Rabu, 04 September 2013

“Neraka di Normandia” untuk Orang Berkebutuhan Khusus di Era Sibuk

Neraka di Normandia




Judul: Neraka di Normandia
Penulis: Nino Oktorino
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun: 2013
Tebal: 188 halaman
Ukuran: 14 x 21 cm

Mengenai buku sejarah, ada orang berkata: “Semakin tipis bukunya, semakin besar bohongnya.” Mungkin ini cuma gurauan yang tidak berdasar dari orang yang kerap membanggakan ketebalan buku—atau dalam konteks lain: kemegahan performa atau penampilan—sebagai standar kebenaran dan kelengkapan. Banyak buku sejarah yang tidak terlalu tebal dalam ukuran yang umum (kurang lebih sekitar 200 halaman), tetapi sangat memadai sebagai sumber informasi—tentu di luar faktor keakuratan yang mungkin hanya bisa dinilai oleh para ahli.
                Banyak buku sejarah yang masuk dalam golongan itu. Salah satunya adalah buku ini. Berbeda dengan buku Stephen E. Ambrose yang tebal itu (D-Day—6 Juni 1944, Puncak Pertempuran PD II), buku ini memilih pendekatan yang fragmentaris dan episodik dalam pengisahan salah satu momen penting dalam sejarah Perang Dunia Ke-2: pendaratan dan penyerbuan pasukan Sekutu di Normandia, Prancis.
                Sebagai seorang ahli  dan direktur The National D-Day Museum di New Orleans, Ambrose secara luar biasa  berupaya menghadirkan sedetail mungkin peristiwa itu, sehingga pembaca seolah-olah dapat mencium bau mesiu yang memancar keluar dari senapan para serdadu Sekutu. Seperti suatu acara reality show yang dibukukan, Ambrose memaparkan kengerian peristiwa itu di hadapan mata pembaca. Jelas, pendekatan itu sangat penting dan mengagumkan, walaupun pembaca “sambil lalu” sering cepat-cepat melewatkan uraian seperti di dalam buku itu.
                Beberapa pembaca “sambil lalu” seperti itu mungkin bukannya tidak suka sejarah perang dunia, melainkan hanyalah seseorang yang berkebutuhan khusus: ia sedang mencari tahu suatu hal—atau mungkin beberapa hal—dari peristiwa itu. Untuk pembaca berkebutuhan khusus ini, untungnya ada trilogi karya P.K. Ojong, Perang Eropa, yang salah satunya (Perang Eropa III) mengupas secara khusus peristiwa Normandia tersebut. Ojong bahkan secara genial meringkaskan momen-momen di sekitar Normandia dan Prancis hanya dalam separuh buku saja (sekitar 10 bab, dari 21 bab). Ia melanjutkannya dengan gerakan ofensif pasukan Sekutu sampai ke wilayah Jerman dan berpuncak pada momen kejatuhan Berlin dan Kapitulasi Jerman Nazi dalam bab terakhir.
                Namun, ada pula pembaca “sambil lalu” jenis lain. Metode kronologis seperti Ambrose dan Ojong mungkin memuaskan dari sisi kelengkapan cerita dan suasana (Ambrose) atau poin-poin penting (Ojong). Bagaimana jika ia mencari sesuatu di balik cerita dan tonggak-tonggak penting dari peristiwa ini? Atau mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang lain? Atau mungkin ia lebih berfokus pada satu episode pendek dari peristiwa itu?
                Buku “Neraka di Normandia” ini peka terhadap pembaca “berkebutuhan khusus” seperti itu. Secara ringkas dan padat, buku ini berfokus pada peristiwa invasi sekutu di Normandia sampai pasukan Nazi Jerman keluar dari Prancis. Secara jitu dan cerdik pula, penulis mengupas beberapa “momen di balik layar” dalam peristiwa Normandia. Selain itu, buku yang tergolong dalam seri “Konflik Bersejarah” ini menyuguhkan peristiwa itu dari sudut pandang atau kacamata Nazi Jerman.
                Barangkali, cara penulis mengambil sudut pandang yang tersaji dalam buku ini adalah gambaran dari pergeseran selera banyak orang dalam mengikuti terjangan dari banjir informasi pada era digital yang serbasibuk ini. Di tengah situasi seperti ini, rasa ingin tahu sering berfokus pada sesuatu yang unik dan tidak lazim atau yang sudah diketahui oleh banyak orang.  Barangkali, begitulah minat kita terhadap buku sering diarahkan. Buku-buku tebal dan detail kerap tidak tuntas dibaca. Buku-buku praktis yang informasinya ringkas dan padat sering lebih bermanfaat. Penulis “Neraka di Normandia” tampaknya paham situasi psikologis banyak orang dewasa ini. Pembaca bisa mencari informasi detail tentang peristiwa Normandia dari buku karya Ambrose dan Ojong.
                Buku ini justru menyajikan penjelasan bagi para pembaca “sambil lalu” yang mungkin sudah sering mendengar peristiwa Normandia tetapi justru bertanya: Mengapa benteng pertahanan Jerman di Normandia mudah ditembus? Mengapa barisan pertahanan Jerman seolah-olah lambat bereaksi? Di dalam buku yang tidak setebal buku Ojong atau Ambrose ini, pembaca diajak masuk ke dalam intrik-intrik rahasia kubu Nazi Jerman di seputar peristiwa Normandia—sebelum dan sesudahnya, sampai saat mereka mundur dari Prancis.
                Dengan dihiasi oleh foto-foto ilustrasi yang menarik—beberapa cukup unik—buku ini secara kronologis membagi episode penyerangan Sekutu di Prancis ke dalam 5 bab. Bab pertama berisi berbagai peristiwa dan spekulasi di kubu Jerman menjelang invansi. Ancaman invasi pihak Sekutu bukan hal yang baru bagi Jerman. Setelah keluar dari Dunkirk pada tahun 1940, berkali-kali Inggris atau bersama dengan sekutu-sekutunya berjanji untuk menyerang barisan pertahanan Jerman (terutama di Prancis dan front Barat lainnya). Bab ini membeberkan bagaimana sebenarnya pihak Jerman sudah “menunggu-nunggu” serangan balasan itu, termasuk pada tahun 1944 itu.
                Reaksi para petinggi militer Jerman terhadap berbagai ancaman Sekutu tersebut—serta pertentangan di antara mereka mengenai solusi atas ancaman tersebut—diuraikan lengkap dalam buku ini. Buku ini memperlihatkan bagaimana Erwin Rommel di satu pihak, Gerd von Rundstedt, Heinz Guderian, dan Geyr von Schewppenburg di pihak lain—semuanya adalah para petinggi militer Jerman—serta Adolf Hitler sendiri di pihak yang berbeda pula, memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam mempertahankan front Barat (terutama Prancis).  Hitler, yang mencoba menghindari para perwiranya saling sikut—membuat keputusan yang kelihatannya “adil” tetapi justru fatal. Keputusan fatal itu, ditambah kehebatan Sekutu dalam merencanakan penyerbuan—termasuk kecerdikan satuan intelijen mereka dan kesembronoan para petinggi militer Jerman yang tidak mendengarkan laporan intelijen mereka sendiri dalam membaca tanda-tanda adanya serangan—menjadi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan invansi Sekutu di Normandia.
                Bab 2 membentangkan bagaimana reaksi lambat pihak Nazi Jerman dalam membaca adanya tanda-tanda invansi (tanggal 5 Juni malam), saat-saat invansi, sampai pada akhir hari pertama invansi (6 Juni malam). Walaupun serangan ini sangat cepat dan tak terduga, pasukan Sekutu tidak mampu segera memukul mundur barisan pertahanan Jerman di berbagai pos pertahanan. Para petinggi militer Jeman memang bingung dengan berbagai informasi yang tidak jelas dari barisan depan—sesuatu yang memang menguntungkan pihak Sekutu. Namun, para serdadu Jerman di lapangan bertempur dengan gagah berani. Figur-figur kunci dari barisan pertahanan Jerman—baik di markas OB wilayah Barat [Paris], di markas pusat, maupun di lapangan—diulas dalam bab ini. Baik aksi dan pikiran mereka dipaparkan secara menarik dan hidup di sini.
                Praktis, reaksi “normal” pihak Nazi Jerman baru muncul satu hari setelah D-Day, yaitu keesokan harinya pada tanggal 7 Juni. Walaupun sepertinya sudah kehilangan momen, Nazi Jerman berhasil “memperlambat” invansi sampai sekitar satu bulan sesudahnya—tentu dengan pengorbanan yang banyak dan akhirnya suatu kekalahan yang memalukan. Pada Bab 3, terurai bagaimana Marsekal Rommel mulai berupaya mengambil peran yang dulu pernah melahirkan sebutan “Rubah Gurun” bagi dirinya: ia mencoba mengumpulkan pasukan dari unit-unit tersisa—terutama divisi-divisi panser—untuk menutup serangan Sekutu, terutama pasukan Amerika yang berniat merebut pelabuhan Cherbourg di utara, sementara pasukan Inggris yang mau menduduki Caen di tenggara Normandia.
                Upaya Rommel dan berbagai komandan di lapangan seolah-olah berhasil menggagalkan invansi Sekutu. Namun, keterlambatan reaksi pada hari pertama menubuatkan malapetaka selanjutnya. Pasukan Sekutu memang tidak mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan serdadu Jerman yang gigih dan ganas di lapangan—sehingga jadwal atau waktu yang ditargetkan dalam merebut tempat-tempat tertentu menjadi mulur. Toh, pihak Jerman pun mengalami “pengeroposan” dari dalam tubuhnya sendiri. Ini berpuncak pada upaya pembunuhan terhadap Adolf Hitler pada bulan Juli yang dilakukan oleh suatu konspirasi di antara beberapa perwira militer dan berbagai tokoh sipil. Bab ini membeberkan bagaimana para konspirator sempat berhasil mengelabui para komandan di lapangan sehingga mengira bahwa Der Fuhrer memang benar-benar telah tewas—suatu kesalahan fatal.
                Usaha kudeta 20 Juli yang gagal itu sebenarnya tidak memberikan banyak kontribusi bagi pergerakan pasukan Sekutu di lapangan—hanya barangkali munculnya ketegangan dalam hubungan di antara sesama prajurit Jerman. Buku ini menyimpulkan bahwa “pada awal Agustus 1944, tentara Jerman berada di tepi kehancuran karena kekalahannya di medan perang maupun strategi tidak waras Hitler, bukan karena pengkhianatan dari dalam” (hlm. 120).  Begitulah. Kegagahberanian para serdadu Jerman di lapangan tidak disertai oleh strategi yang matang dan cepat di tingkat atas. Dalam Bab 4, tampak terlihat bagaimana memasuki bulan Agustus pihak Jerman praktis tinggal bertahan. Memang, pasukan Sekutu masih jauh dari menang, karena sebagian besar Prancis masih dikangkangi Jerman. Namun, baik Sekutu maupun pihak Jerman sudah tahu bahwa mereka hanya menunggu waktu saja. Pihak sekutu sudah bisa mempersiapkan kuda-kuda yang lebih baik, sementara Jerman seperti kehabisan waktu dan semangat. Saat pasukan Jerman “terkepung” di daerah yang nanti akan dikenal sebagai “Kantong Falaise” (16 Agustus), tampaknya akhir perang di Prancis sudah di ambang mata. Kantong ini menyerupai tapal kuda dengan panjang sekitar 64 kilometer dan lebar 21 kilometer—pasukan Inggris di sebelah utara, sementara pasukan Amerika di sebelah selatan. Selama sekitar 5 hari, sampai 21 Agustus, kedua pihak bertempur di sana. Sekutu mencatat sekitar 50 ribu prajurit Jerman tertawan, sementara 10 ribu yang lain tewas di dalam “kantong” tersebut. Tanggal 27 Agustus, Jerman berhasil menyeberangkan banyak prajurinya ke tepi sungai Seine.
                Saat pertempuran di kantong Falaise berkobar, pihak Sekutu melancarkan operansi Anvil untuk membebaskan wilayah-wilayah lain di Prancis. Ini menjadi ulasan utama Bab 5. Operasi ini pun berhasil membebaskan satu demi satu wilayah Prancis, seperti Toulon dan Marseille, serta wilayah selatan dan barat daya Prancis lainnya—di pesisir Teluk Biskaya. Paris pun akhirnya jatuh setelah Mayor Jenderal Dietrich von Choltitz, komandan pasukan Jerman di kota itu, menandatangani penyerahan pasukan Jerman pada pukul 3 siang, 25 Agustus 1944. Ini sekaligus merupakan langkah nekat setelah ia sempat menolak perintah Hitler untuk membumihanguskan kota tersebut. Dengan begitu, sejak akhir Agustus, pasukan Sekutu sedikit demi sedikit menyapu semua kekuatan Jerman di bumi Prancis. Marsekal Model, sebagai panglima Front Wilayah Barat, mengirimkan pesan kepada Hitler untuk meminta izin menarik pasukan mundur ke garis pertahanan yang lebih kokoh di Dinding Barat (yang sebelumnya dikenal sebagai Garis Siegfried), yaitu garis pertahanan Jerman sebelum perang. Siap dimaki-maki, usulan Model ini justru dikabulkan Hitler. Dengan demikian, pasukan Nazi Jerman secara resmi mundur dari Prancis. Saat Brussels jatuh ke tangan Sekutu pada 3 September, babak pertarungan baru akan dimulai di wilayah baru, di luar Prancis.
                Mungkin, satu hal yang perlu ditambahkan dalam buku ini adalah peta-peta konkret dari setiap perkembangan atau perubahan posisi pasukan Sekutu dan/atau Jerman. Para pembaca yang selalu diburu-buru waktu ingin segera tahu bagaimana posisi terakhir pasukan Sekutu dan Jerman dalam setiap momen. Memang penulis sempat memberikan peta penempatan pasukan Jerman di Prancis, terutama Normandia, dan sekitarnya (halaman 40) serta posisi-posisi penyerbuan atau titik-titik masuk pasukan Sekutu (Amerika, Inggris, dan Kanada) di pantai Normandia (halaman 57). Namun, bagaimana pergerakan pasukan Sekutu yang akhirnya menusuk ke sekitar Paris serta bagaimana gerakan mundur pihak Nazi Jerman, kurang disertai oleh peta yang memadai.
                Akibatnya, kita hanya bisa menebak-nebak bagaimana sebenarnya rupa “kantong Falaise” yang terkenal itu—terutama bagaimana sebenarnya posisi pasukan Sekutu membuat “jepitan” atau “potongan” yang mencekik para serdadu Hitler tersebut. Bagi yang awam dengan wilayah Prancis—kebanyakan orang masuk dalam kategori ini—peta-peta itu sangat penting untuk mengonkretkan imajinasi kualitatif yang mereka peroleh dari pembacaan teks-teks. Katakanlah, itu semacam visualiasi kuantitatif tentang seberapa banyak pasukan Sekutu mencaplok wilayah yang sebelumnya dikuasai Nazi Jerman dan seberapa banyak pihak yang terakhir ini semakin terjepit dan akhirnya seolah-olah lari tunggang-langgang.
                Namun, ketiadaan peta-peta semacam itu tidak mengurangi penggambaran bagaimana trengginasnya para prajurit Sekutu dalam mengusir Nazi Jerman dari bumi Prancis.  Dalam lima bab ringkas-padat, kegelisahan hati kita terkait impotensi mesin perang Jerman bisa terjawab tuntas. Berbagai figur dari barisan pertahanan Jerman—beserta foto dan penjelasan aksi mereka—menjadi kekuatan tersendiri buku ini yang bisa kita nikmati. Akhirnya, setelah mundur dari Prancis, balaperang Nazi Jerman seolah-olah “dibiarkan” pihak Sekutu untuk mengumpulkan tenaga serta mengatur strategi dalam perang selanjutnya. Babak berikut setelah “Neraka di Normandia” pun dipersiapkan. Namun, itu masih menunggu buku yang lain, barangkali.***

Tidak ada komentar: