Jumat, 05 September 2008

Kartu Palin di Saku McCain (dan Kartu di Indonesia)


Mungkin dapat disebut sebagai kejutan jika John McCain – calon presiden dari Partai Republik – memilih Sarah Palin (29/8/2008) menjadi calon wakilnya dalam menghadapi pemilu presiden Amerika Serikat November 2008 mendatang.

Setelah “babak belur” dalam hal image dan isu – tentunya pasca-konvensi Partai Demokrat beberapa hari sebelumnya sebelumnya – John McCain mencoba untuk meraih kembali popularitas yang tampaknya agak meredup. Upaya itu menunjukkan sedikit tanda keberhasilan ketika ia memilih Sarah Palin – gubernur negara bagian Alaska – sebagai calon wakilnya.

Itu adalah langkah yang cukup berani, namun di lain pihak memang agak strategis. Rasa sakit hati yang barangkali tersisa di dalam hati para pendukung Hillary Clinton dicoba untuk dijadikan “kartu truf” oleh McCain. McCain tampaknya tahu benar bahwa sebenarnya masih banyak pendukung Hillary yang tidak begitu rela ketika kandidat mereka – mantan First Lady era Bill Clinton – itu menyerahkan kursi calon presiden Partai Demokrat ke tangan Barack Obama.

Ada beberapa isu yang membuat rasa sakit itu menjadi tambah terasa “sakit” bagi para pendukung Hilary. Pertama, status gender Hillary. Bagaimanapun juga, seorang calon presiden perempuan adalah sesuatu yang sangat menarik, terutama di dalam tradisi kepresidenan di Amerika Serikat. Ada semacam sentimen gender ketika Hillary naik menjadi salah satu calon presiden dari Partai Demokrat. Bagi beberapa perempuan – atau bahkan mungkin banyak -- di Amerika Serikat, hal ini adalah semacam puncak pengharapan dari janji-janji dari “freedom, liberty, and equality” yang merupakan slogan dari pendirian negara tersebut. Ada masanya ketika perempuan tidak boleh mengikuti pemilu, dan ada masanya pula ketika perempuan boleh mengikutinya. Ada masanya ketika perempuan tidak atau belum mencapai kursi nomor satu di negeri itu, dan mereka berpikir, mengapa tidak ada pula masanya bagi kaum perempuan untuk meraih kursi tersebut.

Kedua, status “kulit putih” Hillary. Diakui atau tidak, walaupun dengan tradisi demokrasi dan penegakan hak asasi manusia yang sangat tua, Amerika Serikat selalu punya tendensi untuk menjadi seperti “negara-negara yang sering diperangi olehnya”, yaitu rasis dan intoleran. Tentu, kita tidak berbicara tentang hukum formal, yang di dalamnya tidak akan mungkin kita menemukan teks-teks atau pasal-pasal yang bersifat rasis dan intoleran. Kita berbicara tentang praktik dan sentimen orang per orang, kelompok per kelompok (yang tentunya sama saja di seluruh muka bumi ini). Bagi banyak orang – terutama dari kubu Demokrat – yang mereka hadapi pada bulan-bulan sebelum konvensi adalah pilihan antara: seorang calon presiden kulit putih atau seorang calon presiden kulit hitam. Itu saja. Tentu sentimen dan subjektivitas akan sangat menentukan di sini, dan bukan rahasia lagi jika banyak di antara pendukung Partai Demokrat yang lebih peka dengan isu ras dan warna kulit ini. Bagi mereka, Hillary Clinton jelas lebih “preferable” ketimbang Barack Obama.

Hasil konvensi Partai Demokrat sudah diketahui bersama: Barack Obama menjadi calon presiden resmi dan Joe Biden menjadi calon wakilnya. Ini kombinasi yang cukup baik dan memang cukup menjanjikan, sebagaimana hal ini tampak dari pemberitaan yang sangat antusias dari berbagai media, baik di Amerika Serikat maupun di dunia internasional.

Lalu apa strategi Republik dan McCain untuk mengimbangi suasana hangat yang seolah-olah menempatkan kubu Demokrat di atas angin itu? Kedua isu itu rupanya dipahami betul oleh kubu McCain, ditambah satu isu klasik dalam “pertempuran” antara Republik dan Demokrat: bumbu-bumbu moralitas.

Sebagai partai liberal, Partai Demokrat terkenal dengan dukungannya pada gerakan pro-choice, yaitu semacam gerakan yang pandangannya memberikan toleransi bagi upaya aborsi yang dilakukan oleh kaum perempuan hamil jika mereka menghendaki. Oleh kubu Republik, pro-choice ini tidak lebih dipandang sebagai pro-abortion atau pro-abortionist. Isu ini sangat klasik, sehingga hampir selalu mewarnai debat di antara kedua kubu (walaupun tidak semua Demokrat memilih posisi pro-choice, sebagaimana tidak semua Republik memilih posisi pro-life, istilah yang hampir selalu setara dengan istilah “anti-aborsi”).

Di samping kedua isu terkait “Hillary” tadi, kubu McCain juga memanfaatkan isu pro-life versus pro-choice ini. Mengapa? Calon wakil presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden adalah seorang Katolik yang ternyata sangat pro-choice (sama seperti beberapa Demokrat lain yang terkenal, seperti Nancy Pelosi dan John F. Kerry). Sebagai Katolik, tentunya posisi politik Biden tampak bermasalah, karena Gereja Katolik sangat menentang pandangan pro-choice. Alhasil, Joe Biden tampak sebagai seorang Katolik yang munafik di mata banyak kalangan Kristen – bukan hanya Katolik. Image Biden yang semacam ini benar-benar dimainkan oleh McCain (jumlah orang Katolik di Amerika memangt cukup banyak walaupun bukan yang paling banyak. Ini dapat “dimanfaatkan” jika situasi menjadi “too close to call”).

Dua isu terkait Hilary dan Joe Biden yang “bercacat” benar-benar dijadikan kartu truf oleh McCain ketika ia memilih Sarah Palin. Palin langsung menjadi antitesis bagi ketiga hal itu: Dia perempuan, kulit putih, dan anti-aborsi (alias pro-life) – di luar faktor usia yang masih muda dan latar belakang lintas-denominasi yang biasanya sangat disukai di sana. Pilihan ini membuktikan bahwa McCain tampaknya tidak lagi memedulikan kritiknya pada Obama yang mengaitkan usia muda Obama dengan ketidaklayakannya menduduki Gedung Putih. Palin sendiri adalah pemegang rekor dalam urusan perempuan pertama yang menjabat gubernur negara bagian dan juga yang termuda dalam sejarah di Amerika Serikat.

McCain kini punya kartu truf di sakunya: Sarah Palin. Apakah ini akan bermanfaat bagi kubu Republik dalam permainan kartu riil pada bulan November yang akan datang, hal itu masih akan dibuktikan nanti.

Apa manfaatnya bagi kita di Indonesia jika kita mencermati hal-hal di atas? Mungkin tidak banyak. Jika ada yang dapat dipelajari secara banyak adalah “teknik-teknik bermain kartu truf” sebagaimana halnya yang sudah biasa dilakukan oleh banyak politisi di sini (bahkan, boleh jadi jika politisi lokal lebih lihai dalam bermain kartu, entah itu truf, poker, bridge, remi atau domino…)

Selamat bermain kartu…

Tidak ada komentar: