Rabu, 19 Maret 2008

Mengapa Saya Bukan Ateis? (1)

Saya merasa ini adalah suatu diskusi yang cukup baik antara seorang ateis (BADU) dan seorang teis (AGUS). Anda barangkali akan menilai dialog ini kabur, tidak adil dan berat sebelah bagi pihak tertentu, tetapi saya menjadikannya sebagai salah satu alasan mengapa saya bukan ateis – atau lebih tepat: menjadi ateis adalah posisi yang kurang/tidak dapat dipertahankan secara rasional (bagi yang ateis, dengan segala hormat, saya tetap menghormati pandangan Anda. Kita tetap bersaudara :) Oke? Okelah...)

BADU: “Gus, coba kamu buktikan bahwa Tuhan itu memang ada...”
AGUS: "Kamu tanya seperti itu. Bagi saya, Tuhan itu ada karena buktinya banyak."
BADU: "Apa contohnya?".
AGUS: " Kamu lihat bulan? Siapa yang menciptakan bulan? Saya, karena percaya Tuhan, percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakan bulan."
BADU: [menyanggah dengan berbagai macam cara -- biasanya ilmiah -- mengenai proses terjadinya bulan].
AGUS: "Lihat. Saya bisa saja mengatakan bahwa big bang dibuat oleh Tuhan. Tapi kamu pasti akan membantah lagi. Intinya, bukti dan contoh apapun pasti kamu tidak akan percaya. Jadi, aku tidak akan berusaha membuktikan Tuhan, tetapi kamulah yang harus membuktikan: mengapa kita seharusnya tidak percaya pada keberadaan Tuhan?"
BADU: "Bukti keberadaan Tuhan tidak lengkap, tidak cukup, dan tidak masuk akal."
AGUS: "Kalau begitu, buktikan sebaliknya: bahwa bukti ketidakberadaan Tuhan lebih masuk akal, lebih lengkap."
BADU: "Saya tidak mau membuktikan sesuatu yang tidak ada."
AGUS: "Memang. Kamu tidak perlu membuktikan keberadaan Tuhan. Kamu cukup membuktikan ketidakberadaan-Nya. Tunjukkan dengan akal dan pancaindramu bahwa Dia memang tidak ada."
BADU: "Tuhan memang tidak ada. Itu sudah cukup."
AGUS: "Ini tidak fair. Ketika saya mencoba membuktikan keberadaan Tuhan, saya mencoba menunjukkan bukti -- walaupun kamu akhirnya tidak percaya. Masak' kamu gak mau menyebutkan satu bukti pun tentang ketidakberadaan Tuhan? Ayo buktikan!"
BADU: "Oke. Tuhan tidak ada, karena tidak bisa dilihat."
AGUS: "Tidak bisa dilihat oleh Anda maksudnya?"
BADU: "Banyak yang tidak bisa melihatnya."
AGUS: "Tetapi ada orang yang mengaku pernah dan bisa melihatnya. Para mistikus mengaku pernah 'melihat' dan 'mengalami' Tuhan."
BADU: "Itu hanya gejala psikologis saja."
AGUS: "Tapi faktanya: mereka mengaku 'mengalami' dan 'melihat' Tuhan dalam satu dan lain cara. Jadi, alasan 'tidak dapat dilihat' sendiri tidak kuat karena pengertian 'tidak dapat melihat' sama psikologisnya dengan pengertian 'dapat melihat'. Tolong, cari bukti yang berlaku untuk semua orang. Ada orang yang mengaku pernah dan bisa melihat Tuhan, ada yang tidak. Ini bukan bukti."
BADU: "Tapi 'tidak dapat melihat' yang saya maksud adalah 'tidak dapat melihat' secara fisik."
AGUS: "Saya tidak pernah dan tidak dapat melihat kakek buyut saya: dia tidak punya foto, kuburannya tidak ada yang tahu. Intinya, saya tidak pernah melihat dia secara fisik. Apa ini bukti bahwa kakek buyut saya tidak ada dan tidak pernah ada. Ayolah...cari bukti yang lebih kuat. Lagi pula argumen 'tidak dapat melihat/dilihat' hanya valid kalau mengandaikan kamu dapat melihat semua tempat yang ada di alam semesta ini. Ingat, sesuatu diandaikan dapat dilihat, kalau kita punya kesempatan untuk mencapai tempat keberadaan sesuatu tersebut. Boleh saja kamu bilang: Tuhan tidak ada. Saya bilang: Dia tidak ada.... memang... di bumi. Why? Selalu ada kemungkinan bahwa Tuhan ada si suatu pojok gelap di salah satu galaksi yang letaknya miliaran tahun cara dari bumi. Kamu harus pergi kesana untuk membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada di sana. Bagaimana?"
BADU: "Baik. Kita coba yang lain. Ini dia: konsep tentang Tuhan bertentangan dalam dirinya sendiri (contradictio in terminis). Contohnya: Tuhan tidak dapat membuat batu yang tidak dapat diangkatnya sendiri. Juga, Tuhan tidak mahakuasa karena tidak dapat menghilangkan penderitaan manusia, atau Tuhan tidak mahakasih karena ia membiarkan penderitaan manusia."
AGUS: "Itu konsep bukan? Konsep Tuhan selalu dapat dibuat dan diperbaiki, sama halnya dengan konsep dalam ilmu-ilmu lain. Tapi itu semua tidak dapat dijadikan bukti bahwa Tuhan tidak ada. Konsep tentang Tuhan boleh keliru dan tidak ada sama sekali, tetapi Tuhan tidak perlu konsep."
BADU: "Astaga!!! Kalau begitu, mengapa saya harus membuktikan sesuatu yang tidak dapat dikonsepkan?"
AGUS: "Justru itu, Ron. Ateisme-mu pun sebenarnya hanya konsep. Kalau Tuhan punya konsep, ketidakberadaan Tuhan pun punya konsep. Ayo, kamu punya kesempatan sekali lagi untuk membuktikan -- tanpa konsep -- ketidakberadaan Tuhan. Tunjuk suatu bukti yang rasional dan sesuai dengan pancaindra bahwa Tuhan tidak ada."
BADU: "Tuhan tidak ada...itu cukup rasional dan sesuai dengan pancaindra."
AGUS: "Oke. Kamu kelihatannya cukup intelek. Tahu metode ilmiah. Kamu tahu kalau metode ilmiah menggunakan hipotesis? Sebagai orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan, bagaimana kalau hipotesis kamu adalah ini: Tuhan itu ada, sampai dia dibuktikan sebaliknya."
BADU: "Lho bukannya hal yang sama bisa saya katakan untuk kalian yang percaya Tuhan: hipotesisnya adalah 'Tuhan itu tidak ada, sampai dibuktikan sebaliknya."
AGUS: "Masalah itu sudah terpecahkan oleh kami orang beragama. Hipotesis: Tuhan tidak ada. Lalu setelah kami beriman, ini menjadi bukti bahwa hipotesis itu keliru: ternyata Tuhan memang ada. Sebagai orang beriman, saya boleh menggantungkan metode ilmiah saya pada iman saya. Sebaliknya, kamu tidak boleh menggantungkannya pada iman. Ingat, iman hanya menyangkut keberadaan Tuhan, bukan ketidakberadaan-Nya. Mana mungkin kalian orang ateis beriman pada 'ketidakberadaan Tuhan'? Kamu gak bisa bilang: 'saya tidak percaya pada keberadaan Tuhan, itu sudah cukup; saya cukup mengimaninya saja.' Itu posisi orang yang ber-Tuhan."
BADU: "Maksudnya?"
AGUS: "Ateisme adalah pilihan rasional dan logis. Orang gak bisa jadi ateis hanya karena alasan praktis. Seorang ateis dituntut untuk menjelaskan keateisannya secara nalar, logis, rasional. Ia tidak dapat 'beriman' membabi buta. Sebaliknya, orang beragama/ber-Tuhan dalam batas tertentu, boleh beriman tanpa mengetahui kelogisan atau kerasionalan imannya -- toh dia masih bisa selamat tanpa mengetahui kelogisan atau kerasionalan imannya. Tapi ateisme tidak. Pilihan menjadi ateis harus lebih dapat dipertanggungjawabkan secara intelek dan rasional. Kalau tidak, ateismenya akan runtuh dan terdengar omong kosong. Bagaimana?"

............[to be continued]

Tidak ada komentar: