Kamis, 11 September 2008

Blakanis: Agama Kejujuran Arswendo Atmowiloto


Judul: Blakanis
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Novel, fiksi
Tahun Terbit: 2008
Tebal: 288 halaman

Barangkali, kini sedang musimnya muncul agama-agama baru. Bersamaan dengan Ayu Utami yang mengusung Nabi Parang Jati, Arswendo Atmowiloto pun juga mengusung agamanya sendiri, dengan seorang nabi: Ki Blaka.

Tampak sekilas, selepas dari hotel “prodeo” dulu, Arswendo Atmowiloto memiliki arah yang khusus dalam menulis. Entah bagaimana saya dapat menyebut ciri-corak tulisan-tulisan dia sekeluarnya dia dari “hotel Cipinang”. Ini bukan berarti ada perubahan dalam gaya penulisannya. Tidak. Tidak begitu. Arswendo tetap muncul dengan gayanya yang khas – khas Wendo-an, begitu mungkin istilahnya. Namun, ia seperti memiliki sudut pandang – atau energi – baru dalam menyikapi dunia.

Coba lihat tulisan-tulisannya seperti Menghitung Hari, Abal-Abal, Kisah Para Ratib, Oskep, dan sebagainya. Entah bertema “kepenjaraan” maupun bertema “spiritualitas”, Wendo muncul menjadi figur yang agak berbeda dengan misalnya pada masa-masa Canting, Dua Ibu, atau apalagi Senopati Pamungkas.

Blakanis adalah semacam manifesto – begitu kalau saya boleh membaptis novel ini. Keluar bersama “Horeluya” (dengan penerbit yang sama, spiritualitas yang sama, gaya yang sama, tetapi dengan bungkus yang “lebih Katolik”), “Blakanis” menawarkan semacam kesegaran dari tema spiritualitas yang berumur sudah sangat tua: kejujuran. Ini sebuah manifesto mengenai kejujuran atau tepatnya: hidup jujur. Dalam bahasa Jawa, blaka (baca: “blo-ko”) memang berarti terbuka, jujur, apa adanya, blak-blakan.

Jika di atas disebut sepintas novelnya Ayu Utami, Blakanis-nya Arswendo tidak menawarkan seorang santo seperti Parang Jati-nya Ayu. Parang Jati-nya Ayu adalah seorang kudus yang tampan-rupawan yang harus menanggung dosa dunia, sementara Ki Blaka-nya Arswendo jauh dari kesan “cakep” dan ia tidak merasa harus menanggung dosa siapa-siapa. Ki Blaka adalah semacam nabi yang rumahnya berada persis di sebelah rumah kita masing-masing (dalam novelnya, ia tinggal di semacam bedeng yang berada di daerah Karawang-Bekasi, atau Jawa Barat dan sekitarnya). Memang, ia digambarkan seperti Yohanes Pembaptis – menggunakan tongkat dan berpakaian sederhana (persisnya: selimut bekas dari rumah sakit – namun, toh, bukan itu kesaktian dari nabi barunya Arswendo ini.

Ki Blaka memulai sesuatu yang baru, walaupun tidak terlalu orisinal: hidup dengan jujur. Ia mempraktikkan apa yang dikatakannya. Ia berbicara jujur, blak-blakan, blaka. Jangan kaget, saking jujurnya, ia bahkan berterus terang ingin memegang payudara seorang “pengikut”-nya yang cantik, putih, dan molek, Ai. Dan sebagai pengikut yang baik, Ai pun tidak ragu untuk berkata jujur bahwa ia juga bukan hanya tidak keberatan, tetapi bahkan bersedia “meneteki Ki Blaka.”

Apakah ini semacam agama postmodern atau cuma semacam trend sesaat? Tampaknya iya. Tapi, tampaknya juga tidak. Ki Blaka tidak berniat membentuk agama, tetapi ia menetapkan aturan main: semua orang yang mau mengobrol dengan dia di “padepokan”-nya harus mau berkata jujur.

Bersabdalah Ki Blaka: “Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, melainkan kepura-puraan. Baik pura-pura jujur atau pura-pura bohong.” Ia tidak memaksa orang untuk jujur. Kejujuran yang dipaksakan bukan merupakan kejujuran lagi, tetapi sudah jatuh ke dalam kepura-puraan.

Kejujuran bukan sesuatu yang hebat dan bagus dalam dirinya sendiri. Orang tidak dapat jujur karena mau memperoleh sesuatu: kesehatan, pelepasan jiwa, atau bahkan kebenaran. Kejujuran yang sejati adalah tanpa pamrih.

Jamil Akamid contohnya. Ia mengira, Ki Blakanis akan mendukungnya karena ia akan berkata jujur – sejujur-jujurnya – mengungkapkan nama, peristiwa, besarnya jumlah uang yang “terlibat” dalam kasusnya. Ia merasa akan menjadi semacam whistle blower yang akan menyingkapkan kebusukan birokrasi di negeri ini, karena ia akan berkata jujur; ia akan membuka semuanya. Ia juga berharap, jika ia membuka mulut, ia bisa lepas dari beban yang dideritanya, baik jasmani maupun rohani.

Tidak. Ki Blaka tidak mengharapkan kejujuran seperti itu. Kejujuran adalah kepolosan, tidak perlu dibuat strateginya, bahkan untuk yang paling bagus sekalipun. Kejujuran harus tanpa pamrih. Satu-satunya niat untuk jujur adalah kejujuran itu sendiri, bukan yang lain. Seperti kata Akamid: “Ki Blaka mengembalikan semua persoalan ke diri saya. Bukan karena dia, karena harus blaka, karena memang niat saya.”

Kepada orang-orang yang sering mengira kejujuran dapat menjadi obat mujarab bagi banyak hal (entah korupsi, sakit-penyakit, rumah tangga yang tak akur, maupun ketidakberesan lainnya), Ki Blaka berseru – dengan jujur tentunya:

“Bersikap jujur adalah pilihan pribadi. Kejujuran tak berarti menjadi sakti, menjadi kebenaran ketika dilakukan banyak orang, apalagi menjadi gerakan. Kalau ini membesar dan dianggap tanda, kita mengulangi lagi kesalahan.”

Masih belum puas? Jika kejujuran dilakukan tanpa pamrih, tentunya tidak ada yang perlu dilakukan secara terpaksa. Dengan begitu, tampaknya menjadi jujur pun dapat melahirkan ketidakberesan lainnya – jika kejujuran dilakukan dengan pamrih:
“Masalah utama yang dihadapi dengan kejujuran ketika menjadi nilai bersama dalam kelompok adalah ketika dilakukan dengan terlalu berlebihan, terlalu bersemangat.”

Sampai sejauh mana agama yang “terlalu jujur” ini bertahan? Seharusnya tidak bertahan lama (siapa sih yang tahan hidup jujur?) Ya. Ki Blaka dan para pengikutnya pun digerebek. Jelas, nabi yang mempraktikkan hidup jujur tentu sangat membahayakan penguasa – tentu saja penguasa yang tidak jujur (penguasa tentunya tidak pernah takut dengan seseorang yang cuma mengajarkan kejujuran, tanpa mempraktikkannya). Para petinggi mulai menginterogasi Ki Blaka, karena banyak sesi “tanya-jawab” di padepokan Ki Blaka berakhir rusuh.

Itu belum seberapa. Kejujuran ternyata sempat mewabah ke luar lingkungan kampung “Blakanis”. Murid-murid di suatu sekolah tidak lagi mencontek, beberapa orang mulai tidak mau mempergunakan mata uang dolar dan tidak menggunakan barang-barang impor. Para murid di suatu sekolah di Jambi – yang tidak mau mencontek lagi itu – seperti sedang kerasukan “roh blaka” ketika mereka menyanyikan koor: “blaka, blaka, blaka...” pada saat mereka akan mengerjakan soal ulangan. Adegan ini dapat dibayangkan seperti suatu adegan dari potongan dalam film “The Wall” garapan Pink Floyd, ketika tembang "Another Brick in the Wall (Part 2)” mengalun mengiringi bocah-bocah sekolah yang memberontak mulai menjungkirbalikkan kursi dan meja-meja sekolah (bedanya, anak-anak sekolah di “Blakanis” lebih “memberontak” melawan diri mereka sendiri, sementara anak-anak sekolah dalam “The Wall” memberontak melawan tirani sekolah).

Itu jelas tidak wajar dan menakutkan (tentunya bagi mereka yang tidak biasa jujur). Bagi beberapa orang, novel ini juga mungkin memang terlalu ”jujur” dan malah “kering” (“jujur”, “polos”, dan “kering” memang saudara yang berdekatan). Tokoh-tokohnya sering terasa “dingin”. Jika dibandingkan dengan “Horeluya”, “Blakanis” memang tidak berupaya mengaduk-aduk perasaan pembaca (Arswendo sebenarnya ahli dalam hal “pengadukan” ini – sebagaimana tampak dari serial Keluarga Cemara). Ki Blaka sedang mengajar dan, sayangnya, ajarannya sangat tidak populer. Jadilah, pembaca, halaman demi halaman, bersusah payah mengikuti logika Ki Blaka dan para pengikutnya – yang disebut “blakanis” – yang “meniduri” kejujuran semampu mereka (barangkali karena bukan penganut “agama kejujuran”, saya kadang-kadang merasa agak sedikit bosan dengan khotbah sang nabi?)

Jikalau Ki Blaka tampaknya kesulitan dalam mengajarkan agama “kejujuran”-nya, Arswendo tidak terlalu sulit – justru terbilang sangat berhasil – dalam hal ini: mencoba strategi bercerita yang – konon – dipakai oleh Umar Kayam dalam “Para Priyayi” (saya sebut “konon” karena saya masih belum membacanya), yaitu strategi bercerita bukan dari sudut pandang tunggal. Semua pengikut Ki Blaka punya cerita yang sah untuk diceritakan, dari si Mareto, Suster Emak, Ali, Eyang Brondol, Lola, Windi, dan sebagainya. (Siapa tahu, Anda, begitu mencoba untuk hidup jujur, juga punya hal lain yang dapat diceritakan?)

Strategi Arswendo memang berhasil. Cerita mengalir lancar pada bagian “kesaksian”, yaitu ketika para Blakanis menuturkan kesaksian dan pengalaman mereka. Pada bagian “khotbah” Ki Blaka, narasi lincah Arswendo berubah menjadi semacam verbalisme kejujuran yang memang sangat memikat dan menawan hati (karena revolusioner walaupun tidak serbabaru) namun terasa agak sulit diikuti – mungkin terutama oleh mereka yang jarang jujur dalam hidupnya (semoga kita tidak termasuk di dalamnya).

Jika agak sulit menghubungkan Parang Jati dengan Ayu Utami, saya agak lebih mudah membayangkan Ki Blaka yang santai dan blak-blakan dengan figur Arswendo sendiri. Celotehan jujur para tokoh yang ada dalam novel ini boleh dibilang berhasil dan mengalir lancar karena memang begitulah gaya Arswendo. Ki Blaka berhasil mengajarkan “agama kejujuran” justru karena Arswendo yang berhasil menceritakan kisahnya…

Jadi, walaupun berlaku jujur itu memang agak berat dilakukan akhir-akhir ini, toh Arswendo sudah cukup jujur berbagi cerita tentang kejujuran di dalam bukunya yang satu ini. Semoga kita bisa ketularan untuk jujur...

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Betul mas... sekarang berkata jujur makin sulit

Mata Dunia mengatakan...

Bahkan, jujur pun bisa jadi pura-pura bohong lho...

Arswendo mengajarkan sesuatu kepada kita: jujur apa adanya, demi kejujuran itu sendiri -- tanpa pamrih.

Selamat berjujur-ria

Salam