Jumat, 18 April 2008

Mudahan-mudahan Ini Bukan Gosip Jalanan: Slank Jadi Anggota DPR

Ada waktunya ketika batas antara seni dan politik menjadi cair (ini belum termasuk kalau kita berbicara tentang “seni berpolitik” yang entah masuk kategori seni atau kategori politik). Batas ini sebenarnya memang cair bahkan boleh dibilang tidak ada, karena baik “seni” maupun “politik” merupakan salah satu aspek saja dalam dimensi kemanusiaan kita. Keduanya merupakan ekspresi dari hakikat kemanusiaan kita.

Seni – apa pun bentuknya – adalah ekspresi jiwa manusia dan sejenis refleksi atas kenyataan yang dituangkan dalam untaian atau urutan bentuk-bentuk yang dapat diapresiasi dari segi estetika. Tentu, “bentuk-bentuk” yang dimaksud di sini dapat mencakup pelbagai ekspresi, seperti lukisan, tarian, lagu, pahatan atau apa pun yang tidak dapat dibatasi dalam kaidah-kaidah baku seni (kita, misalnya, tidak mengenal apa yang disebut sebagai “seni instalasi” pada abad ke-19 – tentunya kita tidak akan masuk dalam diskusi apakah istilah “seni instalasi” merupakan istilah yang tepat dan “non-problematis”).

Jika tadi dikatakan bahwa seni merupakan refleksi atas kenyataan, itu bukan berarti kasusnya harus demikian. Seni bisa saja tidak merupakan refleksi tetapi lebih merupakan hasil “kontemplasi lepas”. Namun, orang boleh berdebat apakah memang ada suatu seni yang tidak terkait dengan kenyataan.

Toh, kita sering menyaksikan betapa seni hampir selalu merupakan refleksi atas kenyataan – entah kenyataan itu berada di alam khayalan murni atau berada secara riil konkret di dalam kantong/dompet si seniman, entah kenyataan itu adalah sebentuk utopia surealis atau semacam lanskap yang terbentang secara telanjang di depan mata.

Slank adalah seniman. Seni yang mereka geluti adalah seni musik. Jadi, bentuk-bentuk yang lahir dari hasil ekspresi atau refleksi Slank adalah bentuk-bentuk yang bersifat “bebunyian” yang dapat diapresiasi indah atau jelek oleh kuping kita (walaupun konser Slank tampaknya dapat juag diapresiasi oleh mata kita – tapi kita tidak berbicara tentang ini karena ini bukan blog musikJ).

John Lennon dulu hampir mirip dengan Slank. Bono dari U2 juga demikian. Juga Bob Dylan. John Lennon pernah menulis “Give Peace a Chance” bersama band pribadinya dan juga pernah menulis beberapa track bersama Beatles – band yang melegenda – yang berisi syair-syair “sosial”. John dan banyak musisi lain merasa tidak kebal terhadap panggilan hati nurani mereka untuk merefleksikan kenyataan sosial yang ada di depan mereka atau yang mereka alami. Oleh karena itu, lahirlah lagu-lagu anti-perang, anti-kemampanan, kritik atas kapitalisme dan sebagainya.

Dalam minggu-minggu terakhir ini, beberapa media massa di Indonesia memberitakan kabar tentang rencana Dewan Kehormatan DPR untuk menggugat Slank (silakan cari sendiri beritanya via Google). Mengapa? Slank dianggap menghina DPR di dalam lagunya yang berjudul “Gosip Jalanan”. Belakangan, orang-orang di DPR tersebut membatalkan rencana ini – entah apa alasan di balik pembatalan ini.

Sudah banyak tanggapan diberikan atas rencana orang-orang di DPR itu, termasuk yang resmi berasal dari Gank Potlot sendiri – nama markas Slank. Salah satunya adalah: “Jika akan menggugat Slank, justru DPR membuktikan bahwa gosip itu memang kenyataan.”

Kita tidak akan masuk ke diskusi tentang benar-tidaknya isi lagu “Gosip Jalanan” (Walaupun begitu, kita akan terhenyak heran kalau lagu itu justru memang benar-benar cuma gosip). Namun, kita akan bertanya: apakah Slank masih menjadi seniman ketika mereka menulis lagu seperti itu? Jawabannya, jika mengacu definisi “seni” di atas: tentu saja mereka tetap menjadi seniman – justru lagu itu semakin mengukuhkan jati diri mereka sebagai seniman. Barangkali, Slank mirip pelukis Dede Eri Supria, yang lukisan-lukisannya memperlihatkan realisme tertentu, tetapi “dipotret” (atau tepatnya: disajikan) sedemikian rupa sehingga tampak agak “surealis” (sori, saya tidak terlalu paham ilmu seni rupa. Jadi, istilahnya mungkin tidak begitu tepat, tetapi Anda semua pasti paham apa yang saya maksud kalau melihat lukisan Dede Eri Supria). Suatu realitas yang sedikit didandani dengan teknik “seni” sedemikian rupa, agar orang dapat menikmatinya, menyelaminya, dan mengamini kebenarannya. Dede dan Slank mungkin agak mirip di sini.

Begitulah. Slank adalah seniman. Namun, apakah lagu “Gosip Jalanan” membuat mereka menjadi semacam politisi? Sama seperti John Lennon, Bob Dylan, dan Bono – kecuali barangkali Bono – tetap menjadi pemusik atau seniman saja, begitu juga Slank. Satu atau dua lagu mengenai kenyataan yang bersifat sosial atau politis, tidak akan pernah membuat seorang seniman menjadi politisi atau ilmuwan sosial. Mungkin mereka malah terlalu jujur saja sebagai seniman – atau lebih tepat: mempunyai daya refleksi yang kuat atas kenyataan, suatu kenyataan yang tidak dibatasi oleh sekat ruang dan waktu.

Sebagai seniman, Slank bebas berekspresi dan berefleksi. Masak mereka hanya boleh merefleksikan kisah anak sekolah yang jatuh cinta, anak gadis yang ditaksir tetangganya, atau sepasang muda-mudi yang didamprat oleh si ayah pemudi karena pulang malam? Jangkauan refleksi seniman tak terbatas. Boleh dong, kalau seniman merefleksikan kejadian di Senayan juga?

Jika sudah begini persoalannya, saya justru berdoa agar Slank-lah yang menjadi wakil saya di DPR, di Senayan. Mengapa? Daya refleksi dan ekspresi mereka luas, tulus, jujur dan to the point. Semoga ini bukan cuma gosip jalanan…

Tidak ada komentar: