Rabu, 20 Agustus 2008

Mengapa Ayu Utami Mengganggu Mimpi-Mimpi Tidur Kita?



Judul Buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Genre: Novel, fiksi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Juni 2008
Tebal: x + 537 halaman
Ukuran: 13,5 x 20 cm

Ayu Utami = Sastra Lendir?
Agak sulit mereview buku Ayu Utami yang terbaru. Maksudnya, saya sulit untuk menetapkan sudut pandang yang mau dipakai: sastranya, isi/tema/topiknya, atau Ayu Utaminya (dan segala predikat yang menempel pada dia)?


Ayu Utami sebenarnya penulis yang kalau dibilang baru, tidak terlalu tepat, tetapi kalau dibilang lama, tidak 100% benar juga. Novelnya yang pertama, Saman, terbit pada tahun 1998 – itu sekitar 10 tahun yang lalu. Jadi, dari segi itu, ia jauh cukup “tua” ketimbang Dee (Dewi Lestari) atau Djenar Maesa Ayu serta para penulis yang muncul pada akhir 1990-an dan 2000-an. Bahkan, banyak orang berujar, Ayulah yang menciptakan “aliran baru” di mana nama-nama tadi dapat dimasukkan dalam genre yang kurang lebih sama.

Namun, Ayu juga dapat dibilang baru, justru dikaitkan dengan “aliran baru” tadi. Ayu, dengan “Saman”-nya, mengawali suatu era baru dalam dunia novel Indonesia. Agak sulit memang untuk memerikan “aliran baru” yang digeluti Ayu dan beberapa perempuan lain tadi. Oleh mereka yang sinis, Ayu dianggap memelopori apa yang disebut dengan berbagai istilah: “sastra lendir”, “sastra selangkangan”, “sastra kelamin”, dan sebagainya.

Mengapa begitu? Aliran tadi – dan juga Ayu Utami sendiri – barangkali memang baru, jika apa yang disebut sebagai – kita pilih satu istilah saja – “sastra lendir” memang merupakan fenomena baru dan belum ada antesedennya dalam dunia sastra atau dunia novel di Indonesia.

Namun, pertama-tama, harus dijawab dulu apa itu “sastra lendir”? Menurut beberapa tulisan yang terbaca, tulisan Ayu Utami – dan genre yang “diciptakannya” – disebut demikian karena mereka mencoba menyajikan unsur-unsur seksual di dalam novelnya secara lebih “terbuka”.

Apakah memang belum pernah ada tulisan semacam itu sebelum Ayu? Mari kita sorot N.H. Dini. Pada ”Pada Sebuah Kapal”, misalnya, Dini juga memasukkan unsur-unsur ”serupa” ke dalamnya. Memang, Dini tidak melakukannya dengan cara yang sama dengan Ayu. Toh, pada waktu itu, orang juga bisa mengatakan bahwa hal-hal semacam itu – yang dilakukan Dini – merupakan hal yang baru dan bahkan ”revolusioner”. Apakah dengan demikian N.H. Dini bisa diklaim sebagai pelopor aliran ”sastra lendir”? Lalu, kebetulan, saya juga sedang membaca novel-novel Arswendo ”Blakanis” (dan mereview ulang ”Kisah Para Ratib”). Di dalamnya, ada juga unsur-unsur seperti itu. Apakah Arswendo juga penganut ”sastra lendir”?

Tampaknya, unsur-unsur seperti itu bukanlah sesuatu yang haram – apalagi baru – di dalam khazanah pernovelan di Indonesia. Memang, ”lendir”-nya memang tidak harus keluar atau tampak jelas – Ayu memang membuatnya semakin jelas (mungkin karena dia adalah anak zamannnya barangkali? Atau lebih tepat: ini lebih merupakan selera, gaya, dan tuntutan cerita), karena toh N.H. Dini dapat melakukannya pada dasawarsa-dasawarsa yang telah lampau, dengan cara yang berbeda.

Barangkali, ”sastra lendir” adalah istilah yang insinuatif . Mengapa, siapa, dan apa dari maksud insinuasi ini, itu di luar tulisan ini untuk membahasnya. Namun, kalau tulisan ini boleh berkata, Ayu Utami justru seorang trend setter, bukan terkait ”sastra lendir”, tetapi terkait kekuatan bernarasi dan berdeskripsinya.

Ayu dan Deskripsi vs Narasi
Ketika saya mencoba membaca ”Bilangan Fu”, saya kebetulan membaca tulisan Goenawan Mohammad (GM) di Bentara Budaya, Kompas (11 Juli 2008). Dalam suatu kesempatan di depan para sastrawan/budayawan yang dulu pernah berseberangan dengannya, GM mencoba melihat perbedaan, kekuatan, dan kelemahan antara sastra yang menitikberatkan antara narasi dan sastra yang bertitik berat pada deskripsi.

Tanpa memasuki diskusi GM di situ (dan tidak 100% menggunakan analisis dia di situ), tulisan ini mencoba melihat bagaimana tulisan Ayu bermetamorfosis dari hanya sekadar bernarasi di dalam ”Saman” menjadi semakin berseimbang antara narasi dan deskripsi di dalam ”Bilangan Fu”.

Coba lihat, bagaimana ia bermewah-mewah dengan kutipan dari berbagai artikel (fiktif maupun bukan), kumpulan kliping (fiktif maupun bukan), analisis mendalam bahkan nyaris lengkap atas berbagai mitologi (Nyi Rara Kidul, Watugunung, dan sebagainya) serta paparan nyaris panjang (atau memang panjang?) dari Babad Tanah Jawi. [Ada satu hal yang menarik bagi saya, sampai sejauh mana Ayu meminta izin media-media massa yang namanya disebut dalam artikel atau kliping tadi. Mengingat banyak berita yang tampaknya imajiner, tentu koran seperti Kompas seharusnya dimintai izin secara resmi oleh Ayu sebelum dicantumkan di dalam novel ini].

Barangkali cara bercerita seperti ini memang cukup membosankan – apalagi bagi mereka yang terbiasa dengan ”Saman” yang kata-katanya sangat, sangat naratif dan pendek-lincah. Dalam ”Bilangan Fu”, kata-kata dan kalimat-kalimat naratif, pendek-lincah pun tetap hadir, namun diimbangi oleh kalimat-kalimat yang sangat deskriptif.

Trend-setterkah Ayu untuk bagian ini? Ya dan tidak. Tidak, karena tentunya sudah banyak novelis atau prosais yang melakukan metode serupa. Mungkin, kita ingat dengan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam Grotta Azzurra (GA). Walaupun Ignas Kleden menilai bahwa novel STA tersebut sebagai ”gagal” (Ignas Kleden, ”STA dan Novel-novelnya”, Kompas, 11 Juli 2008) – karena STA hanya memenuhi novelnya dengan makna-makna referensial dan hampir tidak memberikan pembaca makna tekstual yang lahir dari teks-teks novel tesebut – mengingatkan kita lagi bahwa novel STA tersebut merupakan upaya pertama di negeri ini untuk memunculkan apa yang disebut sebagai ”novel ide”.

Mengapa STA gagal? Novel GA berisi banyak ide-ide besar tentang berbagai hal tetapi tidak dilibatkan dalam event-meaning dialectic dari cerita. Jadi, tokoh, peristiwa dan sebagainya hanya latar yang sebenarnya dapat dihilangkan dari cerita tanpa menghilangkan substansi gagasan yang ingin dituangkan STA. Apakah Ayu begitu juga dengan ”Bilangan Fu”? Jika menggunakan kriteria Kleden di atas, tentunya tidak. Ayu dalam novel terbarunya ini tetap menjalin berbagai ide besarnya dengan tokoh-tokoh ”konkret” dan ”berdarah daging”, sehingga berbagai ide besarnya tersebut tidak dapat dipahami tanpa memahami makna tekstual yang muncul dari teks novel. Memakai istilah Kleden, bolehlah kita berkata bahwa ide-ide besar dalam ”Bilangan Fu” lahir dari peristiwa di dalam novel, terjalin erat dengannya.

Mungkin, kita akan melihat kemiripan dan perbedaan yang juga tak kalah mengejutkannya apabila Bilangan Fu-nya Ayu dibandingkan dengan 3 novel pertama Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering). Apakah Ayu berhasil melampaui Iwan? Ini pertanyaan yang menarik tetapi mungkin belum bisa dijawab sekarang.

Ayu dan Agama Barunya
Keterjalinan antara ide-ide besar yang diusungnya dengan berbagai tokoh dan peristiwa di dalam ”Bilangan Fu” cukup memikat. Ayu secara terampil menggunakan kemampuan bermetaforanya untuk menuangkan ide-ide besar itu (untuk bagian ini, GA-nya STA berhasil dilewati Ayu).

Dengan ide-ide besar tersebut, Ayu bak nabi yang memproklamirkan agama baru: agama yang non-modernis, non-militeristis, dan non-monoteistis. Suatu agama yang mengemohi kemodernan dan ciri-ciri militer tampaknya bukan hal yang baru – setidaknya dalam dunia imaji Parang Jati, tokoh ”agama baru” dalam novel ini. Namun, hal yang lebih baru dan cukup revolusioner adalah sifat non-monoteistisnya.

Agama ini seolah-olah membuat pengakuan atas sifat absolut-intoleran dalam keberagamaan yang monoteistis. Jika Tuhan adalah satu, tentu yang bukan Tuhan dapat dipaksa untuk tunduk menyembah yang satu tersebut (kebetulan, banyak sekali yang berada di luar ”yang satu” itu). Penyembahan atas yang satu rupanya sering diiringi dengan penyangkalan dan pemusnahan yang lain – realitas yang berada di luar yang satu itu.

Tuhan itu satu, kebenaran itu satu, dan para pengemban Tuhan serta kebenaran yang satu itu pun juga satu: suatu umat yang kudus, yang satu, benar dan bahkan ilahi. Semua yang ada di luarnya harus disangkal, dibasmi serta ditumpas. Modernisme dan militerisme hanya alat – yang tidak selalu harus bersifat benar, tetapi rupanya selalu efektif dalam penumpasan segala hal yang berada di luar ”yang satu” tadi.

Karakter Parang Jati – nabi Bilangan Fu – memang cukup ambivalen. Ia sepintas mirip dengan Yesus – tidak diketahui orang tuanya (bahkan ia memang muncul sendiri begitu saja), berbeda dengan orang kebanyakan (punya jari tangan 12 – sehingga ia tergolong di antara orang-orang cacat), serta sedikit melakukan Khotbah di Bukit. Agama Parang Jati adalah antitesis agama Farisi (ini bukan hanya sepintas, tetapi memang tampaknya disengaja Ayu untuk mirip dengan para antagonis Yesus dalam Perjanjian Baru). Jika agama Farisi tidak segan-segan menggunakan militerisme dan modernisme dalam mengokohkan agama monoteismenya, agama Parang Jati bahkan tidak menganjurkan ”pemanjatan yang kotor”, yaitu cara yang lazim dalam pemanjatan gunung: menggunakan paku dan bor.

Namun, Parang Jati – walaupun hampir dikorbankan di meja persembahan oleh ayah angkatnya (mirip dengan Ishak yang hampir dikorbankan oleh ayah kandungnya – juga mengalami kejatuhan: bercinta dengan ibu tirinya. Tampaknya, Parang Jati lebih manusiawi ketimbang Yesus: bukan hanya pernah digoda dosa, tetapi juga ikut-ikutan berdosa.

Toh, itu semua tidak menyurutkan Ayu untuk mengedepankan Parang Jati – tepatnya agama Parang Jati – sebagai filosofi dan praktek hidup yang ditawarkan di tengah-tengah kejahiliahan kaum beragama pada masa senjakala modernisme ini.

Dengan menggunakan banyak simbol dari mitologi Jawa (seperti Nyi Rara Kidul dan Watugunung) serta alur kisah dan figur dalam Alkitab, Ayu mencoba bertutur mengenai kesederhanaan spiritualitas, yaitu spiritualitas yang menghormati alam dan kelemahan manusia.

Kesimpulan
Ayu tetap terdepan dibanding para novelis perempuan – baik yang ”berlendir” maupun tidak. Ia mencoba untuk keluar dari ”metode kuna” yang dipakainya dalam dua novelnya yang terdahulu. Ia bukan hanya keluar, tetapi juga mencoba membuat tren baru dalam bercerita. Tetap layak dianugerahi gelar “ratu metafor”, Ayu kini mulai merambah tradisi yang cukup baru (atau tidak?)

Menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, Ayu menganggu mimpi-mimpi tidur kita karena: ternyata ia tidak begitu “berlendir”, berpotensi melampaui STA, dan mengajak kita merayakan kematian monoteisme. Bagaimana?

Lalu, apakah novel ini bagus untuk dibaca? Saya mengembalikannya kepada selera dan agenda pencarian jati diri Anda. Tapi, sama seperti semua resensi adalah menipu, maka resensi yang satu pun juga menipu. Mengapa tertipu? Karena tidak ada orang yang dapat menikmati buah manggis setelah dikunyah orang lain. Jika Anda ingin menikmati buah manggis, pergilah ke toko buah, beli, dan nikmati sendiri.***

Tidak ada komentar: