Senin, 04 Februari 2008

Renungan Basi: Banjir Jakarta…

Benar. Anda tidak keliru membacanya. Ini renungan basi. Benar-benar basi: banjir. Mengapa basi? Sudah banyak refleksi dan renungan – tentunya tidak termasuk analisis ilmiah dan opini “tingkat tinggi – terkait dengan banjir di Jakarta.

Lebih dari sekadar menjadi bahan renungan, bahan diskusi, bahan analisis atau malah debat kusir di kursi-kursi kosong di parlemen, banjir di Jakarta sudah memasuki tahap berikut ini: tahap acuh tak acuh. Banjir di Jakarta sudah memasuki tahap ketika orang-orang malas lagi membahasnya, membicarakannya atau sekadar mengingatnya dalam doa-doa mereka.

Itu yang terjadi pada banjir yang melanda Jakarta pada Jumat 1 Februari 2008 kemarin. Saya heran. Benar-benar heran, karena ketika pulang dari kantor pada hari itu dan ikut rapat dalam suatu perkumpulan, saya tidak memperoleh tanggapan yang “memadai” (baca: diharapkan) dari rekan-rekan dalam rapat ketika saya membicarakan banjir. Bukannya mereka orang yang rajin ikut rapat sehingga materi di luar rapat diharamkan untuk dibicarakan, tetapi mereka benar-benar tidak berminat lagi dengan masalah banjir ini. Mereka tidak lagi berbicara tentang betapa hebohnya ketika mereka harus berkeliling atau “memutar” atau “mencari-cari jalan” karena terhadang banjir. Mereka memang mengalaminya, tetapi tersirat atau tersurat, mereka merasa tidak asyik lagi membicarakan hal itu. Entah mengapa. Apakah karena mereka sudah bosan?

Atau, apakah karena mereka bukan korban banjir yang sesungguhnya, yaitu orang-orang yang rumahnya tergenang sekian sentimeter atau sekian meter oleh air banjir? Eiiits, jangan salah paham. Dari orang-orang yang rumahnya tergenang pun, saya tidak memperoleh tanggapan yang “memadai”. Mereka hanya bilang, “Iya. Air naik mulai kemarin siang, dan baru surut menjelang dini hari tadi. Cuma selutut.” Lalu mereka mulai beralih ke topik lain. Apakah mereka malu karena rumah mereka kebanjiran? Rupanya tidak. Mereka tetap memberikan “informasi” yang diperlukan oleh orang-orang yang ingin tahu, seperti berapa ketinggian banjir, kapan surutnya, etc, etc. Apakah mereka sudah “kebal” dan “terbiasa” dengan banjir? Ini masih bisa diperdebatkan. Sesaat, mereka tampaknya memang sudah “terbiasa” sehingga agak “bosan” berbicara tentang soal kebanjiran ini.

Di balik fenomena ini, tampaknya ada semacam “pelembagaan sikap”, entah dari korban banjir, baik langsung maupun tidak langsung. Sikap yang “terlembagakan” tersebut – sayangnya – adalah sikap “acuh tak acuh” atau semacam “apa boleh buat”. Hal yang paling parah adalah sikap sikap ini juga menjadi umum di kalangan wakil rakyat (DPRD Jakarta) dan para decision maker di kota ini (baca: gubernur dan para aparatnya). Bayangkan, bagaimana jika para wakil rakyat dan gubernur juga memiliki sikap yang sama: apa boleh buat, mau diapakan lagi.

Barangkali, gubernur dan wakil rakyat menjadi orang-orang yang paling males dalam membicarakan banjir. Mereka sudah semakin terbiasa, rakyat semakin terbiasa – dan gilanya para korban banjir pun semakin terbiasa (karena toh tidak ada gunanya mengharapkan perubahan).

Bahkan, saya pun memiliki sikap sama karena tulisan ini pun diberi judul: “renungan basi: banjir Jakarta”. Apa memang benar renungan tentang banjir di Jakarta sudah memasuki tahap “basi” sehingga tidak enak lagi untuk dibicarakan atau dibahas. Benar-benar gila…

Tidak ada komentar: