Selasa, 26 Agustus 2008

Mengapa Saya Bukan Ateis? (Tamat)

Tampaknya tidak perlu dilanjutkan lagi. Ini tidak adil buat BADU. Kasihan BADU. Sebagai tokoh fiktif, dia kelihatannya cuma jadi bulan2an tokoh fiktif lain: AGUS. Jelas, posisi saya mendukung AGUS (kan saya percaya Tuhan…)

Posisi “AGUS” sebenarnya cukup lemah, dalam arti dia pun tidak dapat secara memuaskan membuktikan keberadaan Tuhan. Tapi posisi dia lebih baik dan secara filosofis dapat dipertahankan, karena jenis “filsafat yang dianutnya” – yaitu teisme – tidak menuntut dia membuktikannya secara rasional dalam arti ketat. Ini berbeda dengan “filsafat ateisme” si BADU. Ateisme berdiri di atas suatu tesis yang jelas, suatu tesis yang secara epistemologis hanya bergantung pada pembuktian berdasarkan kemampuan kodrati manusiawi. Teisme – atau kalau mau spesifik: Katolisisme (yaitu sistem kepercayaan seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik) – tidak mendasarkan tesis keberadaan Tuhan pada kemampuan kodrati manusiawi semata. Kemampuan kodrati manusiawi hanya berguna sampai taraf tertentu, selebihnya ada wahyu (yang kalau di dalam Katolisisme “menjelma” di dalam: kitab suci, tradisi, dan magisterium gereja).

Kesimpulan saya pribadi: BADU hanya dapat konsisten jika ia hanya – sekali lagi hanya jika – berpegang pada Deisme (Tuhan ada, tetapi entah mengapa, Dia tidak ikut campur atas alam semesta) atau Agnostisme (Tuhan ada atau tidak ada, keduanya tidak dapat dibuktikan. Jadi, sebaiknya tidak usah dibicarakan). IMHO, ateisme yang konsisten/konsekuen tidak pernah ada. Ateisme Sartre kelihatan konsisten, karena… dibangun di atas bangunan metafisika yang dia bikin sendiri. Konyol…(***)

Tidak ada komentar: