinya: ia mencoba mengumpulkan pasukan dari unit-unit tersisa—terutama divisi-divisi panser—untuk menutup serangan Sekutu, terutama pasukan Amerika yang berniat merebut pelabuhan Cherbourg di utara, sementara pasukan Inggris yang mau menduduki Caen di tenggara Normandia.
                Upaya Rommel dan berbagai komandan di lapangan seolah-olah berhasil menggagalkan invansi Sekutu. Namun, keterlambatan reaksi pada hari pertama menubuatkan malapetaka selanjutnya. Pasukan Sekutu memang tidak mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan serdadu Jerman yang gigih dan ganas di lapangan—sehingga jadwal atau waktu yang ditargetkan dalam merebut tempat-tempat tertentu menjadi mulur. Toh, pihak Jerman pun mengalami “pengeroposan” dari dalam tubuhnya sendiri. Ini berpuncak pada upaya pembunuhan terhadap Adolf Hitler pada bulan Juli yang dilakukan oleh suatu konspirasi di antara beberapa perwira militer dan berbagai tokoh sipil. Bab ini membeberkan bagaimana para konspirator sempat berhasil mengelabui para komandan di lapangan sehingga mengira bahwa Der Fuhrer memang benar-benar telah tewas—suatu kesalahan fatal.
                Usaha kudeta 20 Juli yang gagal itu sebenarnya tidak memberikan banyak kontribusi bagi pergerakan pasukan Sekutu di lapangan—hanya barangkali munculnya ketegangan dalam hubungan di antara sesama prajurit Jerman. Buku ini menyimpulkan bahwa “pada awal Agustus 1944, tentara Jerman berada di tepi kehancuran karena kekalahannya di medan perang maupun strategi tidak waras Hitler, bukan karena pengkhianatan dari dalam” (hlm. 120).  Begitulah. Kegagahberanian para serdadu Jerman di lapangan tidak disertai oleh strategi yang matang dan cepat di tingkat atas. Dalam Bab 4, tampak terlihat bagaimana memasuki bulan Agustus pihak Jerman praktis tinggal bertahan. Memang, pasukan Sekutu masih jauh dari menang, karena sebagian besar Prancis masih dikangkangi Jerman. Namun, baik Sekutu maupun pihak Jerman sudah tahu bahwa mereka hanya menunggu waktu saja. Pihak sekutu sudah bisa mempersiapkan kuda-kuda yang lebih baik, sementara Jerman seperti kehabisan waktu dan semangat. Saat pasukan Jerman “terkepung” di daerah yang nanti akan dikenal sebagai “Kantong Falaise” (16 Agustus), tampaknya akhir perang di Prancis sudah di ambang mata. Kantong ini menyerupai tapal kuda dengan panjang sekitar 64 kilometer dan lebar 21 kilometer—pasukan Inggris di sebelah utara, sementara pasukan Amerika di sebelah selatan. Selama sekitar 5 hari, sampai 21 Agustus, kedua pihak bertempur di sana. Sekutu mencatat sekitar 50 ribu prajurit Jerman tertawan, sementara 10 ribu yang lain tewas di dalam “kantong” tersebut. Tanggal 27 Agustus, Jerman berhasil menyeberangkan banyak prajurinya ke tepi sungai Seine.
                Saat pertempuran di kantong Falaise berkobar, pihak Sekutu melancarkan operansi Anvil untuk membebaskan wilayah-wilayah lain di Prancis. Ini menjadi ulasan utama Bab 5. Operasi ini pun berhasil membebaskan satu demi satu wilayah Prancis, seperti Toulon dan Marseille, serta wilayah selatan dan barat daya Prancis lainnya—di pesisir Teluk Biskaya. Paris pun akhirnya jatuh setelah Mayor Jenderal Dietrich von Choltitz, komandan pasukan Jerman di kota itu, menandatangani penyerahan pasukan Jerman pada pukul 3 siang, 25 Agustus 1944. Ini sekaligus merupakan langkah nekat setelah ia sempat menolak perintah Hitler untuk membumihanguskan kota tersebut. Dengan begitu, sejak akhir Agustus, pasukan Sekutu sedikit demi sedikit menyapu semua kekuatan Jerman di bumi Prancis. Marsekal Model, sebagai panglima Front Wilayah Barat, mengirimkan pesan kepada Hitler untuk meminta izin menarik pasukan mundur ke garis pertahanan yang lebih kokoh di Dinding Barat (yang sebelumnya dikenal sebagai Garis Siegfried), yaitu garis pertahanan Jerman sebelum perang. Siap dimaki-maki, usulan Model ini justru dikabulkan Hitler. Dengan demikian, pasukan Nazi Jerman secara resmi mundur dari Prancis. Saat Brussels jatuh ke tangan Sekutu pada 3 September, babak pertarungan baru akan dimulai di wilayah baru, di luar Prancis.
                Mungkin, satu hal yang perlu ditambahkan dalam buku ini adalah peta-peta konkret dari setiap perkembangan atau perubahan posisi pasukan Sekutu dan/atau Jerman. Para pembaca yang selalu diburu-buru waktu ingin segera tahu bagaimana posisi terakhir pasukan Sekutu dan Jerman dalam setiap momen. Memang penulis sempat memberikan peta penempatan pasukan Jerman di Prancis, terutama Normandia, dan sekitarnya (halaman 40) serta posisi-posisi penyerbuan atau titik-titik masuk pasukan Sekutu (Amerika, Inggris, dan Kanada) di pantai Normandia (halaman 57). Namun, bagaimana pergerakan pasukan Sekutu yang akhirnya menusuk ke sekitar Paris serta bagaimana gerakan mundur pihak Nazi Jerman, kurang disertai oleh peta yang memadai.
                Akibatnya, kita hanya bisa menebak-nebak bagaimana sebenarnya rupa “kantong Falaise” yang terkenal itu—terutama bagaimana sebenarnya posisi pasukan Sekutu membuat “jepitan” atau “potongan” yang mencekik para serdadu Hitler tersebut. Bagi yang awam dengan wilayah Prancis—kebanyakan orang masuk dalam kategori ini—peta-peta itu sangat penting untuk mengonkretkan imajinasi kualitatif yang mereka peroleh dari pembacaan teks-teks. Katakanlah, itu semacam visualiasi kuantitatif tentang seberapa banyak pasukan Sekutu mencaplok wilayah yang sebelumnya dikuasai Nazi Jerman dan seberapa banyak pihak yang terakhir ini semakin terjepit dan akhirnya seolah-olah lari tunggang-langgang.
                Namun, ketiadaan peta-peta semacam itu tidak mengurangi penggambaran bagaimana trengginasnya para prajurit Sekutu dalam mengusir Nazi Jerman dari bumi Prancis.  Dalam lima bab ringkas-padat, kegelisahan hati kita terkait impotensi mesin perang Jerman bisa terjawab tuntas. Berbagai figur dari barisan pertahanan Jerman—beserta foto dan penjelasan aksi mereka—menjadi kekuatan tersendiri buku ini yang bisa kita nikmati. Akhirnya, setelah mundur dari Prancis, balaperang Nazi Jerman seolah-olah “dibiarkan” pihak Sekutu untuk mengumpulkan tenaga serta mengatur strategi dalam perang selanjutnya. Babak berikut setelah “Neraka di Normandia” pun dipersiapkan. Namun, itu masih menunggu buku yang lain, barangkali.***

Selasa, 12 Juni 2012

Soegija: Garin Nurgroho Tidak Bernarasi tapi Berpuisi (Suatu Apologi)




Anatomi Kekecewaan
Beberapa teman mengungkapkan rasa kecewa setelah menonton “Soegija”. Saya awalnya termasuk dalam barisan kecewa juga, tetapi mencoba mengendapkan lagi apa yang saya tonton. Saya mencoba menangkap getar-getar kreatif yang dimunculkan film itu. Namun, izinkan saya membuat anatomi kekecewaan umum yang muncul setelah menonton film itu.

Kekecewaan pertama adalah terkait dengan fakta bahwa film ini ternyata bukan film biografis. Kebanyakan orang “tertipu” di bagian ini. Mereka mengira akan disuguhi oleh suatu biografi yang kurang lebih lengkap atau utuh dari Monsiyur Soegijapranata, dengan kisah yang berfokus pada kehidupan beliau. Kekecewaan kedua adalah bahwa film ini bukan film “agama Katolik”. Bagi yang datang ke bioskop dan mengira bahwa mereka akan disuguhi tontonan yang bersifat Katolik tentu kecewa besar. Film ini rupanya menyisakan sedikit hal-hal yang berbau Katolik. Itu pun dalam bentuk yang subtil dan “simbolik”.

Saya akan berangkat dari dua “kekecewaan” di atas dengan membahas beberapa “keluhan” atas hal-hal lain yang menurut saya “cukup objektif”, yaitu “konsistensi penceritaan yang lemah” dan “beberapa hal yang kurang akurat”. Misalnya, bagaimana Mariyem yang awalnya tidak suka pada Hendrick tiba-tiba berboncengan motor dengan mesra. Juga, bagaimana ibunda Ling Ling (Olga) tiba-tiba muncul di dalam gereja. Di beberapa situs Katolik, saya membaca kritik bahwa pakaian uskup yang digunakan juga tidak kontekstual (begitu juga beberapa hal lain)—saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Belum lagi, penilaian—yang mungkin objektif atau tidak—bahwa akting para bintang dalam film ini tidak memuaskan. Beberapa orang menilai, justru akting para bintang Belanda (Wouter Zweers dan Wouter Braaf) lebih bagus ketimbang, misalnya, akting Olga Lidya.

Tulisan ini mencoba mengupas dua “kekecewaan” besar di atas dengan sedikit-sedikit “keluhan” yang lain.

Soegija: Cara Garin Berpuisi dengan Gambar dan Monolog
Ketika film ini akhirnya “jatuh” ke tangan Garin Nugroho, kita semua tahu betapa “bahaya” yang menghadang para penonton. Reputasi Garin sebagai pembuat film “esoterik” cukup tersebar di mana-mana. Masih membekas dalam benak banyak orang, karya-karya semisal “Opera Jawa”, “Daun di Atas Bantal”, “Bulan Tertusuk Ilalang”, dan “Mata Tertutup”. Orang merasa, jika menonton film besutan Garin Nugroho seperti masuk ke dunia lain.

Mengapa Puskat Pictures sebagai produsen “Soegija” sampai memilih Garin? Tampaknya pemilihan ini memang sangat disengaja. Para produsen—atau siapa pun yang berada di balik gagasan pembuatan film ini—tampaknya menginginkan sesuatu yang berbeda, dan terutama sesuatu yang tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Katolik saja.

Idealisme mereka tampaknya bak gayung bersambut dengan Garin Nugroho yang baru selesai dengan proyek film “Mata Tertutup” (2011) yang juga sangat idealis itu—setidaknya menurut saya. Benturan yang kreatif ini tampaknya berbuah pada suatu tekad bahwa film tentang Albertus Soegijapranata itu tidak akan mereproduksi kehidupan uskup pribumi pertama di Indonesia itu mentah-mentah, tetapi mengolahnya secara kreatif dan kontekstual. Atau karena sutradaranya Garin, film ini akan bersifat film “ala Garin Nugroho”. Begitulah.

Entah bagaimana benturan kreatif itu berproses, tampaknya gagasan pokok yang mencuat adalah: film itu akan berfokus pada idealisme Soegija, bukan pada sosok historisnya belaka. Sosok historis tetap muncul, tetapi hanya sekelebatan. Lebih jauh, idealisme Soegija ditarik sampai batas-batasnya yang paling ekstrem: idealisme yang mengkritik kekinian Indonesia. Melihat proses benturan kreatif itu, tidak heran kalau Garin Nugroho justru menjadi orang yang tepat mengolahnya. Saya bahkan melihat “kemiripan” kemasan—cuma mirip, memang—antara “Soegija” dan “Mata Tertutup”.

Kini, apa yang kita lihat di layar bioskop kemarin? Apa yang kita lihat adalah bagaimana Garin Nugroho tengah berpuisi, tepatnya puisi tentang idealisme Soegija dalam bentuk visual. Berbeda dengan film sejarah lain, seperti “Gie” (2005) atau bahkan “Tjoet Nya’ Dhien” (1988), “Soegija” garapan Garin tidak berangkat dari asumsi bahwa tokoh atau peristiwa historis yang hendak “difilmkan” akan muncul secara linear dengan detail yang tegas. Tidak.

“Soegija” tidak muncul sebagai narasi yang utuh sebagaimana layaknya film sejarah. “Soegija” muncul sebagai puisi dengan alat utamanya berupa gambar visual dan dialog-dialog pendek. Tidak heran, ada beberapa gambar dalam “Soegija” yang muncul secara “mewah” atau bahkan “berlebihan”. Ini misalnya adegan orang-orang yang jatuh tumbang dimangsa peluru. Begitu juga dengan gambar-gambar lain. Sementara itu, dialog-dialog pendek muncul secara “tidak wajar”. Dialog-dialog itu lebih mirip dengan monolog. Monolog-monolog itu mencuatkan satire, karikatur, bahkan yel-yel para demonstran. Tidak heran, film ini meninggalkan banyak kutipan yang memorable, seperti: “Di rumah sakit ini, semua adalah pasien”, “Kalau jadi politikus, jangan haus kekuasaan. Kalau tidak, nanti jadi benalunya negara”, “Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan”, dan masih banyak lagi. Ciri khas dari monolog dalam “Soegija” itu adalah: walaupun ia ada dalam konteks dialog, misalnya menjawab atau bertanya pada karakter lain dalam film, jawaban atau pertanyaan itu tidak terkait dengan pertanyaan karakter lain tersebut—atau tidak menuntut jawaban konkret karakter lain. Misalnya, jawaban Mariyem pada Robert di rumah sakit: “Di sini aku Maria, aku adalah ibu dari semua pasien di sini”. Jawaban ini seolah-olah ditujukan untuk penonton, bukan pada Robert. Dan pola yang sama hampir memenuhi semua “dialog” dalam film, misalnya antara Soegija dan koster Toegimin (diperankan Butet Kartaredjasa).

Baik gambar maupun monolog-monolog itu menjadi senjata utama dalam puisi Garin Nugroho yang berjudul “Soegija”. Garin secara bebas menghadirkan idealisme Soegijapranata untuk, misalnya—dan terutama—menegur situasi masa sekarang. Gambar dan monolog-monolog itu seperti mantra-mantra yang diulang-ulang, ditekankan sedemikian rupa, seperti kata-kata—atau suku-suku kata—dalam syair-syair Sutardji Calzoum Bachri. Dalam syair-syair Sutardji, kata-kata adalah mantra—orang boleh tidak peduli dengan narasi atau kisah yang ada di dalamnya, karena misi Sutardji adalah membebaskan kata—“kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra,” begitu biasanya orang berkomentar mengenai fungsi “kata” dalam syair-syair Sutardji.

Inilah sebabnya mengapa “Soegija” bukan film biografi, juga bukan merupakan film sejarah seperti pada umumnya: puisi Garin sama sekali tidak mementingkan narasi. Ada memang semacam narasi, seperti narasi Mariyem, narasi Ling Ling, narasi Hendrick, narasi Robert, narasi Suzuki. Tapi narasi-narasi itu pun muncul ibarat penggalan-penggalan puisi yang mengumbar gambar dan monolog. Tidak heran, karakterisasi atau plot dari beberapa “narasi” tidak berkembang—atau setidaknya membingungkan, misalnya mengapa Mariyem akhirnya mau dibonceng Hendrick, atau ke mana saja ibunda Ling Ling dibawa tentara Jepang dan lalu mengapa ia muncul mendadak di dalam gereja. Sebagai puisi, pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada konsistensi narasi benar-benar tidak berguna. Apa yang penting dalam setiap narasi—atau lebih tepat penggalan puisi—itu adalah gambar dan monolog yang muncul.

Jalinan kisah atau para tokoh dalam “Soegija” lebih merupakan puisi-puisi visual yang disatukan dengan benang merah yang bernama Soegijapranata, atau lebih tepatnya: idealisme tokoh Soegijapranata. Ibarat menikmati syair-syair gila karya Sutardji Calzoum Bachri, kita seharusnya tidak mencari apa yang ada di balik “kata”—atau gambar dan monolog dalam film ini—tetapi justru menyusuri gambar demi gambar, monolog demi monolog, yaitu “kata-kata” visual dalam film ini. Ibarat

Puisi Garin, Harapan Penonton, dan “Genre Baru”
Tentu tidak mudah bagi orang menikmati puisi visual ala Garin seperti itu. Saya pun tidak. Masih ada rasa kosong, suwung atau ngelangut setelah keluar dari bioskop. Kesan yang langsung muncul adalah film “Soegija” adalah suatu kritik atas masa kini kita, bukan film tentang masa lalu kita. Ada perasaan tertipu, ada perasaan “lho kok gitu, yah”, dan terutama ada perasaan yang membuat kepala pusing karena sibuk berpikir. Mungkin harapan penonton terlalu besar ketika menonton film ini. Mereka mau mencari semacam “biografi visual” dari seorang Soegijapranata. Apa yang didapatkan mereka ternyata suatu kolase puisi yang subtil, ibarat mendengar syair-syair gila karya Sutardji Calzoum Bachri.

“Soegija” sebenarnya tontonan yang berat. Untuk bagian ini, saya merasa tertipu. Namun, saya merasakan juga pembebasan setelah menonton film ini. Seorang uskup pribumi pertama di Indonesia ternyata memiliki gagasan yang melampaui masa hidupnya. Anehnya, hal ini justru berhasil disampaikan melalui “film ala Garin Nugroho”. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana idealisme Soegijapranata bisa dipakai mengkritik politisi masa kini—supaya tidak menjadi “benalu negara”, begitu salah satu “monolog” dalam film itu—jika hanya difilmkan sebagai film sejarah biasa. Puisi Garin memang agak mengecewakan jika dilihat dari standar film sejarah yang umum dan lazim, tetapi justru menenteramkan hati karena ternyata idealisme masa lalu dekat pula dengan persoalan-persoalan hidup masa kini. Puisi Garin mengajak penonton untuk tidak hanya menengok masa lalu, tetapi justru menantang masa kini mereka.

Hal lain yang bisa dipelajari dari puisi Garin ini adalah kemungkinan untuk lahirnya suatu “genre baru” dalam film-film sejarah kita. Dengan format seperti di atas, “Soegija” tampaknya membentuk semacam pola yang baru dalam film bertema sejarah. Film sejarah yang berpuisi? Entahlah apa namanya. Garin tampaknya sengaja bereksperimen dengan film ini. Ia keluar dari genre film sejarah pada umumnya dengan meninggalkan teknik bernarasi yang umum: tokoh sejarah “dihisap” rohnya dan disalurkan secara bebas, secara puitik. Tokoh sejarah itu tersisa sosoknya secara karikatural, tetapi rohnya membayang di keseluruhan film. Entah apakah penonton yang “tertipu” mau peduli dengan keunikan ini atau tidak. Namun, menurut saya, Garin sebenarnya berhasil memperkaya khazanah film-film sejarah di Indonesia, setidaknya dalam hal kemasan dan teknik bercerita. Ia tidak berfokus pada kelaziman film sejarah yang berfokus pada tokoh dan peristiwa tertentu—tetapi justru berfokus pada gagasan atau ide yang ada di balik tokoh dan peristiwa. Ini monumental.

Epilog: Pak Besut
Sejak awal, ada yang tidak wajar pada karakter Pak Besut. Pernah mendengar istilah “breaking the fourth wall”? Dalam film dan semua karya fiksi, ada aturan bahwa karakter dalam film tidak boleh—dan memang tidak bisa—berbicara pada penonton/pembaca. Atau, bisa juga diartikan: karakter dalam film tidak boleh membahas atau bekomentar tentang film itu sendiri. Itu adalah suatu tabu. Jika ada film yang melakukannya, film itu biasanya film yang bernuansa komedi. Banyak contoh untuk hal ini—dan biasanya memang film komedi/parodi.

Kehadiran Pak Besut—karakter yang katanya penyiar radio—itu masuk dalam kategori ini. Ia berkali-kali muncul dengan corong radionya “menyapa” penonton. Isi ucapannya memang tidak mengomentari isi film—sebagaimana halnya dalam film yang “breaking the fourth wall”—tetapi dengan wajah dan mata yang langsung menatap kamera (baca: menatap penonton), Pak Besut benar-benar “breaking the fourth wall”—apalagi ia adalah seorang penyiar radio, bukan penyiar televisi (jadi buat apa mata dan wajahnya menatap lurus-lurus ke hadapan kamera, seperti reporter TV zaman sekarang?). Ia tampaknya sengaja dihadirkan Garin sebagai narator yang berupaya mempertahankan unsur naratif dalam film dengan menceritakan kejadian-kejadian objektif, sekaligus menegaskan idealisme film: mengkritik masa kini penonton.

Menurut definisinya, “the fourth wall” adalah suatu ciptaan para penulis karya-karya fiksi yang memisahkan antara dunia fiksi yang dibuatnya dengan para pembaca. Jadi, dunia fiksi karya penulis terjamin ke-fiksi-annya. Namun, jika suatu karya yang katanya fiksi melanggar “the fourth wall”, ada dugaan bahwa karyanya memang karya komedi/parodi, atau suatu kesengajaan dari si penulis yang memang mau mendekonstruksi karya fiksinya sendiri. Dalam hal terakhir, dekonstruksi karya fiksi dengan cara melanggar “the fourth wall” berarti mencoba melumerkan dan meleburkan dunia fiksi ke dunia nyata.

Dengan demikian, film “Soegija” didekonstruksi oleh Garin Nugroho sendiri—melalui tokoh Pak Besut—sehingga apa yang bersifat “film” (fiksi) menjadi cair, menjadi sesuatu yang hadir langsung di depan mata penonton (baca: orang-orang masa kini) dan menyatu dengan problem-problem mereka. Ini barangkali salah satu trik mengontemporerkan idealisme Soegija di masa kini.***

Selasa, 10 Maret 2009

Coldplay vs Radiohead—And The Winner is Nobody…(or Dollar?)

Britrock – beberapa menyebutnya britpop – barangkali hanyalah salah satu fenomena dalam dunia musik, entah di Inggris maupun di dunia. Tidak begitu jelas dari mana sebenarnya asal muasal aliran ini. Sama seperti berbagai jenis musik yang lain, aliran ini muncul sebagai akibat pengaruh banyak jenis musik. Britrock mengambil berbagai elemen – terutama dari musik rock – yang banyak mendominasi di Inggris, dari psychelic rock, hard rock, blues, jazz, third wave, bahkan punk. Boleh dibilang, aliran ini merupakan “alternative rock” asli Inggris, berpadanan dengan aliran grunge di Amerika

Sebagai aliran, britrock muncul pada era ketika teknologi komputer sedang naik daun dan kejenuhan atas perang dingin sedang memuncak. Pada waktu itu, katakanlah awal 1990-an, musik di Inggris didominasi oleh semacam ”gerakan retro” yang mencoba menggali tradisi rock asli Inggris ke dalam dapur rekaman. Jika ditanya, mereka sering menyebut nama-nama ”dinosaurus rock” sebagai patron atau kiblat, seperti Pink Floyd, Led Zeppelin, Beatles, Rolling Stones, Cream, King Crimson, Genesis, Yes, U2, dan sebagainya.

Ada beberapa nama band yang patut disebut sebagai pengusung aliran britrock ini, seperti Oasis, Blur, Suede, Travis, dan Radiohead. Menjelang tahun 2000-an, muncul nama seperti Coldplay dan pada masa-masa selanjutnya muncul Muse dan Artic Monkeys.

Apa yang dapat diceritakan mengenai band-band itu? Barangkali ini: ada 2 nama yang ternyata masih “nyangkut” dalam ajang penganugerahan Grammy Award 2009 yang digelar pada 8 Februari 2009 yang lalu. Kedua nama itu adalah Radiohead – yang boleh dibilang sudah out of date dari segi “umur” – dan Coldplay – yang boleh dibilang sedang berada di puncak (atau justru sedang mulai memasuki siklus “menurun”?)

Ada yang sedikit luput dari perhatian peminat music rock umumnya dan musik britrock pada khususnya dari ajang penganugerahan Grammy Award 2009 tersebut. Dua raksasa Inggris tersebut – Coldplay dan Radiohead – sama-sama mendapat nominasi yang cukup banyak berdasarkan penilaian pada album terbaru mereka masing-masing: Viva la Vida or Death and All His Friends (Coldplay) dan In Rainbows (Radiohead). Coldplay mendapat nominasi untuk 7 kategori, sementara Radiohead mendapat nominasi untuk 4 kategori (sebenarnya, 4 kategori tidaklah terlalu banyak. Namun, untuk musisi “tua” sekelas Radiohead, jumlah itu termasuk banyak).

Di luar masalah kategorisasi yang agak rumit – dan sedikit banyak membingungkan orang awam (termasuk saya) – tentunya banyak hal lain yang menjadi pertimbangan. Tentunya, kita bisa bertanya-tanya: mengapa lagu “House of Cards” Radiohead bisa menjadi salah satu nominasi Best Rock Song (bersama dengan “Violet Hill” Coldplay), sementara album yang menjadi “rumah” bagi lagu tersebut – In Rainbows – justru tidak dinominasikan dalam kategori Best Rock Album (tetapi malah dinominasikan dalam Best Alternative Music Album)? Memang, hal-hal macam ini sering menjadi misteri yang hanya diketahui oleh para juri/panitia Grammy dan Tuhan sendiri.

Pada kategori di mana keduanya memperoleh nominasi bersama-sama, siapa yang akan unggul: Coldplay atau Radiohead? Mereka mendapatkan kategori yang sama pada kategori-kategori ini: Album of the Year (album baru dari masing-masing band), Best Rock Performance By A Duo Or Group With Vocals (“Violet Hill” untuk Coldplay dan “House of Cards” untuk Radiohead), dan Best Rock Song (“Violet Hill” untuk Coldplay dan “House of Cards” untuk Radiohead).

Apa kesan yang muncul ketika kita mendengar kedua album tersebut? Kesan pertama: In Rainbows-nya Radiohead memang tetap memperlihatkan watak asli band yang dikomandani Thom Yorke. Konsisten. Begitu lugas, tanpa tedeng aling-aling. Nomor-nomornya tidak begitu berbeda dengan album sebelum ini, “Hail to the Thief” – bahkan menurut saya, In Rainbows lebih depresif dan skizofrenik. Jika Hail to the Thief masih menyimpan nomor “lembut-reflektif” seperti “Sail to the Moon”, album baru ini seolah hampir tidak menyisakan lagi kesempatan para pendengar untuk sedikit mengambil napas.

Viva la Vida memang sangat eksperimental dan inovatif. Chris Martin mencoba beberapa bebunyian baru – termasuk organ gereja dalam nomor “Lost”, nomor yang cukup ngepop dalam album ini. Lirik-liriknya “sangat politis”, yang menyuarakan kejatuhan suatu imperium, kematian, dan bahkan perang. Gitar Jonny Buckland pun sangat menawan. Ia semakin “U2” dalam beberapa nomor – kita sebuat saja: semakin agresif.

Namun, secara keseluruhan, Viva tidak jauh beranjak dari sound yang selama ini dimainkan oleh Coldplay. Bebunyian musik mereka tetap muncul sebagai kombinasi nada-nada segar dan “pop” yang sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh Radiohead. Namun, bagi penikmat musik “rock” pada umumnya, Viva dan album-album Coldplay lainnya tetap merupakan wakil yang cukup representatif dan segar dari musik rock kontemporer.

Zaman sudah berubah. Kita memang tidak dapat lagi menikmati zaman-zaman ketika Led Zeppelin memainkan nomor-nomor indah yang merupakan paduan antara hard rock dan blues yang sangat kental.

Namun, apa yang terjadi pada Grammy Award 2009 kemarin? Siapa yang menang antara Coldplay versus Radiohead? Ternyata, keduanya tidak menang duel di mana mereka bertemu dalam satu kategori. Konyol. Grammy Award untuk kategori di mana mereka saling bertemu justru dimenangkan oleh artis/musisi lain. Tentu saja, mereka mendapat “jatah” Grammy masing-masing, namun tidak dalam kategori di mana mereka saling bertemu (Apakah kita boleh berpikir bahwa ini adalah hasil “ilmu sulap” panitia? Tentu spekulasi semacam itu bukanlah sesuatu yang diharamkan).

Coldplay meraih Grammy untuk 3 kategori: Song of The Year (Viva La Vida), Best Pop Performance by a Duo or Group with Vocals (Viva La Vida), dan Best Rock Album (Viva La Vida or Death and All His Friend). Sementara itu, Radiohead memperoleh 2 Grammy untuk Best Alternative Music Album (In Rainbows) dan Best Boxed Or Special Limited Edition Package (In Rainbows – Grammy ini sebenarnya diperuntukkan untuk para art director album tersebut ketimbang untuk Radiohead sendiri).

Panitia atau para juri Grammy tampaknya lebih merasa aman jika “memenangkan” kedua band di kategori-kategori di mana keduanya tidak berduel. Secara tidak langsung para juri Grammy mengakui bahwa keduanya “juara” di kategori yang berbeda.

Dari “pengakuan” ini – jika memang benar begitu – apakah ini harus ditafsirkan dari sudut yang 100% murni musik atau terkait dengan bisnis? Keduanya tampak sangat masuk akal. Secara musikal, Grammy tetap mengakui bahwa kedua pengusung britrock tetap mempunyai sesuatu – katakanlah kualitas – yang dapat ditawarkan kepada kuping-kuping penikmat musik rock pada umumnya, walau dengan 2 kategori berbeda: “rock murni” (untuk Coldplay) dan “alternative rock” (untuk Radiohead).

Panitia Grammy – boleh dibilang “para dewa” dalam bisnis musik – tidak ingin membunuh selera musik sebagian besar penggemar musik dunia. Ini pun berarti pengakuan bahwa aliran britrock masih kuat bercokol baik dalam bisnis musik maupun di dalam relung-relung telinga para penikmat musik. Britrock masih merupakan magnet atau semacam gaya bermusik bagi musisi-musisi dunia. Sementara itu, katakanlah Amerika, lebih banyak memproduksi musik yang lebih bersifat “trash metal” (entah model Metallica atau yang lain) atau berlabel “hip metal”, “nu metal” “atau juga “nu rock”.

Jika diamati, kedua band memang berhasil menggiring telinga penikmat musik rock. Radiodhead bermain di telinga para penikmat yang lebih menyukai cita rasa rock yang lebih “suram”, “muram”—kalau tak bisa dibilang: “keras”, sementara Coldplay menguasai telinga para penikmat musik rock yang lebih enjoy dengan bebunyian yang lebih soft atau fresh. Namun, “kekerasan” musikalitas Radiohead tidak bertumbuh menjadi semacam “metal” seperti yang dijual oleh band-band Amerika (Limp Bizkit, misalnya). Radiohead lebih dapat dilihat sebagai “Pink Floyd zaman internet”: sesuatu yang lebih enigmatik dan maskulin, tetapi tetap aman dimainkan di kamar-kamar tidur. Sementara itu, Coldplay memenuhi benak orang sebagai band “pop rock pasca perang dingin”. Ia tidak terkesan murahan, tetapi tetap jauh lebih “feminim” ketimbang Radiohead. Ia memainkan sesuatu yang rock, tetapi bukan Pink Floyd, apalagi Led Zeppelin. Ia semacam Beatles – kebetulan personilnya sama-sama berjumlah 4 orang – yang lahir kembali lewat mesin-mesin digital.

Pengakuan dari Grammy pun cukup penting dari segi bisnis. Coba lihat band-band Indonesia seperti Dewa19, Padi, Peterpan, Sheila on 7, Nidji, Ungu, Samsons. Orang lebih mudah mengasosiasikan band-band tersebut dengan semacam “band britrock” ketimbang band metal. Bayangkan jika ikon atau simbol dari band-band tersebut (baca: bisnis musik lokal, seperti di Indonesia) “dimatikan” dengan cara tidak dimenangkan dalam suatu ajang sekelas Grammy, apa yang terjadi? (Ini mungkin berlebihan. Jawabannya: mungkin tidak terjadi apa-apa. Indonesia punya aura, kultur, dan kuping tersendiri, yang berbeda dengan apa yang ada di Inggris dan Amerika).

Itu berarti, musik ala band-band Inggris (alias britrock) masih akan tetap laku diproduksi dan dijual di seluruh dunia (termasuk di Indonesia) karena ada pengakuan bahwa musik semacam itu masih di atas angin; inilah suatu pengakuan yang menggabungkan unsur yang murni musik dan unsur bisnis. Selain itu, kedua album dari dua band tersebut untuk pertama kalinya dirilis di luar label raksasa yang biasa memayungi karya-karya mereka selama ini: EMI. EMI memang raksasa. Kesukseskan mantan “anak asuh” EMI – di luar haribaan pelukan EMI – patut dirayakan oleh “musuh-musuh” mereka di Amerika. Itu adalah hukuman untuk EMI (“kompetitor dari Inggris”). Entah hal yang terakhir ini benar atau tidak.

Barangkali, di balik perang antara Coldplay dan Radiohead, kita juga bisa menyimpulkan bahwa pemenang di antara kedua band tersebut adalah: cita rasa seni yang murni dan tulus serta sedikit cita rasa dollar (?)…***

Daftar Lengkap Pemenang Grammy Award 2009

http://en.wikipedia.org/wiki/51st_Grammy_Awards

http://www.billboard.com/bbcom/news/plant-krauss-coldplay-wayne-score-grammy-1003939582.story

Kamis, 29 Januari 2009

Nubuat "Helter Skelter" Charles Manson, Barack Obama, dan Indonesia

Setelah Barack Obama diambil sumpahnya pada 20 Januari 2009 yang lalu – dan sumpahnya diulangi karena ada kesalahan “kecil” pada keesokan harinya – Amerika Serikat secara resmi membuka lembar sejarah baru: memiliki presiden keturunan Afro-Amerika yang pertama.

Sebagai orang luar, kita mungkin tidak begitu mampu menyelami perasaan atau emosi campur-aduk yang sudah pasti dialami oleh banyak warga negara Paman Sam tersebut. Bayangkan, salah satu negara yang cukup “rasis” di dunia, ternyata terbukti dapat melampaui penghalang atau batu sandungan yang selama ini menghantui kehidupan bermasyarakat di sana: warna kulit. Rasisme berdasarkan warna kulit memang hanya merupakan salah satu bentuk rasisme – juga termasuk salah satu saja di Amerika – di samping hal-hal lain. Namun, rasisme jenis ini terbukti yang sukar punah dan “paling betah” bercokol di dalam benak manusia, entah di Amerika Serikat maupun bukan.

Gerakan Ku Klux Klan adalah salah satu bentuk kelompok atau kegiatan rasis yang cukup lama bertahan dan juga cukup terkenal di Amerika Serikat. Di samping gerakan tersebut, masih banyak gerakan-gerakan yang lain. (Bagi yang ingin mengetahui lebih jauh tentang rasisme di Amerika Serikat, klik di sini



Semua gerakan tersebut – walaupun dapat dikategorikan sebagai “anti-kulit hitam” – memiliki latar belakang ideologi yang cukup beragam: dari yang hanya sekadar anti-kulit hitam sampai yang “meramalkan” kebangkitan kaum kulit hitam.

Ketika Obama selesai membacakan sumpahnya, saya teringat dengan salah satu film yang pernah saya tonton beberapa tahun sebelumnya: “Helter Skelter” (2004). Film ini dibuat berdasarkan suatu buku yang ditulis oleh Vincent Bugliosi, seorang jaksa. Bugliosi adalah jaksa yang mengajukan kasus yang sangat terkenal. Kasus Helter Skelter, atau Kasus Pembunuhan Tate-LaBianca, atau Kasus Charles Manson



Charles Manson barangkali seorang psikopat. Ia banyak mengambil bahan-bahan bagi “nubuat gila”-nya dari lagu-lagu the Beatles dan Alkitab. Dari judul lagu Beatles yang terkenal, “Helter Skelter” (album White Album), dan digabungkan dari berbagai ayat dalam Alkitab (terutama Kitab Wahyu), Manson meramalkan kedatangan suatu perang antar-ras, ras kulit hitam dan ras kulit putih. (Bagi yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai “nubuat Helter Skelter”, silakan klik di sini



Manson menyuruh para pengikutnya untuk membunuh Sharon Tate (yang sedang mengandung) beserta seisi rumahnya dan juga membunuh pasangan LaBianca – semuanya berdasarkan suatu nubuat: nubuat Helter Skelter. Garis besar nubuat yang dilihat oleh Charles Manson adalah sekitar kebangkitan ras kulit hitam di atas kulit putih. Kulit hitam akan menjadi kekuatan yang menindas kulit putih. Pembunuhan yang mereka lakukan menjadi semacam suatu “pertanda” bahwa perang antar-ras tersebut akan dimulai (atau lebih tepat: pembunuhan itulah yang memicu perang tersebut).

Bugliosi awalnya kesulitan mencari motif Charles Manson dan kawan-kawannya. Berdasarkan temuan polisi, sama sekali sulit untuk menentukan siapa yang menjadi dalang pembunuhan Sharon Tate dan pasangan LaBianca. Khusus untuk kasus Sharon Tate, polisi sempat mencurigai seorang centeng rumah Tate dan juga akhirnya sempat mencurigai Roman Polanski, suami Sharon sendiri.



Namun, dari hasil “pengakuan” salah seorang mantan pengikut Manson, Bugliosi baru tahu bahwa Manson – di samping sebagai seorang pemimpin kelompok hippies – juga berperan sebagai seorang “nabi” bagi kelompok tersebut. Sebagai “nabi”, ia banyak mencomot dan menafsirkan lirik lagu Beatles dan ayat-ayat Alkitab (terutama Kitab Wahyu). Hasil comotan dan tafsiran tersebut berujung pada nubuat perang antar-ras tadi. Dari situlah, Bugliosi memperoleh motif — jika tidak, Bugliosi sama sekali tidak punya kasus apa-apa. (Bagi yang ingin mengetahui Charles Manson dan kasus pembunuhan Tate-LaBianca, silakan klik di sini



Itu terjadi pada tahun 1969. Bagaimana sekarang? Entah apa komentar Manson ketika memandang seorang presiden “kulit hitam” yang kini “menduduki” White House. Apakah Barack Obama merepresentasikan suatu supremasi kulit hitam terhadap kulit putih? Barangkali, dalam pikiran Manson, memang demikian. Tidak masuk akal bagi orang seperti Manson bahwa ada seorang kulit hitam bisa menjadi presiden dari sebuah negara yang mayoritas penduduknya kulit putih – seperti Amerika Serikat.

Manson boleh berpendapat bahwa nubuat “Helter Skelter”-nya sudah atau hampir digenapi. Itu Charles Manson, seorang yang mungkin agak psikopat. Namun, bagaimana dengan kita yang “lebih normal” daripada Manson? Apakah kita punya fobia semacam itu atau malah mengidap psikopat yang sama? Kalau iya, berarti kita boleh menjadi pengikut Charles Manson (hehehehe….).

Tapi, tidak. Saya berharap, kita tidak rasis, tidak juga psikopat atau menderita sejenis fobia tertentu. Jadi, satu-satunya ketidaksukaan atau ketidaksetujuan yang masuk akal terhadap terpilihnya Barack Obama adalah ketidaksetujuan berdasarkan “alasan politis” tertentu, seperti misalnya: Obama ternyata pro-choice (bahkan mungkin pro-abortionist). Untuk bagian ini, saya benar-benar kontra-Obama. Tapi, ini sebatas alasan politis atau moral yang konkret, bukan warna kulit atau hal lainnya yang tidak relevan.

Lalu, bagaimana di Indonesia? Apakah orang Indonesia menderita semacam rasisme atau fobia tertentu – katakanlah terhadap salah satu ras/suku tertentu? Tentu, sangat disayangkan memang. Sama seperti Manson – semoga tidak separah dia – sikap rasis atau fobia semacam itu memang tampaknya sangat masuk akal, yaitu sejenis akal yang menciptakan tembok-tembok yang menutupi seseorang dari dunia luar. Di dalam tembok – di dalam dunia bentukannya sendiri itu – semuanya tampak masuk akal. Kebencian atau ketidaksukaan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) menjadi sesuatu yang sangat rasional dan justru mutlak diperlukan. Diperlukan? Ya, diperlukan untuk memapankan dunia fiktif hasil ciptaannya sendiri. Orang semacam ini bukannya tidak mau “sembuh”. Problem mereka adalah bahwa mereka tidak tahu bahwa mereka sebenarnya sedang “sakit”.

Tidak heran jika Manson dan para pengikutnya yang ditahan atas kasus pembunuhan Tate-LaBianca tersebut beberapa kali mengalami penolakan atas permohonan pembebasan bersyarat. Barangkali, mereka yang menolak berpendapat: orang seperti mereka tidak mungkin sembuh, karena toh nyatanya mereka sendiri tidak merasa sakit.

Suara pukulan gendang yang meramaikan Tahun Baru Imlek kemarin membuat kita sadar bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya tidak serasis seperti golongan Ku Klux Klan atau sefobia seperti Charles Manson. Masyarakat Indonesia – syukurlah – sudah agak terbiasa dengan fenomena perbedaan dan relasi antar-suku, ras, dan agama. Ini cukup melegakan.

Namun begitu, isu-isu sensitif terkait pemilihan umum sering mengemuka. Dulu, menjelang pemilu demokratis pertama pasca-tumbangnya Orde Baru – yaitu pemilu tahun 1999 – isu SARA dan gender sempat merebak terkait dengan munculnya salah satu partai dan calon presiden dari partai tersebut. Walaupun mereka yang menyebarkan kebencian terkait SARA dan gender tersebut belum termasuk dalam kalangan “Mansonmaniac” – apalasi sampai melahirkan “nubuat Helter Skelter” – namun tak ayal, hal itu membuat kita sedikit tersadar bahwa masyarakat di sini masih sensitif dengan hal-hal tersebut. Rasisme atas nama SARA dan gender masih seperti “bara dalam sekam”, yang sewaktu-waktu dalam melumat dan membakar struktur sosial yang sudah bagus dibangun oleh para pendiri republik ini. Begitu juga dengan kasus-kasus pembakaran tempat ibadah dan konflik horisontal di berbagai daerah seperti Maluku, Kalimantan, dan sebagainya.

Kita sadar bahwa tidak semua anggota masyarakat Indonesia seterbuka dan setoleran seperti warga kulit putih yang dengan rela dan sadar memilih Barack Obama sebagai pemimpin mereka. Mungkin, untuk mencapai masyarakat yang 100% toleran, kita masih membutuhkan banyak waktu. Dan untuk itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Namun, sambil mengerjakan pekerjaan rumah, tentu kita tidak dilarang untuk mendengarkan lagu “Helter Skelter” dari The Beatles:

When I get to the bottom I go back to the top of the slide

Where I stop and I turn and I go for a ride

Till I get to the bottom and I see you again.



Do you, don't you want me to love you

I'm coming down fast but I'm miles above you

Tell me tell me tell me come on tell me the answer

You may be a lover but you ain't no dancer.



Helter skelter helter skelter

Helter skelter.

Rabu, 21 Januari 2009

Text of Obama's Speech for His Inauguration as 44th President

My fellow citizens,

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because We the People have remained faithful to the ideals of our forbearers, and true to our founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land — a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.

Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America — they will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long have strangled our politics.

We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of short-cuts or settling for less. It has not been the path for the faint-hearted — for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things — some celebrated but more often men and women obscure in their labor, who have carried us up the long, rugged path towards prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.

For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.

For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn.

Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions — that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act — not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. All this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions — who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.

What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them— that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works — whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be held to account — to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day — because only then can we restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control — and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our Gross Domestic Product, but on the reach of our prosperity; on the ability to extend opportunity to every willing heart — not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our Founding Fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: know that America is a friend of each nation and every man, woman, and child who seeks a future of peace and dignity, and we are ready to lead once more.

Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort — even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus — and non-believers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society's ills on the West — know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment — a moment that will define a generation — it is precisely this spirit that must inhabit us all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter's courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends — honesty and hard work, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism — these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility — a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation, and the world, duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence— the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed — why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent mall, and why a man whose father less than sixty years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:

"Let it be told to the future world...that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive ... that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."

America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children's children that when we were tested we refused to let this journey end, that we did not turn back nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

Thank you. God bless you. And God bless the United States of America.

Sumber: http://www.msnbc.msn.com/id/28751183/