Selasa, 06 Mei 2008

Mengapa Saya Bukan Ateis? (2)

BADU: “Saya mau kembali ke masalah ‘konsep’ tadi. Kamu membantah bukti saya tadi –Tuhan yang bertentangan dengan dirinya sendiri – dengan mengatakan bahwa itu cuma konsep. Bukankah Tuhan sendiri cuma konsep?”
AGUS: “Benar. Kata Tuhan dan pengertian di dalamnya memang konsep dan sebagai konsep dapat dikonsep ulang, diperbaiki, bahkan dibuang kalau sudah gak diperlukan lagi.”
BADU: “Bukankah itu bukti bahwa Tuhan memang hanya konsep?”
AGUS: “Konsep tentang Tuhan berbeda dengan Tuhan itu sendiri.”
BADU: “Kita tidak dapat berpikir tanpa konsep, di luar konsep. Ingat itu!”
AGUS: “Maksudnya?”
BADU: “Konsep dalam arti tertentu adalah suatu realitas…”
AGUS: “Tunggu, tunggu. Berarti, karena Tuhan ada konsepnya, bukankah kamu harus konsekuen dengan mengatakan bahwa Tuhan juga harus ada dalam realitas…”
BADU: “Bukan begitu. Hanya konsep yang logis dan rasionallah yang ada dalam realitas.”
AGUS: “Contohnya?”
BADU: “Konsep2 dalam ilmu eksakta dan sebagainya. Konsep tentang relativitas dalam fisika, konsep tentang evolusi dalam biologi, dan konsep2 lain.”
AGUS: “Pernahkah kamu mendengar bahwa konsep geosentris – matahari dan semuanya mengelilingi bumi dan bumi adalah pusat alam semesta – menjadi sesuatu yang dipegang oleh banyak orang pada masa tertentu?”
BADU: “Ya, saya pernah dengar, tetapi…”
AGUS: “Tunggu, tunggu. Aristoteles, Ptolemeus, dan banyak ilmuwan pada masa tertentu berpegang pada suatu konsep. Ini wajar. Konsep digunakan sbg hipotesis. Hipotesis harus dianggap benar kalau belum dibuktikan keliru. Datang Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei. Walaupun agak sulit, akhirnya hipotesis tandingan mereka – baca ‘konsep mereka’ – dianggap lebih benar dan memang akhirnya dibuktikan sebagai benar. Ini artinya apa? Dalam dunia ilmiah, konsep2 datang dan pergi; yang lama diganti dengan yang baru, diperbaiki, dipertajam dsb.”
BADU: “Bukankah itu bukti bahwa konsep tentang Tuhan dapat keliru sehingga Tuhan sebenarnya kemungkinan bisa tidak ada.”
AGUS: “Hahahahaha. Ron, Ron. Kita muter2 lagi. Lha, seperti Copernicus dan Galileo, ajukan konsep atau hipotesis tandingan terhadap konsep/hipotesis orang beragama yang mengatakan bahwa Tuhan itu ada. Ajukan konsep atau hipotesis bahwa Tuhan tidak ada! Ini baru namanya ilmiah…”
BADU: “Gimana saya dapat mengajukan konsep atau hipotesis bahwa Tuhan tidak ada jika saya yakin akan ketidakberadaan Dia?”
AGUS: “Justru itu. Suatu konsep atau hipotesis harus bersedia diuji secara ilmiah, bukan berdasarkan keyakinan.”
BADU: “Oke. Buktikan konsep/hipotesis kalian bahwa Tuhan memang ada.”
AGUS: “Tuhanlah yang menjadi penggerak pertama yang tidak digerakkan. Tuhanlah yang meletakkan ‘sel purba’, yang pada saat Big Bang menjadi ribuan bahkan jutaan galaksi. Sekarang ajukan konsep/hipotesis tandingannya dari sudut pandang ateis…”
BADU: “Tunggu. Dari mana kamu tahu, bahwa Tuhanlah yang meletakkan sel purba dan membuat Big Bang?”
AGUS: “Berdasarkan penalaran logis secara induktif. Segala sesuatu di dunia ini ada penyebabnya. Dan di antara semua penyebab itu, ada yang menjadi sebab bagi yang lain, yaitu suatu sebab yang tidak disebabkan. Semacam: penyebab awal, suatu penggerak awal, yang tidak digerakkan dan tidak disebabkan.”
BADU: “Gila! Apakah penyebab ini dapat dilihat dan dibuktikan?”
AGUS: “Tidak dapat dilihat, tetapi dapat dibuktikan dengan menggunakan logika. Itulah yang namanya logika induktif.”
BADU: “Tetapi tetap kelihatan tidak logis di dalam pikiran saya.”
AGUS: “Sekali lagi. Buktikan atau ajukan konsep atau hipotesis yang logis mengenai munculnya sel purba tersebut.”
BADU: “Saya bukan ahli kosmologi atau astronomi. Seharusnya keberadaan sel purba tersebut dapat dibuktikan secara logis dan ilmiah tanpa membawa-bawa konsep ‘penyebab awal’.”
AGUS: “Buktikan dong…Selama belum dapat dibuktikan, saya masih akan berpegang pada hipotesis awal saya: Tuhan memang ada. Kamu dapat menyanggahnya hanya dengan mengajukan konsep/hipotesis tandingan: Tuhan memang tidak ada. Buktikan Ron…”
BADU: “Hei! Jangan curang! Kamu tidak dapat membuktikan konsep/hipotesis bahwa Tuhan memang ada secara memuaskan. Mengapa saya harus membuktikan konsep/hipotesis Tuhan tidak ada?”
AGUS: “Setidaknya, saya sudah mencoba membuktikan. Sekarang giliran kamu untuk membuktikan. Tidak masalah deh, kalau pembuktian kamu tidak memuaskan.”
BADU: “Oke. Alam semesta sudah ada begitu saja, mulai dari ‘sel purba’, terjadi Big Bang, lalu alam semesta mengembang, kemudian mengerut, dan kembali menjadi ‘sel purba’ lagi, Big Bang lagi, dst, dst.”
AGUS: “Dan itu bukti bahwa Tuhan tidak ada?”
BADU: “Ya. Setidaknya Tuhan tidak perlu di sini.”
AGUS: “Lha gimana sih? Tuhan itu tidak ada atau Tuhan tidak perlu. Itu 2 konsep yang sangat berbeda. Konsep ‘Tuhan tidak perlu dalam semua proses yang terjadi di alam semesta’ sama sekali tidak bertentangan dengan konsep ‘Tuhan memang ada’. Soalnya dari konsep ‘Tuhan tidak perlu’, ini berarti Tuhan bisa saja ada, tetapi memang Dia tidak terlibat atau tidak perlu ikut campur dalam alam semesta. Itu beda banget…”
BADU: “Astaga, mau mu apaan sih?”
AGUS: “Ya bukti dari konsep/hipotesis bahwa Tuhan memang tidak ada. Itu yang saya inginkan!”
BADU: “Hei, saya sudah membuktikan bahwa alam semesta tidak diciptakan Tuhan. Itu sudah cukup.”
AGUS: “Sebenarnya itu belum cukup. Tapi saya gak mau persoalkan itu. Saya mau persoalkan ini: Tuhan tidak ada, karena ternyata alam semesta dan segala isinya tidak diciptakan Tuhan. Coba bandingkan ini: Saya tidak menciptakan Susilo (Susilo diciptakan oleh ayah dan ibunya sendiri lewat persetubuhan dan proses biologis antara sel telur ibunya dan sperma ayahnya). Apakah ini bukti bahwa saya tidak ada?”
BADU: “Brengsek! Apakah saya harus menunjuk batang hidung Tuhan untuk membuktikan bahwa dia tidak ada?”
AGUS: “Hahahahaha. Itulah dilema paradoksal yang harus kamu lakukan! Mencari sesuatu untuk membuktikan bahwa sesuatu tersebut memang tidak ada.”
BADU: “Bukankah itu contradictio in terminis?”
AGUS: “Tidak, kalau menurut Karl Popper. Menurutnya, jalan pembuktian yang valid adalah justru mencari sesuatu yang bertentangan atau dapat menjatuhkan suatu hipotesis atau premis universal.”
BADU: “Apa itu?”
AGUS: “Anggap saja ini hipotesisnya: Tuhan memang ada. Nah, sebagai ilmuwan, kamu harus mencari bukti/premis minor yang dapat menjatuhkan premis universal tersebut. Sebelum dapat menemukan premis minor – yang biasanya bersifat empiris – hipotesis atau premis universalnya dianggap benar.”
BADU: “Bukankah dapat dibalik, saya punya premis universal: Tuhan tidak ada. Dan giliran kamu mencari bukti empiris yang dapat menjatuhkan premis univesal tersebut.”
AGUS: “Astaga, kita muter lagi kalau begini. Saya sudah mencari, dan sudah ketemu: Alam semesta dan seisinya. Itulah bukti empiris yang dapat menjatuhkan premis/hipotesis Tuhan tidak ada.”
BADU: “Itu bukti yang meragukan.”
AGUS: “Setidaknya saya sudah mengajukan bukti empiris. Sekarang giliran kamu mengajukan bukti empiris yang dpt menjatuhkan hipotesis/premis universal bahwa Tuhan memang ada. Ingat, buktinya harus empiris.”
BADU: “Gila. Mencari bukti empiris atas ketidakadaan, ketiadaan, ketidakberadaan sesuatu. Karena memang tidak ada, bagaimana cara membuktikannya secara empiris? Itu sih gila!”
AGUS: “Itu dia. Cari batang hidung Tuhan, untuk membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada. Aneh bukan? Sayangnya, kamulah yang berada dalam posisi tersebut. Saya cuma minta 1 bukti empiris saja yang dapat menjatuhkan hipotesis atau premis universal bahwa Tuhan memang ada…Cari 1 bukti empiris tersebut, Ron. Jika tidak mencoba mencarinya, dan bahkan kamu tidak mempunyai bukti tersebut, maka ke-ateis-anmu tidaklah lebih dari seperangkat keyakinan fanatik, mirip dengan sejenis blind faith yang dimiliki oleh para teroris. Gimana?”

............[to be concluded]

Tidak ada komentar: