Senin, 09 Juni 2008

J.R.R. Tolkien: Simbolisasi Gandalf, Frodo, dan Aragorn

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa J.R.R. Tolkien – penulis novel trilogi terkenal: The Lord of the Rings – adalah seorang Katolik yang saleh. Anda yang mau membaca biografi Tolkien, dapat ke link ini: http://en.wikipedia.org/wiki/J._R._R._Tolkien

Namun, di sini, saya mau membahas sedikit, mengenai unsur-unsur Katolisisme dalam berbagai tulisannya. Memang, tidak semua tulisan Tolkien akan saya bahas – paling-paling cuma yang populer saja, yaitu trilogi the Lord of the Rings (kok, standar, yaah?).

Anda yang tertarik dengan topik ini bisa mendatangi link-link berikut ini:
http://www.catholicqanda.com/LOTR.html
http://tolkienandchristianity.blogspot.com/
http://treasuresofgrace.com/tolkien/
http://www.tolkiensociety.org/

Namun, saya ingin menguji tesis yang dibuat oleh salah satu link di atas (nggak tahu link yang mana – cari saja sendiri): tiga tokoh dalam trilogi The Lord of the Rings (Gandalf, Frodo, dan Aragorn) adalah simbolisasi dari Yesus Kristus sendiri, terutama terkait dengan fungsi-Nya: Imam, Nabi, dan Raja.

Mari kita lihat satu per satu apa yang sudah dilakukan oleh karakter-karakter di atas sehingga bisa disebut sebagai “simbolisasi Kristus”.

Gandalf. Jelas, dia adalah tokoh yang paling “rohani” ketimbang Frodo dan Aragorn: pakaian yang putih (awalnya abu-abu), membawa tongkat, jenggot putih panjang melambai-lambai, kata-katanya sangat bijak dan penuh dengan nasihat. Orang tidak akan terlalu sulit untuk melihat persamaan karakter Gandalf dan berbagai karakter dalam Alkitab. Tentu dengan Yesus, kita juga akan melihat beberapa kemiripan, seperti misalnya transformasi dari Gandalf the Grey menjadi Gandalf the White, yang terjadi ketika Gandalf seolah-olah – atau sebaiknya: “dikira” – mati (The Fellowship of the Ring). Tentu, Yesus bukanlah seolah-olah mati; Dia memang mati beneran. Namun, toh, pengalaman “tersingkirkan”, “mati” (atau “dikira mati”), “terbuang”, “kalah” yang dialami oleh mereka berdua memang cukup dekat dan agak mirip.

Lalu, pengalaman “bangkit dari kematian” yang dialami oleh Gandalf pun cukup mirip. Gandalf ternyata tidak kalah – dan juga tidak mati! Ia mengalami suatu proses yang barangkali memang harus dia lewati. Ia kembali sebagai pemenang, dengan berubah menjadi seseorang yang lebih bijak, dengan suatu status yang lebih tinggi: “the white”, dengan jubah putihnya. Kesamaannya dengan peristiwa Yesus memang ada, walaupun peristiwa Yesus jauh lebih transformatif dan lebih mendalam. Toh, kesan “mukjizat” dan unsur surprise tetap kelihatan dan – dalam kasus Gandalf terutama – sangat menghibur (dalam kebangkitan Yesus pun, peristiwa itu sangat menghibur dan membuat suka cita sebagaimana terdengar dari madah paskah).

Frodo. Ini agak sulit. Perjalanan susah payah Frodo ke Gunung Mordor jelas memiliki paralel dengan perjalanan Yesus ke Bukit Golgota. Namun, jika Frodo pernah sekali dua kali tampak putus asa (seperti kelihatan dalam Two Tower), Yesus jelas tidak pernah putus asa (walaupun dalam satu doa-Nya ia sempat berucap: “jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku (Mat. 26:39). Namun, Yesus segera menambahkan: “tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Salib yang dipanggul Yesus tidak identik dengan cincin yang dibawa Frodo walaupun keduanya merupakan beban yang menyakitkan. Salib pada Yesus sarat dengan lambang pengorbanan, bukan lambang kekuasaan sebagaimana cincin yang dibawa Frodo. Frodo sekali-dua kali tergoda menggunakan cincin (akhirnya ia secara sadar menggunakannya pada akhir trilogi) – ini wajar karena cincin tersebut merupakan lambang kekuasaan, sesuatu yang sangat nikmat dan menyilaukan mata. Salib Kristus tidak menyilaukan mata dan jauh dari kenikmatan duniawi. Ia justru disingkirkan – bahkan saya yakin, jika Kristus diberi kesempatan oleh Bapa-Nya untuk memilih antara memanggul salib dan tidak memanggul salib, secara manusiawi, Ia pasti memilih tidak memanggul salib.

Namun, kesamaannya jelas: Kristus dan Frodo sama-sama harus menanggung beban, penderitaan, sesuatu yang barangkali tidak mereka inginkan, namun sudah ada di depan mata dan di atas pundah mereka. Keduanya tetap setia sampai garis akhir perjuangan, dengan sedikit perbedaan: Kristus tidak tergoda untuk memanfaatkan salib (memangnya ada salib yang bisa dimanfaatkan. Hehehehe) sementara Frodo sempat tergoda menggunakan cincin. Jelas karakter pribadi kedua tokoh memang berbeda, sementara media yang diperjuangkan juga berbeda: cincin lambang kekuasaan dan salib tanda penderitaan dan penebusan. Cincin harus dimusnahkan, sementara salib harus dipikul, ditegakkan antara bumi dan langit.

Aragorn. Sepintas, wajah-wajah Yesus dalam berbagai lukisan populer sudah agak mirip dengan karakter yang dimainkan oleh Vigo Mortensen dalam film garapan Peter Jakcon atas trilogi Tolkien. Namun, Aragorn dalam novel-novel asli Tolkien, menurut hemat saya pribadi, jauh lebih agung dan berwibawa. Jelaslah, citra seorang raja mesianik dalam Alkitab lebih cocok dengan gambaran dalam novel ketimbang film. Namun, memang bukan itu yang penting. Apakah Aragorn memiliki kemiripan dengan Yesus sebagai Raja Mesianik?

Tentu, tidak, kalau dilihat bahwa Aragorn adalah seorang raja yang berpedang dan menunggang kuda – dua hal yang agak asing dengan Yesus. Namun, walaupun begitu, Yesus tetaplah seorang “raja”, karena tahkta Daud memang akan diberikan kepada-Nya: “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya.” (Luk. 1:32). Jelas takhta di situ adalah takhta raja, bukan yang lain. Namun, bagaimanakah Yesus menjadi raja?

Tipologi raja mesianik dalam Perjanjian Lama banyak yang cocok dan memang digenapi secara telak oleh Yesus, tetapi tentunya bukan yang “naik kuda” dan “mengayunkan pedang”. Namun, peristiwa Yesus yang di-raja-kan tidak muncul secara dramatis atau mentah dalam keempat Injil. Para penulis Injil memang menceritakan kepercayaan para pengikut-Nya bahwa guru yang diikuti adalah seorang raja, walaupun dengan sedikit perbedaan dan sedikit koreksi di sana-sana. Toh, figur raja yang sangat dinanti-nantikan – jika memang dalam arti seperti inilah Yesus “menjadi raja” – memiliki kemiripannya dengan karakter Aragorn. Aragorn pun mengisi takhta yang sudah lama kosong – dan ia memperolehnya dengan tidak mudah, penuh perjuangan. Jelas, ada kemiiripan sedikit di sini (tentunya tidak perlu dilebih-lebihkan atau dipaksakan).

Kembali kepada Tolkien. Seberapa Kristenkah Tolkien – atau seberapa Katolikkah Tolkien? Ini agak sulit dijawab. Link-link di atas menunjukkan banyak unsur yang dapat membantu kita mengidentifikasikan berbagai unsur Katolik – atau setidaknya Kristiani – dalam tulisan-tulisan Tolkien. Namun, sakramentalitas adalah hal yang cukup kelihatan dalam kisah-kisah Tolkien, yaitu simbol-simbol dari kejahatan atau kebaikan. Simbol-simbol tersebut sangat riil, nyata dan insani. Manusia-manusia yang terlibat di dalam – melalui dan bersama – simbol-simbol itu begitu dipengaruhi dan mempengaruhi manusia lain. Jelas, itu bukan simbol dalam arti “konseptualistis”, yang abstrak dan mengawang-awang. Simbol “konseptualistis” seperti itu pasti tidak berpengaruh apa-apa terhadap manusia, karena kita dapat mengabaikan dan melarikan diri darinya. Namun, simbol-simbol dalam tulisan Tolkien sangat menyentuh, menjadi “hidup” dan “mati” bagi orang-orang yang berinteraksi dan terkait dengannya: orang harus memilih atau menolak – tidak bisa apatis. Dengan simbol itu, manusia-manusia di dalam kisah Tolkien dapat menjadi hidup atau bahkan mati (jadi, jangan salah pilih…). Simbol itu – sekali lagi – riil. Itulah “sakramentalitas Katolik” ala Tolkien.

Sebagai penutup, mungkin saya harus mengutip salah satu tulisan favorit saya dari Tolkien:

The only cure for sagging or fainting faith is Communion. Though always itself
perfect and complete and inviolate, the Blessed Sacrament does not operate
completely and once for all in any of us. Like the act of faith it must be
continuous and grow by exercise. Frequency is of the highest effect. Seven times
a week is more nourishing than seven times at intervals. . . .[ Excerpted from a
letter to Tolkien's son Michael written on November 1, 1962 (Letters of J. R. R.
Tolkien, Humphrey Carpenter, ed., Houghton Mifflin Co. [1981], pp. 337-9)]

Tidak ada komentar: