Selasa, 26 Agustus 2008

The U.S. vs John Lennon


Director: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Written: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Producer: David Leaf dan Johnn Scheinfeld
Time: 99 minutes
Published Year: 2006


Perang Dingin. Superpower. Amerika. Komunisme. Vietnam. Korban. Mati. Kematian. Rock and Roll. Beatles. Yeah, yeah, yeah. Woodstock. Mariyuana. Ganja. Hashish. LSD. Opium. Seks. $#@!!&%....

Perang, seks, obat, dan rock n’ roll. Mungkin itu beberapa kata kunci yang dapat menjelaskan hiruk-pikuk di sekitar dasawarsa 1960-an dan 1970-an. Zaman berubah, orang-orang berubah. Para baby boomer – mereka yang lahir di sekitar masa Perang Dunia Kedua (PD II) dan juga terutama yang tak lama setelah itu – kini mencapai umur yang matang. Mereka menjadi warga yang cukup sadar akan dinamika sosial serta juga paling aktif dalam menanggapi dinamika tersebut. Pendeknya, para baby boomer tidak lagi dibebani oleh agenda-agenda yang pada masa pra-PD II sangat memenuhi kosakata dan wacana orang-orang tua yang masih hidup dalam romantika perang dan masa-masa keemasan pra-perang, baik di Eropa maupun di Amerika.

Jika ini sebuah opera musik besutan Andrew Lloyd Webber, mungkin ia akan mengawalinya dengan suatu parade pasukan bersenjata yang dihadang oleh sekelompok pemuda(i) berpakaian ala flower generation. Sembari menyelipkan setangkai mawar di ujung bedil sang komandan pasukan, wakil dari pemuda tadi berkata: “Make Love, Not War…” (atau yang lebih klasik: “Say it with flower…not with your weapon…”).

Adegan tadi adalah semacam pralambang mengenai apa yang terjadi pada masa-masa itu dan yang ingin didokumentasikan oleh film ini. Film berdurasi hampir 100 menit ini berpusat pada seorang figur yang sebenarnya lebih dikenal dalam kalangan musik: John Lennon.

Tumbuh sebagai seorang anak yang pemberontak – ditinggal pergi oleh ayahnya ketika masih bayi dan ditinggal mati oleh ibunya dalam usia belia – John kecil ternyata punya bakat anti-kemapanan. Episode dalam masa-masa Beatles mungkin hanya merupakan episode “numpang lewat”. John berkembang dengan bandnya itu, baik secara musik maupun ide. Ini seolah-olah hanya menyiapkan suatu episode lain dalam hidupnya yang menjadi inti dari film ini.

Ketika isi kepala John Lennon mulai berkembang ke arah yang lebih luas, isi kepala Presiden Lyndon B. Johnson (LBJ) di Amerika juga berkembang ke arah yang sedikit berbeda; sesuatu yang agak berbeda dengan isi kepala John F. Kennedy – presiden yang digantikannya karena orang yang belakangan ini mati ditembak di Dallas pada tahun 1963.

LBJ rupanya senang memainkan kartu klasik dalam dunia diplomasi: perang adalah bentuk lain dari diplomasi. Komunisme sudah jelas jahat, dan Tuhan tentu saja tidak menginginkannya. Sebagai bangsa pilihan Tuhan, sudah sepantasnya Amerika Serikat mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengusir setan komunisme dari setiap jengkal tanah di bumi ciptaan Tuhan ini.

Setan itu kini hadir di Vietnam – setelah berhasil menancapkan cakar-cakarnya di Korea. Agenda LBJ sudah jelas: memperhebat sarana-sarana yang diperlukan untuk mengusir setan tersebut dari bumi Asia Tenggara.

Pada saat yang sama, John Lennon – yang tengah “angin-anginan” bersama bandnya, Beatles – sedang mencoba suatu yang baru. Tepatnya: ia tidak mencoba, tetapi memang secara alami masuk ke dalam suatu kawasan yang sama sekali asing bagi dirinya: politik. Proses yang memang alami ini sebenarnya dapat diamati dalam beberapa lirik lagu John dalam Beatles – walaupun banyak sekali lirik lagu Beatles sangat ambigu, misalnya lirik lagu Happiness is a Warm Gun dan Revolution.

Di Amerika, LBJ kalah dalam pemilihan umum presiden pada tahun 1968. Seorang presiden baru dari Partai Republik yang ternyata justru lebih jelek ketimbang LBJ akhirnya terpilih: Richard Nixon (ini membuat kita seolah-olah percaya dengan adagium lama: “Lebih baik kita memilih setan yang sudah dikenal, ketimbang setan yang belum dikenal sama sekali!”). Jika LBJ memilih perang, Nixon memang lebih suka perang. LBJ mengirim banyak tentara Amerika ke Vietnam, sementara Nixon mengirim lebih banyak lagi – bahkan mengampanyekannya.

Sementara itu, John Lennon – di belahan dunia yang lain – ternyata lebih suka “mengirimkan” hal yang lain: ia mencoba mengirimkan apa yang disebutnya sebagai total communication. Apa itu? Ia membungkus dirinya di dalam apa yang disebutnya sebagai "bagisme"(bag = tas), bersama istrinya yang baru: Yoko. Ia melakukannya agar orang mendengarkan pesan perdamaian yang ia sampaikan, tanpa menghakimi penampilan fisiknya (rupanya, orang sering kali memperhatikan penampilan si penyampai pesan ketimbang isi pesannya. Penampilan itu bisa mencakup gender, warna kulit, dan panjangnya rambut).

Sesederhana itu? Iya. Sekonyol itu? Tergantung – tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Masing belum puas? Pada tahun 1969 itu, John juga punya ulah serupa: "Bed Peace" (Bed-in for Peace). Sadar bahwa perkawinannya sedang menjadi komoditas pers, ia dan istrinya melakukan kampanye perdamaian di atas tempat tidur. Tentu, para wartawan mengharapkan pasangan yang baru menikah ini melakukan semacam “atraksi seksual”, sesuatu yang sama sekali tidak mereka dapatkan. Sama dengan bagism, bed peace juga dilakukan demi perdamaian.

“Tidak ada yang memberikan kesempatan damai secara penuh,” begitu ujar John. Dan ia pun mengajak orang-orang menyanyikan Give Peace a Chance. Ya, beri perdamaian kesempatan.

Ada wartawan yang bertanya apakah semua itu efektif? John menjawab: “Ini adalah kemungkinan yang terbaik, fungsional dan efektif.” Si wartawan mendesak: bukankah ini tidak akan mengubah apa-apa. “Memang, kami tidak mengharapkannya dengan mudah. Mereka berpikir bahwa ini dapat dilakukan dalam semalam.”

Toh, itu belum cukup. Jika kedua model kampanye tadi John lakukan di luar Amerika, kini ia mulai secara aktif memasang iklan – benar-benar iklan dalam bentuk papan reklame raksasa – di 11 kota di dunia, termasuk di Amerika (New York dan Los Angeles). Kampanye ini lebih verbal: “War is Over. If You Want It. Happy Christmas from John & Yoko”.

Jadi, ketika John Lennon mulai aktif di Amerika pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, ia muncul sebagai figur yang “sulit”, bahkan “berbahaya”. Nixon dan para pembantunya tahu hal ini.

Ketika John mulai mendarat di Amerika dan mencoba menjadi warga negara negeri ini, ia melakukan sesuatu yang tidak “terlalu manis” di mata pemerintah Amerika. Ia akrab dan aktif dalam kegiatan kelompok perdamaian, kelompok anti-perang, seperti kelompok-kelompok yang dipimpin oleh Abbie Hoffman, Jerry Rubin, Bobbie Seale (Black Panthers), John Sinclair dan Ron Kovic (penulis buku “Born on Fourth July” yang sudah difilmkan). Padahal, Nixon, di lain pihak, sedang secara ketat mengawasi kelompok-kelompok tersebut, kelompok-kelompok yang sedang mempertanyakan kebijakan perangnya di Vietnam.

John Lennon tampak seperti orang bodoh: berteman dengan orang-orang yang akan mempersulit posisinya, terutama posisinya sebagai pemohon kewarganegaraan Amerika Serikat. G. Gordon Liddy, seorang penasihat Nixon, melihatnya secara jelas: John Lennon justru menjadi alat yang sangat berbahaya di tangan kelompok tersebut. “Mereka kini punya amunisi baru,” begitu ujarnya. “Ketika kau memasukkan Bobby Seale dalam timmu, semua polisi akan membencimu. Semua petugas hukum di bumi akan menentangmu.”

Orang yang berpikir positif mungkin berpikir: “John Lennon memilih teman yang salah.” Kemudian dengan sedikit nasihat: “Dia bisa saja tetap bermain musik, menjauh dari obat-obatan, dan tetap mulut tentang apa yang dia suka dan tidak suka tentang Amerika Serikat.” Atau juga: “Nyanyikan saja lagumu dengan tenang.”

Namun, Lennon adalah orang yang polos. Ia senang bergaul dengan para aktivis tersebut karena menganggap mereka mempunyai ide-ide yang sama dengannya. Ia memuji ide-ide mereka, dan mereka pun memuji mantan anggota the Beatles yang sangat populer ini yang ternyata seia-sekata dengan mereka. Klop.

Satu peristiwa telak membuat Nixon dan para penasihatnya berpikir ulang tentang John adalah terkait konser untuk John Sinclair – seorang aktivis yang ditahan oleh kepolisian Michigan – pada 10 Desember 1971. Nixon harus memperhitungkan dengan serius John Lennon setelah peristiwa itu. Peristiwa apa itu? Bagaimana akhir “kucing-kucingan” antara John Lennon dan pemerintahan Amerika Serikat di bawah Nixon? Apakah John Lennon akhirnya memperoleh kewarganegaraan AS? Lalu apa yang menyebabkan John Lennon ditembak mati? Nonton saja sendiri film dokumenter ini.

Ini film dokumenter yang menarik. Selain diisi dengan berbagai dokumentasi wawancara dengan John Lennon dan aktivitasnya pada tahun-tahun itu serta wawancara dengan para aktivis perdamaian di Amerika, film ini juga diisi dengan beberapa cuplikan lagu John Lennon yang terkenal. Oh, ya, beberapa wawancara dilakukan dengan beberapa pengamat sosial-politik dan tokoh humanis seperti Carl Bernstein, Gore Vidal, dan Noam Chomsky, juga wawancara dengan penasihat Nixon, pengacara John Lennon, dan sebagainya.

John Lennon bukan manusia sempurna – ia justru tampak manusiawi dengan ketidaksempurnaannya itu. Namun, toh, kita bisa belajar beberapa hal dari dia, setidaknya untuk urusan perdamaian ini. Peace!

Tidak ada komentar: