Kamis, 05 Juni 2008

The Gospel according to Peanuts


Bagaimana kalau seekor anjing dan sekelompok bocah kecil menulis Injil? Suatu Injil yang kira-kira berisi dialog seperti ini:

“You know what the trouble with you is, Charlie Brown?”
“No; And I don’t want to know! LEAVE ME ALONE!”
“The whole trouble with you is you won’t listen to what the whole trouble with you is!”

Tiba-tiba saja, saya mendapatkan sebuah buku yang agak lusuh di meja saya. Entah siapa yang mengirim atau tidak sengaja meletakkannya di meja saya yang “agak” berantakan. Buku tersebut lusuh, karena memang sudah tua (selidik punya selidik, ternyata seorang teman meminta saya membacanya karena ia kecewa karena buku tersebut tidak jadi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).

Buku ini merupakan edisi Inggris (diterbitkan oleh penerbit Fontana, Inggris, 1966) dari buku dengan judul yang sama yang diterbitkan oleh Westminster John Knox, Amerika Serikat (tahun 1965). Westminster John Knox menerbitkan seri “The Gospel according to…” (salah satunya – The Gospel according to Oprah, dalam versi Indonesianya: Injil menurut Oprah – sudah pernah saya resensi di sini di tempat lain.

Bagi Anda yang berminat mendalami Peanuts dan hal yang terkait, mungkin Anda dapat mejelajahi link-link di bawah ini:
http://www.snoopy.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Peanuts
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Gospel_According_to_Peanuts (link ini berisi versi WJK atas buku ini dengan cover yang berbeda).

But, mari kita bicara tentang buku ini. Peanuts menandai lahirnya sebuah era, yaitu kebangkitan komik strip setelah era Perang Dunia Ke-2. Selain Peanuts, Amerika juga kebanjiran komik-komik hero. Namun, Peanuts tetaplah sesuatu yang unik. Sekelompok bocah, dengan Charlie Brown sebagai pusatnya, dan seekor anjing – Snoopy, yang menjadi trade mark dan sering “dibajak” di seluruh dunia – merupakan daya pikat tersendiri. Pencipta dan penulis komik Peanuts, Charles M. Schulz. Schulz adalah seseorang yang berlatar Presbiterian. Dan hal ini kadang-kadang menjadi jelas dalam karyanya.

Buku ini, yang ditulis oleh Robert L. Short, barangkali menjadi pelopor bagi suatu genre – kalau ini mau dibilang sebagai genre: suatu perenungan yang mendalam atas segala sesuatu dengan media komik. Perenungan tersebut tidak selalu bersifat filosofis atau teologis, namun tetap memiliki kedalaman tertentu.

Penggunaan karakter anak-anak membuat perenungan tersebut kadang terdengar sinis, satiris, atau ironis. Namun, kalau ditelaah lebih jauh, anak-anak adalah wakil dari manusia juga – yaitu ketika manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan terakhir, tertinggi, dan terdalam mereka: waktu, hidup, mati, Tuhan, dan kemanusiaan itu sendiri. Tidak mengherankan bahwa semua persoalan-persoalan rumit tersebut justru menjadi nyata dan “kena” ketika diperbincangkan oleh anak-anak. Bukankah memang anak-anak yang suka heran mengapa orang bisa meninggal dan mengapa ada kehidupan ketimbang tidak ada – bukankah orang tua biasanya memang sok tahu (karena memang tidak tahu)?

Jadi, penggunaan karakter anak-anak adalah salah satu bentuk kejeniusan Schulz. Anak-anak itu innocent, politically correct. Komentar anak terhadap “kasus-kasus berat” sering tak terduga dan tetap memiliki kedalaman yang luar biasa. Coba simak yang satu ini, dialog antara Charlie Brown dan, Linus, adik Lucy, temannya:

Charlie Brown: “Life is just too much for me…I’ve been confused right from the
day I was born…I think the whole trouble is that we’re thrown into life to fast…
we’re not really prepared.”
Linus: “What did you want…a chance to warm up
first?”

