Selasa, 09 September 2008

Super Toy = Mainan Super = Blunder Politik atau Spiritualitas tak Sehat?

Konon, ada suatu analisis yang mengatakan bahwa jika di tengah-tengah suatu masyarakat sering muncul orang-orang yang mengaku Ratu Adil, mengaku orang yang dulu pernah hilang (dan kini muncul kembali), mengaku menemukan harta karun yang bisa menutupi utang negara, mengaku menemukan teknologi canggih dengan jalan yang “luar biasa” – dan berbagai pengakuan-pengakuan lainnya – biasanya masyarakat tersebut sedang “sakit”.

Dalam jangka waktu satu tahun ini, Indonesia rupanya sering “kedatangan” orang-orang seperti itu, misalnya orang yang mengaku berhasil menemukan teknologi pengubah air menjadi bahan bakar (Blue Energy); orang yang mengaku dapat menghentikan aliran lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur; orang yang mengaku sebagai Supriyadi (pahlawan perintis kemerdekaan, Menteri Keamanan RI yang tak pernah muncul setelah ditunjuk Bung Karno) dan sebagainya.

Terakhir adalah kasus padi “varietas unggul” yang dikenal sebagai Super Toy HL2. Walaupun tidak ada tokoh atau orang yang “sakti” atau “misterius” terkait dengan kasus ini, namun kehebohan dan hiruk-pikuk yang menyertainya dapat disejajarkan dengan kasus Blue Energy atau kasus “kembalinya Supriyadi”.

Awal-mulanya adalah berita kegagalan panen padi jenis tersebut yang dilaporkan oleh para petani di berbagai daerah di Pulau Jawa. Mereka mengaku merasa tertipu karena membeli dan menggunakan padi jenis tersebut, yang menurut pesan sponsor merupakan padi “super” karena padi tersebut dapat dipanen 3 kali dalam setahun – tanpa menanam kembali itu (silakan cari sendiri beritanya di internet).

Berita tersebut mungkin biasa saja, seandainya tidak melibatkan nama Susilo Bambang Yudoyono, kebetulan orang yang sedang menjabat sebagai presiden di negeri ini. SBY – begitu nama presiden ini biasa diakronimkan – rupanya agak jengah dengan berita yang terkait dengan kegagalan panen padi jenis “super”, yaitu Super Toy HL. Mengapa harus jengah? Wajar bila ia jengah, karena pasalnya komisaris PT Sinar Harapan Indopangan (SHI), Heru Lelono, adalah salah seorang anggota tim penasihat presiden – Tim Cikeas, begitu sebutannya (PT SHI adalah perusahaan yang memproduksi dan memasarkan padi “super” tersebut, yang darinyalah para petani mendapatkan/membeli bibit padi tersebut). Dan kedua, ini yang membuat semakin jengah: SBY “tampak” melakukan promosi atas padi jenis tersebut – setidaknya memang begitulah yang dibaca oleh para lawan politiknya.

Entah “kejengahan” tesebut pantas atau tidak (juga tidak jelas siapakah yang sebenarnya jengah: SBY atau para pembantunya). Namun, yang pasti, pada acara berbuka puasa hari Sabtu lalu (6/9/2008), pejabat humas kepresidenan merilis transkrip pidato SBY pada acara “launching” padi jenis tersebut tahun lalu (Kompas, 7/9/2008). Transkrip yang dibagikan itu memperlihatkan “posisi netral” presiden dalam urusan “padi super” tadi. Jadi, tidak benar – begitu hal yang ingin diluruskan oleh tim kepresidenan – bahwa Presiden SBY mempromosikan padi “super” tadi. Lagipula, SBY sudah memanggil Heru Lelono untuk meminta penjelasan (baca di Detik).

Terlepas entah bagaimana posisi SBY dengan urusan ini, ada hal yang menarik yang perlu dicermati: mengapa padi “ajaib” yang dapat dipanen 3 kali dalam setahun – tanpa menanam kembali itu – lebih disukai ketimbang padi konvensional. Mungkin kalau ini ditanyakan, orang akan mencibir dan menjawab: “Tentu saja, padi seperti itu lebih disukai, karena lebih produktif dan lebih murah.” Iya, ya. Itu pertanyaan bodoh. Yang lebih produktif dan lebih murah pasti lebih disukai.

Namun, mengapa begitu? Lebih tepat lagi: mengapa Presiden SBY dan Tim Cikeasnya kok dengan mudah terbuai oleh tawaran atau bujukan yang ternyata belum terbukti valid – baik secara ilmiah maupun secara birokratis (ternyata, dari pengakuan Menteri Pertanian, padi tersebut belum melewati prosedur resmi dan normal untuk dapat disebut sebagai varietas unggul). Jadi, apa yang ditawarkan oleh SHI dan Heru Lelono tidak lebih daripada “kucing dalam karung” – tentu kucing dalam karung masih lebih berharga ketimbang padi “super” yang ternyata tidak “super”.

Orang dapat menduga mengapa SBY dan Timnya terkecoh: entah politis atau psikologis-spiritual. Politis, tentu saja SBY butuh sesuatu yang dapat dipakai untuk bahan kampanye menghadapi pemilu tahun depan. Jelas, padi “super” adalah bahan yang bagus untuk kampanye dan menarik massa – terutama dari kalangan petani. Jika Super Toy HL2 benar-benar padi super, SBY akan muncul sebagai figur juruselamat di tengah produksi padi yang tengah menurun. Siapa sih yang tidak ingin dikenal massa petani – di atas kertas mayoritas orang Indonesia masih tergolong dalam kelompok ini – sebagai orang yang dengan sukses “meningkatkan taraf kehidupan” mereka? Soeharto sudah pernah melakukannya, dan cukup berhasil.

Namun, jika alasannya psikologis-spiritual, bagaimana? Mungkin ini yang agak sulit. SBY dan Timnya tentu bukan figur bodoh yang percaya dengan orang-orang yang mengaku dapat melakukan “mukjizat”, yang entah bagaimana caranya dapat “membuat hidup yang sulit menjadi mudah” (atau mereka memang percaya?) Apa boleh buat. Ini menambah daftar panjang catatan para pejabat – tentu lebih banyak yang di luar kalangan ini – yang lebih suka duduk menanti datangnya Ratu Adil atau orang-orang yang dapat menciptakan jalan pintas menuju “Indonesia yang Adil dan Makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi”. Orang-orang yang dapat menciptakan jalan pintas ini dipercaya dapat membuat semacam “loncatan kemajuan” – entah dalam bidang teknologi, finansial, atau bahkan politik. Intinya, “loncatan” ini akan mengurangi – bahkan menghilangkan – penderitaan atau kondisi “tidak enak” yang kini dialami oleh banyak orang di negeri ini.

Masalahnya, kalau pejabat – yang pendidikannya lebih tinggi dan lebih kaya – percaya dengan “orang-orang ajaib” ini, apalagi yang bukan pejabat (seperti yang menulis tulisan ini). Kalau besok ada orang yang datang ke rumah Anda, dan menawarkan bahwa ia mempunyai panci ajaib yang dapat memasak nasi “tak berkesudahan” – artinya Anda tidak perlu beli beras lagi seumur hidup – apakah Anda percaya? Anjuran saya: sebaiknya percaya saja, toh yang lebih pintar dan lebih kaya ketimbang Anda (dan saya) juga percaya…

Tidak ada komentar: