Kamis, 27 Maret 2008

Semoga Memang Hanya Situs Porno yang akan Diblokir…

Pemerintah Indonesia cukup sibuk akhir-akhir ini. Setelah ribut-ribut BLBI, kasus jaksa, dan penolakan calon gubernur BI oleh DPR, kini pemerintah meluncurkan “program sampingan”: pemblokiran situs-situs porno. Rencananya, pemblokiran ini akan dilakukan pada bulan April 2008. Anda dapat membaca beritanya, antara lain, di sini: http://www.chip.co.id/special-reports/wawancara-khusus-dengan-menkominfo-m-nuh.html (wawancara dengan majalah Chip-Online)

Ini menarik. Entah dari mana ide tersebut datang, rencana ini seyogianya ditanggapi secara positif. Bahkan, orang bertanya-tanya: mengapa baru sekarang?

Situs porno sudah hadir semenjak internet muncul di Indonesia pada awal atau pertengahan dasawarsa 1990-an. Situs tersebut memang sangat “menarik”, tetapi juga “mengganggu”. Ia “menarik” terutama bagi mereka yang menggemari “ketelanjangan” sebagai hiburan – apakah “ketelanjangan” sebagai seni dapat dicari dalam situs porno, itu adalah lain soal (saya agak meragukannya karena kedua “ketelanjangan” itu memiliki dimensi yang berbeda). Dan, tentu saja situs itu “mengganggu”. Saya bukan seorang moralis atau semacam penganut agama yang fanatik dan buta (walaupun itu ada sisi benarnya juga). Namun, kategori “mengganggu” di sini lebih bernuansa edukatif, ketimbang moral.

“Ketelanjangan” begitu saja merupakan gejala yang normal dalam hidup manusia. Namun, tidak ada yang “begitu saja” di bawah langit kapitalisme. Kapitalisme – entah apa Anda artikan kata ini – siap mengubah apa saja yang di bawah kolongnya menjadi segepok uang, atau setidaknya setumpuk kepentingan. “Ketelanjangan” juga menjadi salah satu korbannya. Tidak ada yang dapat “telanjang” dengan bebas, murni, dan innocent di bawah langit kapitalisme. “Telanjang” selalu berarti uang, keuntungan, posisi, dan kepentingan di bawah langit kapitalisme.

Coba pikirkan: si model yang difoto telanjang mendapat uang (tentu, ia tidak akan mau difoto telanjang jika ada pekerjaan lain yang lebih memadai dengan penghasilan yang kurang lebih sama). Si fotografer – dengan sedikit dibumbui seni dan hobi/minat – pasti juga tertarik mengambil gambar si model karena… dibayar. Tidak ada fotografer yang menjepret kameranya tanpa diiming-imingi akan dibayar. Si pemilik situs tentunya bukan orang bodoh yang mau saja memajang hasil jepretan si fotografer jika tanpa keuntungan.

Logika di atas berlaku untuk “media porno” mana pun: video atau yang lain. Semua bergerak karena ada “invisible hand”, yaitu sesuatu yang menggerakkan roda uang berputar, supaya setidaknya memperoleh uang yang sedikit berlebih (kalau perlu lebihnya banyak).

“Ketelanjangan” sudah menjadi komoditas: ia bisa diekspor, diimpor, diperbanyak, dibakukan, dan diorganisir sedemikian rupa sehingga mudah diperoleh, massal, dan instan. “Ketelanjangan” bukan lagi sesuatu yang alami dan innocent.

Rencana pemerintah sangatlah baik dan harus ditanggapi positif. Namun…

Namun, benarkah pemerintah akan konsisten dengan HANYA memblokir situs-situs porno. Di beberapa tempat, ada kekhawatiran bahwa pemerintah bisa saja dititipi oleh pihak-pihak tertentu untuk memblokir situs-situs lain juga. Situs-situs lain ini adalah – boleh jadi – situs-situs yang kritis terhadap pemerintah, situs-situs yang berisi forum diskusi yang sering mengkritik kebijakan pemerintah atau berisi diskusi yang cukup pans, entah masalah budaya, politik, agama, atau topik-topik lain.

Jika kekhawatiran ini terbukti, pemerintah benar-benar menghapuskan “ketelanjangan” lain yang masih tersisa, dan masih bersifat alami dan “innocent”, yaitu “ketelanjangan” dalam berbicara, berpendapat, dan beropini. Pemerintah sedang membunuh “ketelanjangan” yang fungsional, suatu “ketelanjangan” yang perlu dan pokok dalam sistem demokrasi seperti yang sering menjadi jargon dalam rapat-rapat politik berbagai partai di negeri ini.

Pemerintah seharusnya bisa mengajari rakyatnya untuk berpikir secara “telanjang”, terbuka, apa adanya, tanpa ditutupi, mengenai suatu pokok yang dipergumulkan. Rakyat punya hak bertanya, hak menjawab. Biarlah rakyat sendiri yang mendiskusikan masalah-masalah mereka, masalah-masalah yang mereka pergumulkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat berpikir kritis, atau setidaknya: mereka dapat dilatih untuk berpikir kritis. Itu adalah tanda masyarakat yang sehat dan dewasa; suatu masyarakat yang tidak takut dengan isu-isu, tetapi justru menanggai isu dengan pikiran dan diskusi yang terbuka.

Semoga pemerintah dapat membedakan: mana “ketelanjangan” yang perlu diberangus dan mana “ketelanjangan” yang perlu dalam kehidupan demokrasi yang sehat. Semoga…

Tidak ada komentar: