Rabu, 09 April 2008

Fitna: Siapa Difitnah dan Siapa Memfitnah?

Masih ingat The Da Vinci Code? Film yang diangkat dari novel Dan Brown dan dibintangi Tom Hanks itu ternyata menjadi suatu film yang cukup laris juga ketika diputar (tidak semua film yang berasal dari novel yang cukup laris juga ikut-ikutan laris).

Orang tentu menduga: masuk akal jika film tersebut laris, karena toh novelnya pun laris (bahkan novelnya jauh lebih laris di mana filmnya tidak selaris ketimbang novelnya – ini kebalikan dari trilogi The Lord of the Rings di mana filmnya jauh lebih laris ketimbang novelnya). Tidak heran jika mereka yang sudah membaca novelnya juga masih ingin melihat bagaimana versi layar lebar novel tersebut.

Namun, kita dapat memikirkannya dari sisi lain: isi film tersebut. Orang berpikir bahwa isi filmlah yang seharusnya membuat orang tertarik untuk menonton film. Lalu, apa isi film The Da Vinci Code? Isinya kurang lebih sama dengan isi novelnya: suatu kisah thriller yang bersendikan pada plot “terbongkarnya” rahasia sepanjang hampir 2000 tahun, yaitu bahwa Yesus ternyata menikah dengan Maria Magdalena. Rahasia ini ditutup-tutupi oleh Gereja selama masa tersebut dan baru terbongkar oleh seorang detektif (Mr. Langdon) dalam petualangannya. Jelas, gagasan “Yesus menikah dengan Maria Magdalena” merupakan penjungkirbalikkan atas akidah dari tradisi keagamaan tertentu.

Kini muncul film Fitna, hasil karya Geert Wilders, seorang anggota parlemen Belanda. Saya sudah lihat filmnya. Filmnya biasa-biasa saja. Saya mengira film itu berisi suatu kisah cerita, ternyata hanya suatu potongan-potongan dokumenter saja. Banyak dari potongan-potongan film dokumenter tersebut sebenarnya sudah diketahui oleh umum, karena potongan-potongan film tersebut berasal dari berita yang disiarkan oleh berbagai stasiun televisi internasional.

Lalu di mana letak menarik atau sisi kontroversial film tersebut? Potongan-potongan film dokumenter tersebut terutama berisi berita terkait aksi-aksi terorisme semenjak peristiwa 11 September 2001, termasuk cuplikan hasil aksi-aksi tersebut. Kalau itu masih belum cukup, si pembuat film juga memasukkan berbagai khotbah keagamaan yang terasa “galak” yang menurut si pembuat film memiliki kontribusi dalam mendorong aksi-aksi terorisme tadi. Tentu kita tahu, aksi terorisme dan khotbah-khotbah keagamaan tersebut berasal dari kelompok mana.

Masalahnya adalah: apakah film tersebut menggambarkan apa sebenarnya dari agama yang dimaksud? Atau, lebih tepat, apakah ideologi yang dianut kelompok tersebut memang mewakili agama tersebut?

Ada fakta yang tidak dapat disangkal: kelompok teroris – entah yang diperlihatkan cuplikan aksinya dalam film tersebut atau tidak – memang memiliki pandangan dunia atau ideologi tersendiri. Pandangan dunia ini muncul sebagai hasil dari interpretasi atas tradisi sebagaimana yang termaktub dalam suatu agama, entah dalam bentuk kitab suci atau yang lain. Kita dapat berdebat apakah interpretasi kelompok ini sahih atau tidak – apalagi jika ternyata kelompok ini bukan satu-satunya dalam tradisi keagamaan tersebut. Tidak heran jika terjadi “perang interpretasi” dalam tradisi keagamaan tersebut, yaitu perang yang terjadi di antara berbagai kelompok di dalam tradisi agama tersebut untuk memperebutkan wacana “siapa penafsir paling benar”.

Sejauh “perang” tersebut terjadi secara fair, terbuka, tidak terjadi pemaksaan, bersifat dialogis dan tidak mengikutsertakan kekerasan atau tindak kriminal yang melanggar Hak Asasi Manusia, barangkali “perang” itu menjadi sah-sah saja. Perbedaan wacana dan interpretasi adalah biasa. Namun tidak boleh suatu kelompok memaksakan penafsirannya kepada kelompok lain, apalagi dengan menggunakan kekerasan.

Jelaslah, kelompok yang digambarkan dalam film Fitna adalah kelompok yang memaksakan penafsirannya. Lucunya, mereka memaksakan penafsirannya bukan hanya kepada kelompok lain di dalam tradisi agamanya sendiri, tetapi mereka memaksakannya kepada semua umat manusia di muka bumi.

Kembali ke film Fitna. Film itu hanya memotret satu sisi dalam suatu tradisi keagamaan tertentu. Ia tidak memotret keseluruhan kenyataan. Dari segi itu, film ini memang kurang atau “cacat”. Namun, dari segi lain – yaitu potret atas suatu kelompok dalam suatu tradisi keagamaan – film itu cukup akurat.

Orang tentu tidak boleh melebih-lebihkan film itu. Film itu memiliki kelebihan, tetapi hanya sampai batas tertentu. Ia benar dalam satu sisi, tetapi keliru, bahkan sangat keliru dari sisi lain. Dari sudut ini, kita tidak perlu tersinggung terlalu jauh atas film ini. Film ini hanya memotret kelompok tertentu dari suatu tradisi keagamaan yang besar, namun hanya sampai sebatas itu. Film ini tidak dan memang gagal memotret tradisi keagamaan tersebut secara luas dan menyeluruh.

So, kita tidak perlu naik darah. Biasa saja. Toh, The Da Vinci Code boleh beredar di Indonesia – suatu film yang sebenarnya langsung menusuk akidah tradisi keagamaan tertentu di Indonesia. Kita memang harus fair, rendah hati, dan tetap membaca tanda-tanda zaman.

Tidak ada komentar: