Jumat, 30 Mei 2008

Coldplay Semakin Religius? Ah Masak…?

Saya baca di sini …

http://www.thesun.co.uk/sol/homepage/showbiz/bizarre/article1202492.ece

dan di sini: http://www.americanpapist.com/labels/music.html

….katanya band Coldplay (CP) semakin religius. Enggak tahu apa definisi religius di situ J

Di link pertama antara lain tertulis:

“This latest album — much of which was recorded in churches in Spain and Latin
America
— is full of religious references. It’s as heavy-going as
the Bible but as ultimately as rewarding if that’s your bag.”

Tentu, Anda dan saya, jangan terkecoh dengan ulasan di link tersebut. Kalau hanya merekam lagu – or klip – di “churches in Spain and Latin America”, kita tidak dapat menganggapnya sebagai album atau lagu yang religius. Namun, acuan untuk menjadi religius itu memang tampak cukup kelihatan di beberapa track dari album terbaru mereka (well, sebagaimana yang saya lihat dari link-link di atas).

Religiositas yang ditawarkan CP sudah mulai kelihatan sejak album mereka yang kedua, A Rush of Blood to the Head. Tentu, ini kalau religiositas diartikan secara luas (bukan urusan di sekitar agama dan Tuhan per se saja).

Coba kita lihat track God Put a Smile upon Your Face (album kedua).

“Where do we go, nobody knows

Don't ever say you're on your way down when

God gave you style and gave you grace,

And put a smile upon your face oh yeah”

Jelas, ada semacam optimisme di situ. Barangkali banyak lagu yang berupaya memberi semangat pendengarnya, namun tidak begitu banyak lagu yang berisi kalimat ini: “God gave you style and gave you grace, and put a smile upon your face…”

Memang, lagu tadi tidak langsung menjadi religius hanya gara-gara menyebut kata “God” di situ. Toh, fakta tersebut sedikit menyiratkan bahwa bagi Chris Martin – penulis lirik utama CP – optimisme juga tanpa malu-malu bisa diakui berasal dari sesuatu yang lebih tinggi ketimbang manusia sendiri – Tuhan.

Namun, ada juga lirik lagu yang agak subtil dari CP – sampai sekarang saya tidak dapat menangkap maknanya (mungkin ada yang mau share apa sih maksud lagu itu sebenarnya – murni cinta-cintaan sepasang anak manusia atau ada acuan ke tempat lain). Lagu tersebut, ‘Til Kingdom Come, merupakan hidden track dari album CP ketiga, X&Y.

Antara lain, liriknya berbunyi begini:

“For you I'd wait 'til kingdom come

Until my day, my day is done

And say you'll come and set me free

Just say you'll wait, you'll wait for me”

Entah memang religius atau tidak, kedua link di atas membuka lagi semacam perdebatan lama yang sudah lama terpendam – atau tidak? – di dalam para penggemar dan pengamat musik: hubungan antara agama dan musik. Tentu, ada lagu, album musik, atau pemusik yang secara tegas dapat disebut sebagai lagu, album atau pemusik rohani (religius). Ini bisa dilihat dari judul lagu, lirik lagu, cover album, atau bahkan penampilan si pemusik. Sebaliknya, ada juga lagu, album musik, atau pemusik yang secara tegas dapat disebut – kalau tidak: menyebut diri – sebagai anti-rohani. Di dalam sejarah musik, kita dapat dengan mudah menemuinya (paling gampang adalah yang kedua).

Namun, tidak sedikit pula – bahkan barangkali yang paling banyak – album, lagu, atau pemusik yang sebenarnya tidak ingin disebut religius dalam arti ketat. “Gua bermain musik tentang cinta, manusia, dan lingkungan,” begitu misalnya. Namun, tidak selalu mudah bagi para pengamat, penggemar atau “non-penggemar” untuk menilai klaim ini. Misalnya, ada orang berkata bahwa lagu “Stairway to Heaven”-nya Led Zeppelin memiliki acuan yang anti-religius atau bahkan salah satu lagu Stevie Wonder. Untuk kasus ini, memang tidak mudah untuk menarik kesimpulan. Sebagai musisi, Led Zeppelin atau Stevie Wonder tidak dapat dengan mudah digolongkan ke dalam band religius atau band anti-religius.

Barangkali, untuk sekadar mengambil kesimpulan atas tulisan yang tidak bermutu ini (hehehehehe), suatu lagu, album atau pemusik tidak dapat dinilai dari segi religiositasnya saja. Suatu lagu yang baik seharusnya juga menyentuh segi terdalam manusia – di mana religiositas memang salah satunya, membuatnya untuk berempati dan bersimpati, menggerakkan emosi terdalam yang positif, dan akhirnya melahirkan tindakan atau perbuatan nyata yang membawanya melangkah ke arah yang lebih baik bagi diri sendiri dan orang lain (begitu kali, ya?).

Menurut hemat saya, kedua link di atas (bahwa album CP ke-4 bersifat religius) dan juga jargon-jargon “bahwa pemusik, lagu atau album tertentu adalah musik setan” merupakan upaya-upaya dari orang-orang yang berusaha menarik “lagu-lagu yang temanya biasa saja” untuk menjadi “sangat religius” atau juga “anti-religius”. Padahal, biarkan konsumen memilih, pun biarkan lagu-lagu yang didengarkannya setiap hari menggerakkan emosi dan hati, suatu gerakan positif yang dapat mengubah diri dan orang lain.

Akhirnya, tidak ada lagu yang bisa 100% memuaskan para pendengarnya (*iklan mode: on*). Begitu juga barangkali lagu-lagu CP, termasuk album teranyarnya. Jadi, bagi para pembaca, ini semacam warning: hanya untuk yang berminat dan berani saja…!

Sebagai penutup, inilah kesimpulan saya: kerinduan para penggemar CP cukup terpenuhi dengan hadirnya album tersebut. Oh ya, menurut link-link di atas, album fisik CP yang keempat ini – yang katanya akan berjudul Viva la Vida (atau Death And All His Friends) – akan keluar bulan Juni 2008 ini. Siap-siap di toko CD/kaset (jangan beli yang bajakan).

Tidak ada komentar: