Jumat, 04 Juli 2008

Musa, Ajarilah Kami Mengatasi Rasa Kecewa…

Sudahkah Anda kecewa hari ini? Berapa kali? Tidak pernah kecewa?
Bagi yang belum pernah merasa kecewa atau dikecewakan, mungkin tulisan ini tidak layak untuk dibaca.

Kalau saya, jujur saja, sering merasa kecewa: kecewa pada orang tua, pada istri, pada suami, pada pacar, pada keluarga, pada teman, pada pemerintah…dan pada Tuhan. Orang punya kekecewaannya masing-masing – dengan tingkat kedalamannya masing-masing.

Harold S. Kushner, seorang rabi terkenal yang pernah menulis buku populer – When Bad Things Happen to Good People – menulis buku bagus yang berjudul: Overcoming Life’s Disappointments – Learning from Moses How to Cope with Frustation. Apa yang dapat dipelajari dari Kushner ini? Musa. Ya, tokoh Musa dalam Alkitab.

Kepada orang yang sedang mengalami kekecewaan, Kushner mengajak mereka untuk berpaling pada Musa, belajar dari kehidupannya, baik keberhasilan maupun kegagalannya. Apa keberhasilan Musa? Kita mungkin dengan mudah menemukan keberhasilan Musa ketimbang kegagalannya. Keberhasilannya mencakup: memimpin Israel keluar dari perbudakan di Mesir, membelah Laut Merah, mendaki Gunung Sinai untuk menerima perintah-perintah Tuhan. Intinya, Musa adalah pahlawan Israel.

Apakah seorang pahlawan tidak pernah gagal? Pernah saja. Apakah Musa mengalami kegagalan sebanyak keberhasilannya? Sama banyak, bahkan mungkin dia lebih banyak gagal ketimbang berhasil. Apa kegagalan Musa yang membuatnya kecewa?

Kekecewaan pertama yang Musa alami ternyata tidak lama setelah pengalamannya sebagai seorang pahlawan. Musa membela seorang Ibrani – teman sebangsanya – yang dipukul oleh seorang mandor Mesir. Ia bukan hanya membela, tetapi bahkan membunuh si Mesir itu. Ia memang seperti pahlawan di sini: membela seorang tertindas. Namun, apa yang terjadi? Keesokan harinya, ia melihat 2 orang Ibrani yang bertengkar. Ia melerai kedua orang itu. Namun, apa jawaban salah seorang di antara mereka? “Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti engkau telah membunuh orang Mesir itu?”

Beberapa penafsir mengatakan bahwa ayat dalam Kitab Keluaran tersebut adalah bukti bahwa kemungkinan besar orang yang berkata seperti itu adalah justru orang yang kemarin dibela Musa ketika orang tersebut dipukul oleh si mandor Mesir. Musa tentu kaget. Ternyata, tidak selamanya keinginan baiknya membawa kebaikan. Ia kini justru dipersalahkan oleh orang yang kemarin dibelanya. Ia mendapat pelajaran pertamanya – yang akan sering diulang selama tahun-tahun berikutnya. Kecewakah Musa? Sudah pasti.

Setelah itu, kegagalan demi kegagalan, kekecewaan demi kekecewaan, menjadi pemandangan biasa dalam hidup Musa. Mungkin kekecewaan terbesar dalam hidupnya adalah ketika ia selalu gagal – hampir dikatakan ia hampir selalu gagal di sini – mendidik banga Israel untuk patuh, taat, setia pada Tuhan. Orang yang bersungut-sungut, orang-orang yang keras kepala dan tidak berterima kasih adalah tipe-tipe orang yang menjadi “santapan harian” Musa.

Puncak kekecewaan Musa terhadap orang sebangsanya adalah ketika ia turun dari Gunung Sinai – setelah ia menerima Sepuluh Perintah Allah yang tertulis pada 2 loh batu. Apa yang ia temui? Orang-orang yang suka bersungut-sungut dan tak tahu berterima kasih itu kini malah sedang menyembah sebuah patung lembu emas – lambang berhala. Padahal, Musa justru baru saja turun dari gunung, dari tempat ia menerima semacam sertifikat Memorandum of Understanding antara orang-orang tersebut (melalui Musa) dan Tuhan. Ternyata, bukan kesetiaan dan kesabaran dalam iman yang ia temui, tetapi pengkhianatan.

Musa tampaknya marah (itu mungkin puncak dari rasa kecewa). Kedua loh batu yang dibawanya – entah disengaja atau tidak – jatuh dan pecah berkeping-keping. Namun, ia jelas marah, kecewa dan frustasi. Ia barangkali membanting kedua loh batu itu karena merasa gagal: apa gunanya mencoba mengajarkan kehendak Tuhan kepada orang-orang Israel kalau mereka tidak mau mendengarkan? Setelah kejadian itu, Tuhan memanggil Musa kembali ke puncak gunung dan bersama-sama mereka membuat kembali loh batu pengganti yang baru.

Akhirnya, Musa dikecewakan Tuhan. Setelah hampir 40 tahun lamanya memimpin orang yang tak tahu berterima kasih ini, Musa menerima ganjaran yang sudah barang tentu tidak pantas untuk diterimanya hanya karena “masalah sepele”. Ketika Musa diperintah Tuhan untuk menyuruh bukit batu agar menyemburkan banyak air – ketika orang Israel kehausan – Musa justru memukul bukit batu itu dengan tongkatnya. Tuhan memberi tahu Musa bahwa karena ia tidak mengikuti perintah-Nya, Musa tidak akan pernah memasuki Tanah Perjanjian (Bil. 20:2-12).

Jelas, ini tidak adil bagi Musa. Apakah Musa tidak bisa dimaafkan karena kesalahan sepele itu? Mungkin Tuhan memaafkannya. Tetapi hukumannya tetap: Musa tetap tidak boleh masuk ke Tanah Perjanjian. Barangkali ini semacam pukulan telak kedua bagi Musa dalam hal rentetan frustasi dan rasa kecewa.

Musa ternyata manusia biasa – sama seperti Anda dan saya. Hatinya terbuat dari kaca yang mudah pecah berkeping-keping. Ia sering dikecewakan – bahkan ia sendiri merasa kecewa pada Tuhan.

Tapi, coba lihat: apakah Musa pernah mundur dari apa yang ia rasakan sebagai panggilannya? Musa memiliki mimpi – mimpi membawa bangsanya memasuki Tanah Perjanjian, memasuki suatu hubungan yang baru dan kudus dengan Tuhan sendiri. Ketika mimpi ini hancur seperti 2 loh batu yang hancur, Musa ternyata tidak pernah berhenti bermimpi. Apa yang terjadi adalah ia kini membangun mimpi yang baru – mimpi yang sudah memperhitungkan pengalaman kekecewaannya pada masa lalu. Ia tidak pernah mundur dari visi-misi yang dimimpikannya. Ia kini hanya membuatnya cukup realistis.

Ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, rasanya mudah bagi kita untuk melakukan hal yang benar dan berat. Namun, kita tahu, ukuran sesungguhnya terhadap karakter seseorang adalah sikapnya ketika semua berjalan dengan buruk. Dalam kehidupan Musa, adegan kunci yang menjadi kisah utama dari kehidupannya adalah ketika Musa digambarkan mengumpulkan loh batu yang berserakan itu dengan penuh kasih dan meletakkannya di dalam Tabut Perjanjian, berdampingan dengan loh batu yang baru dan utuh.

Musa tidak membuang mimpi lamanya yang hancur berkeping-keping itu; tetapi ia mengumpulkan dan menyimpannya, bersama dengan mimpi-mimpi barunya. Mengapa? Agar ia selalu mengingat mimpi yang pernah dimilikinya dan pelajaran yang pernah didapatnya. Musa tetap ingin mengingat bahwa ia pernah punya impian yang lebih berpengharapan, impian yang mengisi sebagian besar jiwanya, sehingga ia tiak bisa dan tidak mau melupakannya. Ia mau mengingat bahwa ia pernah memimpinkan sesuatu yang hebat, yang ternyata berubah menjadi sesuatu yang berada di luar genggamannya. Namun, ia tidak mau kenangan itu tercetak dalam benaknya sebagai sebuah kegagalan.

Kepingan harapan yang pecah tidak akan menjadi batu berat yang menghalangi langkahnya. Kepingan tersebut justru akan menjadi batu pijakan, menjadi landasan dari keberhasilan pada masa depan.

Kisah loh batu yang pecah mengajarkan bahwa saat meninggalkan jalan kita yang lama, penting bagi kita untuk tetap berpegang pada keindahan dan inti dari mimpi yang pernah kita pegang teguh. Kita menjadi lebih bijak dan lebih dewasa, sedangkan mimpi masa muda kita diganti dengan yang lebih nyata dan bertahan. Toh, akhirnya, baik yang utuh dan yang hancur akan berdampingan dalam diri kita – sesuatu yang tetap menjadi bagian dari kita, yang membuat kita justru lebih kuat pada bagian di mana kita pernah merasakan sakit.

Amin.