Buku ini terdiri dari beberapa bab. Bab pertama membahas mengenai hubungan antara gereja (baca: agama) dan seni. Bab ini menurut saya menjadi “kaca mata” penulis dalam melihat karya Schulz, Peanuts. Tidak ada yang salah dengan “kaca mata” tersebut. Tapi, “kaca mata” hanyalah salah satu “kaca mata” di antara berbagai “kaca mata”. Saya lebih suka melihat Peanuts sebagaimana di atas, sesuatu yang lebih besar ketimbang gereja dan kekristenan – suatu pesan yang lebih filosofis, human, dan universal. Namun, penilaian kembali kepada para penikmat Peanuts di seluruh dunia.

Namun, “kaca mata” penulis tetap aktual dan “mengena” dengan kondisi sekarang: ketidakmampuan kalangan agama (baca: gereja) dalam menyapa manusia melalui karya seni. Jelas, penulis melihat Peanuts berhasil melakukannya secara baik – sesuatu yang saya setujui. Bab-bab lain dari buku ini, terutama Bab II (“The Whole Trouble”: Original Sin), Bab III (The Wages of Sin Is “Aaaugh”), dan Bab V (The Hound of Heaven) merupakan pembeberan penuh kutipan atas hasil penglihatan melalui “kaca mata” tadi. Apa itu dosa dan situasi paradoks dosa sangat kelihatan dalam dialog-dialog di Peanuts. Selain dua kutipan dialog di atas – yang diambil dari Bab II, dialog berikut juga memperlihatkan siatuasi paradoks keberdosaan manusia:

Lucy: “Discouraged again, eh, Charlie Brown? You know what your trouble is? The whole trouble with you is that you’re YOU!”
Charlie: “Well, what in the world can I do about that?”
Lucy: “I don’t pretend to be able to give advice… I merely point out the trouble!”

“Trouble” atau “whole trouble” sering digunakan oleh Schulz untuk mewakili dosa, situasi serbadosa dan serbasalah yang dialami manusia. Dialog-dialog para bocah Peanuts secara jitu menyoroti hal ini, sekaligus menyimpulkan – tanpa perlu menggurui siapa pun (tentu ada saja orang dewasa yang tersinggung membaca komentar bocah-bocah yang hobinya nyeletuk seperti Charlie Brown dan kawan-kawan. Tapi, kebanyakan di antara kita, tidak begitu, kan?)

Kedosaan atau keserbasalahan itu, menurut penulis, disimbolkan secara baik oleh Schulz pada “security-blanket” yang dimiliki oleh Linus, adik Lucy (hlm. 58). Karakter Linus sebenarnya jauh lebih filosofis dan “cerdas” ketimbang Charlie Brown. Namun, Schulz juga memperlihatkan “kelemahan” tertentu dari Linus: keterikatakan pada sesuatu. Dalam beberapa episoden Peanuts, karakter Linus digambarkan “depresi”, “gelisah”, atau “cemas”, karena tidak menemukan “security-blanket”-nya pada saat-saat ia mengalami semacam “bad day”. Jadi, “blanket” di sini bukan hanya sesuatu yang membuat manusia terikat, tetapi juga membuat manusia nyaman di tengah-tengah situasi tidak nyamannya.

Terkait dengan situasi paradoksal dosa itu, penulis juga mengangkat suatu istilah yang cukup sering diceletukkan baik oleh Charlie Brown maupun karakter lain dalam Peanuts, yaitu istilah: “Good Grief” (ini menjadi pokok dalam Bab IV buku ini). Istilah ini tampaknya memang bertolak belakang: apakah sesuatu yang bersifat “grief” bisa menjadi good”? Saya setuju dengan pendekatan yang dipakai penulis yang langsung memperlihatkan bahwa itulah sebenarnya inti kekristenan. Inilah inti dari Gospel (Injil), seperti kata penulis (hlm. 83): “This is why the gospel, or ‘good news’, is never good news except to those who are already ‘meek and lowly’ or ‘of a humble and contrite spirit’.”

Problem ini dihadapi oleh karakter Lucy yang bertanya-tanya mengapa Allah yang mahakuasa mengizinkan atau seolah-olah membiarkan terjadinya penderitaan di dunia ini. Seperti katanya kepada Charlia Brown suatu saat:

Lucy: “Sometimes I get discouraged”
Charlie: “Well, Lucy, life does have its ups and downs, you know…”
Lucy: “But why?” Why SHOULD it?! Why can’t my life be all “UPS”? If I want all “ups”, why can’t I have them? Why can’t I just move from one “up” to another “up”? Why can’t I just go from an “up” to and “UPPER-UP”? I DON’T WANT ANY “DOWNS”! I JUST WANT “UPS” AND “UPS” AND “UPS”!
Charlie: “I can’t stand it…”

Namun, inti “good grief” dari Injil (dan juga Peanuts) jelas jauh luas ketimbang menerima irama “up” dan “down” dalam hidup. Seperti kata penulis, dengan mengutip Paulus: “Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa. Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia. (Rm. 6:6-8). Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, memang. Suatu pengorbanan yang membawa ke kemenangan yang lebih mulia, yang tak selalu dapat dicerna oleh akal kita.

Mungkin ada yang bingung ketika membaca tulisan ini: mengapa saya tidak menyebut-nyebut karakter Snoopy – karakter yang jarang berbicara (tentu karena dia adalah seekor anjing, yang dalam beberapa episode sering digambarkan “berkata-kata dalam hati”)? Saya sengaja menyisakannya untuk bagian terakhir. Si penulis mempunyai gambaran yang sangat dahsyat tentang Snoopy: Snoopy adalah gambaran Yesus Kristus sendiri! Karakter Snoopy adalah semacam “Kristus kecil”, yang menjadi simbol “ambivalen” dari karya Kristus sendiri: “humbling the exalted and exalting the humble.” (Yoh. 9: 39: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta.”). Ambivalensi Kristus dengan tepat digambarkan Snoopy: bijak-mulia, tetapi sering diremehkan.

Barangkali, kalau penilaian penulis atas Snoopy terlalu tinggi, saya lebih baik melanjutkan pendekatan pertama di atas: jika anak-anak TIDAK DAPAT dikatakan menggurui jika mereka berceloteh tentang hidup, mati, waktu dan Tuhan….apalagi seekor anjing. Seekor anjing jelas jauh lebih innocent. Jelas, karakter “tanpa dosa” Snoopy bisa dengan bebas menjadi hakim atas siapa saja – bukan hanya pembaca – tetapi juga para karakter manusia di dalam Peanuts. Jadi, jika para bocah menjadi “guru bagi pembaca” tanpa perlu “menggurui pembaca”, maka karakter Snoopy dapat menjadi “manusia yang arif-bijak bagi semua orang (baik pembaca atau bukan)” tanpa perlu “menjadi manusia”.

Akhirnya, untuk menutup review ini, mungkin lebih bagus kalau saya mengutip suatu dialog antara Charlie Brown dan Linus, saudara Lucy – Charlie dan Linus sedang berdiri mengelilingi pohon yang masih kecil:

Charlie: “It’s a beatitul little tree, isn’t it?”
Linus: “Yes, it is…”
Charlie: “It’s a shame that we won’t be around to see it when it’s fully grown.”
Linus: “Why? Where are we going?”

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya sempat menulis artikel tentang Charles Schulz, penulis Peanuts (sayangnya saya lupa ke mana artikel itu sekarang). Satu hal yang saya pelajari darinya ialah bagaimana ia memanfaatkan talentanya untuk menyampaikan nilai universal yang pantas dianut oleh siapa pun. Sehingga pertanyaan yang pantas dilayangkan bagi kita ialah bagaimana memanfaatkan talenta kita untuk menginspirasi orang lain membagikan kasih.

Omong-omong bagi yang berminat melihat Peanuts terakhir yang ditulis almarhum, silakan klik Last Original Strips.

Mata Dunia mengatakan...

Ya, setuju dengan Anda, Mr. Goret. Apakah ada semacam kumpulan komik Peanuts dalam bahasa Indonesia? Atau Anda yg mau mencoba menerjemahkannnya?