Senin, 30 Juni 2008

Di Atas Langit Masih Ada Langit, Di Atas “P” Masih Ada “M”, Di Atas “M”…

Entah ditangkap atau menyerahkan diri, itu fakta yang tidak begitu menarik untuk orang yang berstatus “kolong jembatan” seperti saya. Namun, penangkapan mantan petinggi Badan Intelijen Negara Muchdi Pr pada hari Kamis (19/6) lalu, membuka babak baru dalam kasus pembunuhan Munir.

Apa yang banyak dicurigai oleh banyak orang ternyata mendekati kenyataan (atau tidak?): Di atas Polly, masih ada orang lain…

Seperti sudah kita ketahui bersama-sama, kasus pembunuhan Munir tidak kunjung menunjukkan titik terang, bahkan ketika tersangka Pollycarpus akhirnya divonis hukuman penjara oleh pengadilan. Masalahnya, orang selalu bertanya dan bertanya: “Apa urusannya seorang pilot dengan seorang aktivis hak asasi manusia sehingga yang pertama berniat membunuh yang kedua?”

Kecurigaan orang bahwa Polly tidak bekerja sendirian – atau tepatnya cuma sebagai pion/pelaku lapangan – mulai sedikit terkuak. Boleh jadi Polly memang benar-benar hanya pelaku lapangan, sementara di belakangnya adalah orang yang kini sudah resmi menjadi tersangka Polri, yaitu Mr. M.

Namun, setelah mendengar komentar beberapa orang, termasuk pengacara Mr. M, ada kemungkinan Mr. M ini juga bukan “author intelectualis” – setidaknya “author intelectualis” tunggal – dari kasus Munir. Lalu, pertanyaan yang menarik adalah: apakah di atas “M” masih ada yang lain? Auk ah gelap

Pertanyaan dari kaum awam sebenarnya masuk akal. Bukannya kita hendak mengaitkan hal ini dengan teori konspirasi yang cukup laku keras di kalangan masyarakat – walaupun pendekatan “teori konspirasi” bukanlah sesatu yang 100% haram dalam berbagai kasus hukum dan politik. Namun, pertanyaan itu lebih muncul dari akal sehat dan “kegemaran” masyarakat atas tuntasnya dan kejelasan suatu kasus.

Bukan suatu yang tabu dan dilarang jika masyarakat lebih suka menduga-duga suatu kasus – entah dalangnya, entah motifnya atau yang lain dari kasus tersebut. Ketika penjelasan rasional yang adekuat atas suatu kasus hukum atau politik dirasakan vakum oleh masyarakat, tentunya masyarakat merasa berhak untuk membuat semacam teori. Teori-teori ini tidak harus lebih masuk akal atau rasional ketimbang “teori” yang dibuat oleh juru bicara pemerintah – entah kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung atau dari kalangan istana. Teori ini juga tentunya tidak harus lebih benar atau sahih (baca: sesuai dengan kenyataan) ketimbang teori mana pun juga.

Namun, teori bikinan masyarakat menjadi suatu sarana “jalan keluar” dari tengah-tengah situasi kebingungan atau keterombang-ambingan yang mereka alami. Jelas “jalan keluar” itu bukanlah suatu “jalan keluar” yang ideal. Namun, “jalan keluar” dalam bentuk “teori tandingan” menjadi sah dan perlu – itu bukti bahwa masyarakat adalah masyarakat yang kritis, sadar, informed, bahkan cerdas.

Kita paham dan sadar bahwa pemerintah tidak begitu saja memberi informasi A atau B atau C atau yang lain mengenai kasus-kasus yang ditangani oleh aparatnya (kepolisian, kejaksaan, KPK atau yang lain). Namun, transparansi, konsistensi, koherensi dan kesinambungan di antara semua lembaga pemerintah – terkait suatu kasus – dalam memberikan jawaban dan informasi yang dibutuhkan masyarakat sangat membantu dalam mencegah beredarnya isu-isu (baca: “teori alternatif”) di tengah masyarakat.

Kasus Munir bukan hanya satu-satunya kasus di mana masyarakat membuat “teori tandingan” atau “teori alternatif” tersebut. Anda dapat menyebut yang lain. Kita berharap, semoga kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dapat diselesaikan dengan baik, satu per satu, secara transparan.

Bagi kita, barangkali tidak penting bahwa si A atau si B yang ternyata memang benar-benar melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia; yang jauh lebih penting adalah ketegasan pemerintah mengambil tindakan dan menjelaskan secara transparan tindakan tersebut.

Semoga…

Tidak ada komentar: